Kabinet untuk Siapa?
Berbagai pekerjaan rumah telah menanti pemerintahan 2019-2024. Di tengah berbagai tantangan itu, kabinet yang dibentuk apakah akan lebih untuk kepentingan rakyat atau parpol?
Presiden Joko Widodo akan memulai periode kedua pemerintahannya bersama dengan Wakil Presiden Ma\'ruf Amin, pada 20 Oktober 2019. Sederet tantangan dan persoalan bangsa menunggu untuk diselesaikan. Dari gejolak akibat datangnya era disrupsi serta ketidakstabilan ekonomi global, korupsi, kualitas sumber daya manusia, hingga ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
Di saat yang sama, encana memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan, juga perlu dipersiapkan secara matang. Selain masalah regulasi, anggaran, dan desain pembangunan, juga mesti diantisipasi kemungkinan adanya pro dan kontra di masyarakat karena usulan itu.
Di tengah upaya menghadapi berbagai tantangan dan persoalan itu, pada awal pekan ini tiba-tiba terjadi unjuk rasa di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat. Unjuk rasa itu dipicu oleh perasaan tersinggung karena adanya dugaan ujaran kebencian yang bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur.
Goncangan politik
Persoalan lain yang berpotensi menambah panjang pekerjaan rumah pemerintah adalah adanya usulan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam wawancara khusus dengan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo yang ditayangkan dalam acara bincang Satu Meja The Forum Kompas TV, Rabu (21/8/2019), Presiden menyampaikan perlunya kajian serta kalkulasi mendalam sebelum dilakukan amendemen konstitusi.
"Jangan sampai amandemen ini menimbulkan goncangan politik yang tidak perlu, karena sekarang ini tekanan ekonomi global, geopolitik global, tidak menguntungkan. Jangan sampai menambahi masalah gara-gara kita ingin memaksakan amendemen," ujarnya.
Hadir sebagai narasumber dalam acara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Ketua DPP PDI-P Ahmad Basarah, Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanudin Muhtadi, dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli.
Jokowi menegaskan, haluan negara memang perlu. Tetapi tidak ada yang bisa menjamin amandemen konstitusi dilakukan hanya untuk menambah kewenangan baru MPR yaitu menyusun GBHN.
Terkait hal itu, Ahmad Basarah menegaskan, Pasal 37 UUD 1945 telah mengatur prosedur amandemen konstitusi secara terbatas. Untuk menghindari melebarnya perubahan, para ketua umum partai politik bisa membuat konsensus yang menjadi pengikat agar amandemen dilakukan terbatas.
Susun strategi
Presiden Jokowi memahami tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia lima tahun mendatang tidaklah ringan. Persaingan global semakin ketat, negara-negara saling berebut investasi dan berebut pasar di tengah gejolak ekonomi global. Hadirnya era disrupsi juga menuntut untuk diantisipasi. Guna menghadapi itu semua, pembangunan sumber daya manusia dijadikan fokus pembangunan untuk lima tahun ke depan.
Struktur dan organisasi kabinet 2019-2024, juga disiapkan untuk menjawab berbagai tantangan di atas. Saat bertemu dengan para pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, 14 Agustus lalu, Jokowi menyampaikan struktur kabinet sudah selesai disusun. Komposisinya, 45 persen anggota kabinet berasal dari parpol, dan 55 persen dari kalangan profesional.
Burhanudin menilai, pernyataan Jokowi tentang komposisi kabinet itu terlalu terbuka dan bisa memancing polemik jika pada akhirnya komposisi kabinet yang ditetapkan tidak sesuai dengan pernyataan sebelumnya. "Angka 55 persen dan 45 persen itu terlalu eksak, terlalu matematis, dan kurang diplomatis, politis. Kalau disebut angka, akan membuat Jokowi sulit berkelit jika kenyataannya tidak sesuai," katanya.
Fahri juga menilai, langkah Jokowi mengumumkan komposisi kabinet kurang tepat. Langkah pertama yang semestinya dilakukan Jokowi sebagai presiden terpilih 2019-2024 adalah menetapkan program kerja yang akan dilakukan di setiap sektor kehidupan.
"Semestinya ditarik ke atas dulu, dia mau apa? Daripada bicara orang per orang yang merupakan wilayah prerogatif, mestinya pertama bicara legacy dulu. Dia mau ngapain di periode kedua ini dan pada semua bidang," tutur Fahri.
Selain itu, lanjut Fahri, mestinya Presiden Jokowi juga melibatkan publik dalam menelusuri rekam jejak calon menteri. Kepala Negara harus menampung informasi sebanyak-banyaknya agar tidak salah menempatkan menteri.
Terkait usia menteri yang akan dipilih, menurut Fahri, juga tidak begitu penting. Berapapun usia menteri yang dipilih, hal yang terpenting adalah kemampuan dalam mengambil kebijakan yang bermanfaat untuk rakyat.
Akhirnya, penyusunan kabinet memang tetap menjadi kewenangan penuh Presiden Jokowi. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang bertugas mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan, Jokowi tentu perlu mempertimbangkan, kepentingan partai atau rakyat yang harus didahulukan dalam penyusunan kabinet tersebut.