Keberadaan museum dan monumen kebencanaan dinilai efektif untuk mengingatkan masyarakat tentang ancaman bencana di sekitar mereka. Meski demikian, hal tersebut tetap perlu diimbangi dengan pendidikan mitigasi bencana dan kesiapan infrastruktur.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan museum dan monumen kebencanaan dinilai efektif untuk mengingatkan masyarakat tentang ancaman bencana di sekitar mereka. Meski demikian, hal tersebut tetap perlu diimbangi dengan pendidikan mitigasi bencana dan kesiapan infrastruktur.
Peneliti Pusat Studi Gempa Nasional Nuraini Rahma Hanifa mengatakan, ingatan masyarakat Indonesia terhadap bencana bisa dibentuk melalui keberadaan monumen ataupun museum kebencanaan. Museum bisa menjadi media edukasi masyarakat tentang potensi-potensi bencana di sekitar mereka.
”Bangunan-bangunan itu sebagai pengingat bagi masyarakat bahwa bencana tersebut bisa berulang sewaktu-waktu,” katanya dalam Acara Bincang-bincang Bencana yang digelar Muhammadiyah Disaster Management Center di Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Menurut dia, pendekatan itu selama ini digunakan Pemerintah Jepang untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakatnya. Setiap kali terjadi bencana besar, bisa dipastikan monumen atau museum peringatan akan dibangun di sana. Masyarakat Jepang didesain untuk terus mengingat bencana tersebut.
Di Nagoya, misalnya, dibangun sebuah museum untuk mengingat bencana Taifun Haiyan yang pernah terjadi pada 1959 serta gempa megathrust dan tsunami. Mereka juga membangun museum tepat di atas patahan Gempa Nobi yang terjadi pada 1891 sehingga masyarakat dapat melihat langsung jejak patahannya.
Peneliti Geologi Gempa Bumi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik R Daryono mengungkapkan, selain sebagai sarana pendidikan, beberapa museum juga dibangun untuk keperluan penelitian. Misalnya, museum di bekas retakan gempa bumi di Kobe, Jepang, pada 1995 dan Chichi, Taiwan, pada 1999 yang hingga kini masih menjadi pusat studi dan penelitian.
”Adanya ancaman bencana bukan berarti melarang kita tinggal di daerah tersebut. Tapi perlu ada kaedah yang diikuti seperti tidak mendirikan bangunan di jalur patahan,” katanya.
Di Indonesia, beberapa monumen dan museum kebencanaan sudah dibangun, misalnya di Aceh untuk peringatan tragedi tsunami atau di DI Yogyakarta untuk letusan Gunung Merapi. Rahma menilai, monumen-monumen semacam itu masih perlu dibangun di banyak kota Indonesia.
Lewat pendidikan
Menurut Rahma, Pemerintah Jepang juga menanamkan edukasi tentang kebencanaan melalui jalur pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Tidak sekadar melalui teori, materi kebencanaan yang diberikan juga sampai pada tahap simulasi. Beberapa sekolah bahkan sudah menerapkan setiap bulan.
”Respons mereka menghadapi bencana sudah tertanam di alam bawah sadar karena terlatih sejak kecil,” ujarnya.
Meski demikian, memberikan edukasi kebencanaan saja tidaklah cukup. Diperlukan upaya pendukung lainnya, seperti penguatan infrastruktur dan bangunan. Pemerintah Jepang telah menargetkan 100 persen sekolah harus aman dari gempa. Hal ini menjadi tantangan untuk Indonesia karena sebanyak 497.576 sekolah berada di zona rawan bencana.
Di Osaka, gempa bumi pernah menyebabkan salah satu bagian bangunan sekolah runtuh dan menimpa seorang siswa hingga meninggal. Wali Kota Osaka pun meminta maaf dan pemerintah langsung menginstruksikan jajarannya untuk menginspeksi seluruh sekolah untuk menjamin keamanan semua siswa.
”Di Indonesia, membuat sekolah yang aman dari gempa saja masih harus berpikir ulang. Rumah-rumah di Jepang juga disubsidi untuk merekonstruksi bangunan,” katanya.
Rahma mengungkapkan, Jepang pernah mengalami gempa megathrust di atas magnitudo 9 diikuti tsunami sekitar 30 meter. Sebagai perbandingan, jumlah korbannya hanya sekitar 10 persen dari jumlah korban pada tsunami Aceh 2004. Selain karena masyarakatnya yang sudah terdidik, infrastruktur di Jepang juga sudah tahan gempa.
Kepala Seksi Organisasi Internasional Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana Fery Irawan mengatakan, bencana serupa pada dua lokasi yang berbeda dampaknya bisa berbeda pula. Hal tersebut amat tergantung dari cara masyarakat menyikapi potensi bencana tersebut sebelumnya.
”Di Mentawai, ada dua dusun yang terkena bencana tsunami yang sama, tetapi dampaknya berbeda. Salah satunya terdampak lebih ringan karena memiliki akses ke lokasi ketinggian lebih mudah,” katanya.