Dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan nusa dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya.”
Penggalan pidato Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, saat dinobatkan menjadi raja Kesultanan Yogyakarta pada 18 Maret 1940, itu langsung terngiang saat membaca wacana wakil rakyat mengenai rencana revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Sebagian anggota DPR mengusulkan perubahan untuk menambah jumlah pimpinan MPR menjadi seorang ketua dan sembilan wakil ketua (Kompas, 22/8/2019). Pasal 427C UU MD3 yang kini berlaku menyatakan pimpinan MPR terdiri dari seorang ketua dan empat wakil ketua.
Jumenengan (penobatan) Sultan HB IX itu pun dibukukan, sesuai judul pidato, Tahta untuk Rakyat (Gramedia, 1982). Tak ada artinya sebuah takhta atau kursi (jabatan) jika tak mampu memberikan manfaat bagi rakyat. Sebaliknya, untuk siapakah kursi yang diraih oleh wakil rakyat, lewat partai politik, dalam pemilu? Semestinya, kekuasaan anggota DPR dan juga MPR, melalui proses demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Ini sejalan dengan bunyi Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut konstitusi.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dan sejumlah anggota Dewan menyatakan, lobi-lobi terkait pembagian kursi pimpinan MPR buntu. Revisi UU MD3, dengan menambah jumlah pimpinan MPR, menjadi jalan tengah guna menembus kebuntuan lobi politik itu. Kalau disepakati fraksi-fraksi di DPR, dan UU MD3 diubah lagi, pimpinan MPR menjadi 10 orang. Artinya, seluruh partai yang lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) memiliki seorang unsur pimpinan di MPR.
Sebaliknya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan 136 anggota, wakil rakyat berbasis provinsi, hanya memiliki seorang wakil ketua MPR. Terasa ada ketidakadilan dalam penentuan pimpinan MPR, karena diperkirakan hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mempunyai kader di DPR yang jumlahnya melampaui jumlah anggota DPD. Kegaduhan pun bisa terjadi dalam penentuan ketua MPR karena tergantung kesepakatan antarpartai dan DPD.
MPR sebenarnya tak perlu jumlah pimpinan yang banyak. Menurut Pasal 3 UUD 1945, wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan/atau wakil presiden, menggelar sidang setidaknya sekali dalam setahun, menggelar sidang sesuai usulan DPR, dan memberhentikan presiden/wapres dalam masa jabatannya sesuai UUD.
Pimpinan PDI-P dan Partai Golkar belum sepakat untuk menambah kursi pimpinan MPR. UU MD3 baru tahun lalu diubah pula. Namun, lobi politik masih terjadi. Jika jumlah pimpinan MPR 2019-2024 bertambah, anggaran pimpinan Majelis akan bertambah sekitar Rp 200 miliar per tahun. Dana ini bisa digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.