Korsel Akhiri Kesepakatan Berbagi Intelijen dengan Jepang
Korea Selatan mengakhiri kesepakatan berbagi informasi intelijen militer secara langsung dengan Jepang. Langkah ini dikecam Tokyo. Pembatalan aliansi dapat menggoyahkan kerja sama trilateral antara Korsel, Jepang, dan Amerika Serikat di Semenanjung Korea.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
TOKYO, JUMAT — Korea Selatan mengakhiri kesepakatan berbagi informasi intelijen militer secara langsung dengan Jepang. Langkah ini dikecam Tokyo. Pembatalan aliansi dapat menggoyahkan kerja sama trilateral antara Korsel, Jepang, dan Amerika Serikat di Semenanjung Korea.
Keputusan itu diambil setelah perseteruan antara Seoul dan Tokyo mengenai kewajiban perusahaan Jepang memberikan kompensasi kepada pekerja paksa Korsel pada masa Perang Dunia II berlanjut ke level perang dagang.
”Jepang tidak mengindahkan seruan Korsel untuk berdialog dan langkah perdamaian lainnya guna menyelesaikan perselisihan perdagangan dan sejarah yang pahit. Jepang telah melanggar etika diplomatik sehingga merusak kebanggaan nasional Korsel,” ujar pejabat Keamanan Nasional Korsel, Kim Hyun-chong, Jumat (23/8/2019).
Korsel dan Jepang sepakat untuk berbagi informasi intelijen militer dalam Perjanjian Informasi Militer mengenai Keamanan Umum (GSOMIA) pada 2016. Informasi yang dibagi antara lain mengenai program nuklir dan kapasitas rudal Korea Utara. Secara resmi, perjanjian tersebut berakhir pada Kamis (22/8/2019).
Kim melanjutkan, sebagai gantinya, negara ”ginseng” tersebut akan meningkatkan aliansi militernya dengan AS, negara yang juga akan bertindak sebagai perantara antara kedua negara. Selain itu, Korsel juga akan mencoba untuk meningkatkan kemampuan pertahanan dengan meluncurkan satelit militer dan aset pengintaian lainnya.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan, keputusan Korsel untuk berhenti berbagi informasi intelijen telah menghancurkan rasa saling percaya antara kedua negara.
”Kami akan terus berkoordinasi secara erat dengan AS untuk memastikan perdamaian dan kesejahteraan di kawasan, sekaligus keamanan Jepang,” katanya.
Pengamat komunikasi Rikkyo University, Jepang, Koichi Ishizaka, berpendapat, kedua negara harus mengadakan dialog untuk menyelesaikan perseteruan yang ada. Kondisi saat ini menunjukkan konflik mulai sulit untuk dihentikan.
”Meskipun orang-orang berupaya untuk masa depan yang lebih cerah, politik telah mengambil langkah mundur. Abe merasa ia dapat meraih dukungan politik dari sejumlah pemilih dengan menghajar Korsel,” ujar Ishizaka.
Pada Rabu (21/8/2019), Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono, Menlu Korsel Kang Kyung-wha, dan Menlu China Wang Yi bertemu di Beijing, China. Namun, belum ada solusi yang dihasilkan.
Keputusan Korsel tersebut menjadi kejutan yang menunjukkan hubungan kedua negara telah memburuk. Selama ini, baik Korsel maupun Jepang merupakan negara sekutu terkuat AS di Asia bagian utara untuk melawan ancaman China dan Korea Utara.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan, Washington menyatakan rasa prihatin dan kecewa atas langkah Korsel untuk mengakhiri perjanjian militer dengan Jepang.
Berdampak besar
Perang dagang antara kedua negara kemungkinan akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap perekonomian Korsel ketimbang Jepang. Perusahaan-perusahaan manufaktur Korsel, termasuk Samsung, sangat bergantung pada komoditas yang diimpor dari Jepang.
Tokyo mengeluarkan Korsel dari daftar negara penerima pengecualian pembatasan perdagangan mulai 28 Agustus 2019. Sementara Seoul membalas dengan mengeluarkan Jepang dari daftar negara yang masuk dalam jalur perdagangan cepat mulai September 2019.
Perseteruan antara kedua negara berawal ketika Mahkamah Agung Korsel mewajibkan perusahaan Jepang memberikan kompensasi kepada pekerja paksa Korsel selama masa Perang Dunia II pada 2018. Jepang tidak setuju karena kesepakatan ganti rugi telah dibuat pada 1965.
”Beban dari sejarah masa lalu memengaruhi hubungan keduanya saat ini. Korsel adalah korban dan itu tertanam dalam sejarah warganya. (Sejarah) itu ada dalam kurikulum sekolah dan budaya populer. Mereka memiliki narasi sebagai korban karena Jepang berada di urutan teratas dalam daftar,” kata pengamat kebijakan internasional Stanford University, Daniel Sneider. (AP/AFP/REUTERS)