JAKARTA, KOMPAS – Kematian mendadak tak jarang terjadi dalam suatu ajang lari. Untuk mengantisipasi risiko fatal itu, pelari harus benar-benar mengetahui batas diri. Bahkan, mereka tidak boleh egois. Jika memang merasa tidak sanggup mencapai target atapun menyelesaikan lomba, berhenti atau mundur dari ajang tersebut adalah keputusan bijaksana demi keselamatan.
Ajang lari memang tengah bergeliat di Indonesia. Namun, seiring tingginya minat terhadap gaya hidup sehat itu, tinggi pula risiko cedera hingga kematian. Data dari Jakarta Berlari, di Indonesia, ajang lari meningkat 33 persen dari 288 kegiatan pada 2017 menjadi 341 kegiatan pada 2018.
Hingga pertengahan 2019, sudah ada 253 kegiatan dan berpotensi terus bertambah. Namun, tak sedikit korban yang timbul ketika mengikuti ajang tersebut. Paling tidak, lima pelari meninggal dari kegiatan berbeda-beda sejak awal 2018 hingga awal Agustus 2019.
Pelari peraih enam bintang marathon dunia Adriansyah Chaniago yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/8/2019), mengatakan, salah satu faktor penyebab kematian tersebut adalah kurangnya pemahaman pelari terhadap batas diri. Tak sedikit pelari, terutama yang berusia di bawah 40 tahun, merasa dirinya masih kuat dan segar.
Hal itu membuat mereka sering kali ikut ajang lari tanpa melakukan persiapan matang. ”Hal itu sangat fatal. Sebab, fisik mereka belum terlatih untuk mengikuti suatu ajang lari. Mereka juga belum benar-benar tahu batas kemampuannya ada di mana,” ujar pelari yang punya catatan waktu terbaik marathon 3 jam 29 menit saat ikut Tokyo Marathon 2018 lalu.
Untuk itu, Adriansyah menyarankan, calon peserta lari harus mempersiapkan diri dulu dengan matang. Jika belum terlatih, orang itu harus melakukan latihan aerobik dasar selama kurang lebih tiga bulan. Setelah itu, baru mereka bisa melakukan latihan program untuk mengejar nomor pertandingan yang diinginkannya selama tiga-empat bulan.
Setelah melakukan rangkaian latihan itu, Adriansyah menambahkan, orang itu akan tahun di mana batas kemampuannya. Batas kemampuan itu, antara lain dia tahu berapa batas kecepatannya dan denyut jantung normalnya.
”Dengan demikian, mereka tahu harus berlari dan mengejar target pada batas berapa. Mereka tidak boleh memaksa diri melampaui batas itu terlalu jauh karena lagi-lagi bisa berakibat fatal,” katanya.
Buat rencana cadangan
Adriansyah menuturkan, pelari juga harus membuat banyak opsi rencana cadangan ketika mengikuti ajang lari. Contohnya, orang bersangkutan punya opsi utama untuk memecahkan waktu terbaiknya. Lalu, dia harus punya opsi cadangan jika hal itu sulit diwujudkan, seperti menjadikan lomba sebagai ajang riang gembira (fun run) atau jadikan lomba untuk narsis berswafoto.
Sebab, menurut Adriansyah, ada kalanya pelari tidak dalam kondisi terbaik saat hari perlombaan walaupun dia sudah melakukan persiapan panjang. Hal itu boleh jadi karena dia kurang istirahat atau tidur selama kurang lebih sepekan sebelum lomba.
”Istirahat atau tidur itu adalah komponen penting untuk tubuh. Kalau kurang tidur dan memaksa terus lari intensitas tinggi, keputusan itu bisa memicu hal-hal tidak diinginkan,” tuturnya.
Atas dasar itu, Adriansyah mengutarakan, pelari sebaiknya memutuskan menjadikan lomba sebagai agenda rencana cadangan jika sudah tahu kondisinya kurang fit. Jika memang ingin mencoba meneruskan lari, orang itu harusnya berlari dengan intensitas lebih rendah dan membuat ajang sebagai tempat riang gembira.
Saat tubuh merasa sudah tak mampu lagi lari, orang itu patut berhenti dan jadikan saja ajang itu untuk foto-foto. ”Jangan pernah egois dengan tubuh sendiri. Memang kadang kala adrenalin memuat kita ingin mengejar target yang sudah diinginkan. Tetapi, kita tetap harus jujur dengan diri sendiri. Kalau sudah merasa sakit, sebaiknya turunkan dulu kecepatan atau bila perlu berhenti sama sekali. Itu semua demi keselamatan,” ujarnya.
Antisipasi hoaks kesehatan
Anggota ILUNI FKUI, dokter Jack Pradono Handojo dalam siaran pers yang diterima Kompas menjelaskan, lari adalah olahraga yang penuh risiko cedera bila tidak disiapkan dengan matang. Risikonya, antara lain bisa cedera langsung (traumatic injury) atau cedera tak langsung (overused injury). ”Jika penanganannya salah, risiko tertinggi bisa memicu kematian mendadak,” katanya.
Selain penanganan yang salah, Jack melanjutkan, risiko cidera juga bisa timbul karena hoaks kesehatan terkait lari. Hoaks kesehatan adalah informasi terkait kesehatan yang keliru dan belum terjamin serta teruji secara medis. Hal itu banyak terjadi di masyarakat.
Salah satu contohnya adalah informasi larangan minum selama berlari agar tidak muntah. ”Faktanya, lari adalah aktivitas yang membuat tubuh berkeringat. Untuk itu, tubuh harus terhidrasi atau banyak dapat asupan air agar terhindar dari potensi sengatan panas tinggi (heat stroke),” tuturnya.
Untuk itu, Jack berpesan, para pecinta lari harus mencari informasi yang tepat dan benar sebelum mengikuti ajang lari. Tujuannya, agar gaya hidup sehat dengan mengikuti ajang lari bisa memberikan manfaat positif bagi tubuh peserta. ”Menggali dan memahami informasi yang tepat menggenai kesehatan terkait lari merupakan bagian untuk mencapai prinsip zero accident or death,” tegasnya.