Pertemuan Menteri Luar Negeri Jepang dan Menlu Korea Selatan patut disambut gembira. Hal itu memperlihatkan kedua pihak berupaya tetap menjaga dialog.
Jepang dan Korsel berselisih terkait isu tenaga kerja paksa yang terjadi pada paruh pertama abad ke-20, termasuk di era Perang Dunia II. Kemudian, pada 2018, Mahkamah Agung Korsel menetapkan bahwa perusahaan Jepang wajib membayar kompensasi kepada warga Korsel yang dijadikan tenaga kerja paksa. Padahal, Tokyo memandang kasus tenaga kerja paksa seharusnya sudah selesai melalui kesepakatan di antara kedua negara pada tahun 1965.
Pada bulan lalu, Jepang mengharuskan eksportir fluorinated polyimide (salah satu bahan penting dalam pembuatan layar telepon seluler) mengajukan izin tiap kali hendak mengapalkannya ke Korsel. Pengetatan ekspor ke Korsel diterapkan pula pada photoresist dan high purity hydrogen fluoride—keduanya dipakai dalam pembuatan alur di potongan silikon guna menghasilkan semikonduktor atau cip.
Lewat aturan itu, setiap pengapalan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemerintah yang prosesnya memakan waktu 90 hari. Dengan kata lain, Jepang sebenarnya menghambat ekspor ketiga komoditas itu ke Korsel. Tokyo beralasan Korsel sudah masuk kategori negara yang ”tak bisa dipercaya” sehingga pengiriman material sensitif, yang bisa dipakai untuk komponen terkait senjata, harus lewat prosedur tambahan. Mengingat perekonomian Korsel bertumpu pada industri telepon seluler dan cip, langkah Jepang itu tentu memberi dampak tidak menggembirakan. Kebijakan Tokyo akhirnya berujung pada kemunculan sentimen anti-Jepang di Korsel.
Di tengah kondisi yang seolah tak memiliki titik temu ini, berlangsung pertemuan di antara Menlu Jepang Taro Kono, Menlu Korsel Kang Kyung-wha, dan Menlu China Wang Yi pada Rabu (21/8/2019). Seperti diberitakan harian ini, dalam pertemuan yang digelar di Beijing tersebut, Jepang dan Korsel bertukar pandangan terkait isu pekerja paksa. Kono menegaskan, Tokyo menginginkan ada kemajuan dalam upaya penyelesaian masalah itu. Di sisi lain, Kang kembali mendesak Tokyo untuk melonggarkan kendali ekspor.
Tampaknya belum ada titik temu di antara kedua belah pihak. Namun, pembahasan yang dilakukan oleh keduanya tetap bisa dilihat dengan perspektif positif bahwa Jepang serta Korsel masih ingin menjaga dialog. Hal ini menjadi modal awal yang penting untuk meredakan ketidaksepahaman di antara kedua negara, yang dinilai sejumlah kalangan telah merambat ke bidang perdagangan. Di tengah perang dagang Amerika Serikat-China, apa yang terjadi di antara Korsel dan Jepang dapat menambah muram kondisi ekonomi dunia.
Oleh karena itu, apa pun upaya untuk memperbaiki hubungan dan kepercayaan antara Tokyo dan Seoul harus didukung mengingat Jepang dan Korsel memiliki pengaruh terhadap perekonomian dunia.