Mengenal Sastra Betawi di Cikini
Komunitas Betawi menjadi tuan rumah dalam acara Jakarta International Literary Festival (JILF) yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Selasa-Jumat (20-23/8/2019). Dalam mata acara aktivitas komunitas Baca Betawi mengulas tema ”Bahasa dalam Sastra Betawi”.
Budaya Betawi itu kaya. Mau mengenalnya? Yuk, sini ke Taman Ismail Marzuki. Kebetulan hari ini hari terakhir, lho.
Komunitas Betawi menjadi tuan rumah dalam acara Jakarta International Literary Festival (JILF) yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Selasa-Jumat (20-23/8/2019). Dalam mata acara aktivitas komunitas Baca Betawi mengulas tema ”Bahasa dalam Sastra Betawi”.
Ketua Komunitas Baca Betawi Rachmad Sadeli, Kamis (22/8/2019), mengatakan komunitas tersebut sudah ada sejak tahun 2017. Anggota komunitas terdiri dari berbagai kalangan di antaranya jurnalis, seniman, budayawan, mahasiswa, pelajar, guru, pegawai swasta, dan masyarakat umum.
Komunitas ini telah menelurkan buku berjudul Gado-gado Antologi Puisi Anak Betawi yang diterbitkan Balai Rakyat (2017), Condet. Selain itu juga ada buku berjudul Antologi Puisi 19 Penyair Betawi pada 2019.
”Kami bersyukur bahwa kami dilibatkan dalam sebuah acara besar. Kami dibebaskan untuk membuat tema apa dan munculah ide kongko dengan tema Bahasa dalam Sastra Betawi,” ujar Rachmad.
”Kami bersyukur bahwa kami dilibatkan dalam sebuah acara besar. Kami dibebaskan untuk membuat tema apa dan munculah ide kongko dengan tema Bahasa dalam Sastra Betawi,” ujar Rachmad.
Menurut Rachmad, tema tersebut masih relevan dengan acara Pekan Sastra Betawi yang diselenggarakan sebelumnya. Narasumber yang dihadirkan pun adalah penulis cerpen, pantun, serta budayawan Betawi.
Acara tersebut diharapkan menjadi momentum pencerahan bagi generasi muda, khususnya anak Betawi. Anak-anak muda Betawi diharapkan dapat menjadi generasi baru yang meneruskan di bidang sastra. Sebab, inspirasi tulisan dapat berasal dari masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
”Cerpen yang ditulis Aba Mardjani, misalnya, itu bercerita tentang penjual kue gemblong. Di situ ada pesan tentang kesederhanaan dan bagaimana menjaga resep turun-temurun makanan khas Betawi,” kata Rachmad.
Komunitas Baca Betawi berharap, ke depan dapat lahir penulis-penulis baru yang peduli terhadap budaya Betawi. Momentum ini diharapkan dapat dimanfaatkan supaya budaya Betawi terus berkembang. Jangan sampai yang dikenal dari kebudayaan Betawi hanya ondel-ondel. Padahal, sastra Betawi sangat kaya, mulai dari sastra lisan hingga sastra tertulisnya.
Wartawan sekaligus cerpenis Aba Mardjani bercerita tentang proses kreatif dalam membuat cerpen berjudul ”Kue Gemblong Mak Saniah”. Cerpen ini pernah dimuat di harian Kompas pada 2010 dan masuk buku Cerpen Pilihan Kompas 2011.
Aba Mardjani mengatakan, cerpen ini bisa disebut lahir dari kegalauan tokoh Masdudin pada ketidakhadiran Mak Saniah yang biasa menjajakan kue gemblong ke rumahnya. Dari situ muncul sedikit konflik dengan istrinya, Asyura, yang merasa aneh dengan kegalauan suaminya. Cerita mengalir baik, ada kesedihan dan kejutan dari penulis pada akhir cerita.
Aba Mardjani mengatakan, cerpen ini bisa disebut lahir dari kegalauan tokoh Masdudin pada ketidakhadiran Mak Saniah yang biasa menjajakan kue gemblong ke rumahnya. Dari situ muncul sedikit konflik dengan istrinya, Asyura, yang merasa aneh dengan kegalauan suaminya. Cerita mengalir baik, ada kesedihan dan kejutan dari penulis pada akhir cerita.
Setelah Mak Saniah wafat, suami-istri itu diberi amanah, berupa tulisan resep membuat gemblong Mak Saniah. Dalam tulisan ini, Aba ingin bercerita tentang warisan leluhur Betawi yang wajib diteruskan. Gemblong adalah jajanan khas Betawi yang wajib terus dijaga dilestarikan oleh generasi mendatang.
Sementara itu, budayawan Samsudin C Haesy atau yang akrab dipanggil Sem Haesy menjelaskan tentang titik literasi Betawi. Menurut dia, karya-karya literasi kaum Betawi mempertemukan realitas kehidupan di dunia dengan realitas kehidupan spiritual. Karya tersebut mempertemukan sesuatu yang dapat dilihat dan disentuh secara empiris ataupun di luar pengalaman empiris manusia.
Menurut Sem Haesy, kaum Betawi memperoleh referensi literasinya dari dinamika kehidupan yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, serta nilai-nilai kehidupan beragama.
”Inilah yang kemudian membuat kaum Betawi mampu berinteraksi dengan beragam nilai sosial, ekonomi, budaya dan politik,” kata Sem.
Bagi kaum Betawi, literasi ditujukan bagi semua orang, tanpa memandang usia, ras, jenis kelamin, agama, budaya dan asal sosial. Literasi ditujukan untuk memperoleh pengetahuan dasar, menengah, dan tinggi.
Literasi bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mengembangkan kapasitasnya guna menganalisis sesuatu yang bergerak dinamis dalam kehidupan sehari-hari. Sekaligus menjadi refleksi kritis dalam berinteraksi dan merespons kehidupan.
Berbagai karya literasi kaum Betawi di antaranya hikayat, pantun, cerita lisan, cerita pendek, narasi dalam pertunjukan teater rakyat, jampe, dan syair lagu Melayu, Gambang Kromong, dialog dalam aksi palang pintu, khotbah Jumat, khutbah nikah, sampai pidato politik.
Isi dari karya literasi itu memberikan gambaran menyeluruh mengenai refleksi kritis yang bernilai informasi, edukasi, dan sekaligus menghibur. Karena dalam literasi kaum Betawi, retorika mengalir dalam narasi dan diksi yang multifungsi.
Tokoh-tokoh dalam sejarah Betawi pun sudah banyak memberikan contoh ekspresi literasi kaum Betawi. Misalnya saja, pidato politik Muhammad Husni Thamrin, pidato dan khotbah KH Abdullah Syafi’ie dan para kiai lainnya, pidato politik dan tablig Hj Tutty Alawiyah, khotbah dan tablig KH Zainuddin MZ, kolom Mahbub Djunaedi, sketsa Firman Muntaco, kisah sahibul hikayat allahuyarham Zaid—yang dilanjutkan putranya Sofian Zaid.
Tokoh-tokoh dalam sejarah Betawi pun sudah banyak memberikan contoh ekspresi literasi kaum Betawi. Misalnya saja, pidato politik Muhammad Husni Thamrin, pidato dan khotbah KH Abdullah Syafi’ie dan para kiai lainnya, pidato politik dan tablig Hj Tutty Alawiyah, khotbah dan tablig KH Zainuddin MZ, kolom Mahbub Djunaedi, sketsa Firman Muntaco, kisah sahibul hikayat allahuyarham Zaid—yang dilanjutkan putranya, Sofian Zaid.
Ada pula cerita-cerita folklor yang dikemas baik oleh babe Chaer, dialog Bang Madi di RRI, catatan peristiwa Babe Alwi Shahab, skenario film Sjumandjaya, Ali Shahab, Nawi Ismail, serta syair-syair lagu allahuyarham Mashabi, Husein Bawafie, Munif Bahaswan, dan Benyamin S.
”Saya optimistis sastra Betawi yang sedang siuman dari pingsan ini akan menggeliat. Saya optimistis karena ada yang membangun optimisme itu adalah generasi muda menyukai dan menjadi pelaku,” kata Sem.
Selain itu, dari segi sosial budaya muncul kesadaran etnis untuk mengakui bahwa anak muda berasal dari Betawi. Kesadaran itu tidak hanya sebagai identitas, tetapi sebagai bagian dari Nusantara. Kebangkitan sastra dan seni ini yang, menurut Sem, mendorong generasi muda untuk mengembangkan literasi Betawi.
Selain itu, juga ada perubahan proses yang panjang yang dilakukan melalui pendidikan. Saat ini, sudah lahir lapisan intelektual yang besar dengan berbagai macam keahlian. Lapisan intelektual ini ternyata memiliki kepedulian terhadap generasi muda lainnya.
”Perkembangan teknologi seperti sosial media justru membantu mereka untuk mencari tahu kebudayaan Betawi,” kata Sem.