Para perempuan penenun di Desa Ntobo, Bima, Nusa Tenggara Barat, semula hanya bisa pasrah saat kain tenun buatan mereka dihargai rendah oleh pemesan. Ini karena pemesanlah yang memberikan modal benang. Setelah memperoleh pinjaman dari bank, mereka dapat membeli benang sendiri dan menentukan harga yang lebih berkeadilan.
Oleh
Joice Tauris Santi
·4 menit baca
Setiap provinsi di Indonesia memiliki kekayaan wastra yang luar biasa. Berbagai macam motif dan makna terkandung dalam wastra. Demikian juga wastra Bima dengan keistimewaannya tersendiri.
Tidak seperti di tempat lain, di Bima kebanyakan tenun tidak bergambar binatang atau manusia. Hal ini karena adanya peraturan pada masa Kesultanan Bima, bahwa hewan dan manusia tidak boleh dijadikan motif tenunan.
Hal ini berpengaruh pada motif tenun Bima yang kemudian didominasi motif bunga dan garis. Baru belakangan muncul motif hewan, seperti kupu-kupu. Kain tenunan di Bima biasanya dalam bentuk tembe atau sarung, sambolo atau destar dan weri, atau ikat pinggang.
Terdapat beberapa sentra tenun di Bima. Salah satunya di Desa Ntobo. Di desa ini, hampir setiap perempuan pandai menenun. Di teras setiap rumah, terlihat alat tenun dan perlengkapannya, seperti benang. Keterampilan menenun mereka peroleh secara turun-temurun.
”Di setiap rumah pasti ada alat tenun. Jumlahnya tergantung berapa jumlah perempuan di rumah itu,” kata Suryati, salah seorang penenun, ketika dikunjungi di rumahnya di Ntobo, Bima, beberapa waktu lalu.
Di sana, siswa kelas 6 SD saja sudah dapat menenun dengan rapi. Kegiatan menenun ditekuni hingga mereka berusia lanjut, seperti yang terlihat pada suatu sore belum lama ini. Seorang nenek yang usianya diperkirakan sudah lebih dari 100 tahun tampak memintal benang yang akan ditenun.
Jari-jarinya yang keriput masih lincah mengurai benang, lalu menggulungnya dengan alat pintal kayu sebelum siap digunakan untuk menenun. Sesekali, dia menyambung benang yang terputus. Ia melakukannya tanpa mengenakan kacamata.
Sebelum ini, karena keterbatasan modal, pemesan kainlah yang akan memberikan modal berupa benang. Setelah jadi, kain dihargai oleh pemesan yang biasanya jauh lebih rendah ketimbang harga jual di toko.
Di teras rumah lainnya, seorang perempuan tampak dengan tekun memasukkan benang pakan yang arahnya horizontal ke sela-sela benang lusi yang vertikal sembari merapatkannya dengan entakan kayu. Pekerjaan ini terkadang diselingi obrolan dengan tetangga yang lewat, sekadar saling menyapa kabar.
Biasanya, para perempuan menenun untuk mengisi waktu luang dengan pendapatan yang tidak seberapa. Sekitar lima tahun lalu, Suryati mendaftar sebagai nasabah Bank BPTN Syariah dan memperoleh pembiayaan untuk menenun. Sebelumnya, ia membentuk kelompok yang beranggotakan beberapa perempuan penenun lainnya. Mereka kemudian mendapat kucuran pinjaman Rp 2 juta yang digunakan untuk membeli benang tenun.
Sebelum ini, oleh karena keterbatasan modal, pemesan kainlah yang akan memberikan modal berupa benang. Setelah jadi, kain dihargai oleh pemesan yang biasanya jauh lebih rendah ketimbang harga jual di toko.
Dengan memiliki modal sendiri, para penenun memiliki kekuatan lebih untuk menentukan harga jual yang lebih pantas. Terlebih ketika mereka mulai berkelompok, daya tawar penenun meningkat. Mereka perlu lagi menunggu modal benang dari pemesan karena sudah mampu membeli benang sendiri.
”Kami lebih senang punya modal sendiri karena bisa menentukan harga jual,” lanjut Suryati.
Pembiayaan yang diterima kemudian semakin lama semakin meningkat. Hingga tahun ini, kelompok tenun Suryati mendapatkan pembiayaan sebesar Rp 8 juta.
Dengan memiliki modal sendiri, para penenun memiliki kekuatan lebih untuk menentukan harga jual yang lebih pantas.
Satu lembar kain tenun bermotif sederhana dapat diselesaikan dalam waktu satu pekan. Semakin rumit motifnya, semakin lama waktu pengerjaannya. Satu lembar kain tenun rata-rata dibanderol dengan harga mulai dari Rp 350.000. Para ibu penenun kini bisa memiliki penghasilan yang cukup baik untuk menopang kebutuhan keluarga.
Dengan modal yang lebih besar, kelompok tenun ini kemudian dapat membeli benang dalam jumlah besar untuk memenuhi pesanan yang terus meningkat. Selain mendekati hari raya Idul Fitri, peningkatan pesanan tenun juga terjadi menjelang acara peringatan kemerdekaan.
Penggunaan busana tradisional yang semakin meluas, tidak sekadar untuk upacara adat, membuat pesanan kain tenun semakin meningkat. Kain tenun Bima ini selain diolah menjadi busana kini juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat sandal atau tas bernuansa etnis.
Untuk meningkatkan daya tarik tenun Bima, pemerintah setempat menjalin kerja sama dengan perancang busana dari Jakarta untuk mengolah tenun menjadi busana siap pakai yang cantik, yang memenuhi selera konsumen.
Desa wisata
Para perempuan itu tidak berhenti sampai di sini. Setelah menggerakkan perekonomian desa dengan usaha tenun mereka, kini mereka memimpikan Ntobo sebagai desa wisata. Beruntung, impian ini mulai menampakkan titik nyata.
Salah satu penenun, Harijah, mengungkapkan, dirinya diminta pihak pemerintah daerah untuk mendata warga yang menjadi penenun terkait rencana tersebut.
”Saya sudah mulai mendata. Awalnya dari data pemilih,” ujar Harijah, guru taman kanak-kanak yang juga penenun.
Dengan desa wisata itu, para penenun berharap pengunjung dapat datang langsung dan melihat aktivitas tenun yang dilakukan di rumah-rumah penduduk. Dengan begitu, mereka bisa sekaligus mengedukasi pengunjung tentang proses pembuatan kain tenun. Selain itu, tentu saja pada akhirnya diharapkan pengunjung tertarik untuk membeli kain tenun yang dihasilkan.
Di Desa Ntobo, suara tandi yang beradu dengan lira terus terdengar. Tandi adalah alat tenun utama dari kayu yang digunakan untuk membentangkan benang. Sementara lira adalah batang kayu pohon asam yang digunakan untuk merapatkan benang. Beradunya tandi dan lira membuat benang menjadi lebih rapat sehingga helai kain menjadi kuat.
Suara ini seakan memberikan harapan indah kepada para perempuan pemberdaya di Desa Ntobo. Kekuatan mereka tidak hanya bergema di keluarga, tetapi juga bergaung ke segenap penjuru desa.