Keberpihakan Regulasi pada Energi Terbarukan Agar Dibangun
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Energi terbarukan di Indonesia diproyeksi bisa menyumbang 54,3 persen penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi pada tahun 2030. Pertumbuhannya masih sangat rendah sehingga pemanfaatan potensi energi terbarukan melalui investasi dan keberpihakan regulasi agar dibangun.
Apabila investasi dan atmosfir yang mendukung pengembangan energi terbarukan bisa diciptakan dalam waktu dekat, maka diproyeksikan dua hingga tiga tahun mendatang Indonesia bisa mengejar ketertinggalan akan bauran energi terbarukan tersebut.
“Pada 2030 kita masih punya cukup waktu. Kita optimstis target tercapai 2030. Kita berharap dalam 2-3 tahun depan ada lompatan-lompatan energi terbarukan sehingga ada waktu mengejar. Kalau sekarang kita berjalan, nanti kita bisa berlari,” kata Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bidang Lingkungan dan Tata Ruang, Kamis (22/8/2019) usai mewakili Menteri Ignasius Jonan menjadi pembicara utama dalam kegiatan APIK Indonesia Network International Conference 2019.
Kita optimstis target tercapai 2030. Kita berharap dalam 2-3 tahun depan ada lompatan-lompatan energi terbarukan sehingga ada waktu mengejar.
Optimistis dia tersebut diantaranya didapatkan dari rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) terbaru yang disusun PLN. Dalam dokumen tersebut, pun dinyatakan pada tahun 2025 Indonesia memiliki 23 persen energi terbarukan.
“Tinggal bagaimana mencapai itu. Bahwa investasi belum sesuai harapan, itu yang harus lakukan langkah perbaikan. Kami tawarkan proyek energi bersih pada negara sahabat dan sekarang sudah ada yang studi kelayakan,” kata dia.
Terkait harga listrik dari energi terbarukan yang tak kompetitif dengan harga listrik dari energi fosil, menurutnya, tergantung lokasi. Apabila di Indonesia Timur yang sangat membutuhkan listrik, lanjutnya, bisa kompetitif karena biaya pokok penyediaan (BPP) tinggi serta permintaan dari industri.
Di Jawa, suplai listrik dinilai telah cukup. Karena itu, kata dia, Menteri Ignasius Jonan telah menyatakan tak akan lagi menambah pembangkit listrik berbahan bakar batubara di Jawa.
Menteri Ignasius Jonan telah menyatakan tak akan lagi menambah pembangkit listrik berbahan bakar batubara di Jawa.
Di sisi lain, ia mengatakan, Kementerian ESDM serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama untuk mengembangkan pemanfaatan biomassa. Produk biomassa dari hutan tanaman energi (HTE) ini bisa digunakan sebagai substitusi batubara.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan telah menyediakan 2 juta-3 juta hektar kawasan hutan produksi untuk penanaman HTE. Namun, kata dia, belum ada investor yang berani mengajukan permohonan izin usaha pemanfaatan hasil hutan HTE.
“Planologi sudah sediakan HTI (hutan tanaman industri) untuk energi. Misal pemegang tanam untuk energi, PLN bisa terima tidak? Itu yang harus dijamin dari sisi pasarnya,” kata dia.
Sangat rendah
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Kamis (22/8/2019), di Jakarta, menunjukkan perkembangan energi terbarukan Indonesia sangat rendah dibandingkan China dan India. Di saat Indonesia dalam rancangan umum energi nasional (RUEN) menargetkan pada 2025, bauran energi mencapai 23 persen atau 45 Gigawatt, India telah menargetkan 260 Gigawatt energi terbarukan pada 2024 dari total 600 GW. China menargetkan 675 GW pada 2020.
Di saat Indonesia dalam rancangan umum energi nasional (RUEN) menargetkan pada 2025, bauran energi mencapai 23 persen atau 45 Gigawatt, India telah menargetkan 260 Gigawatt energi terbarukan pada 2024 dari total 600 GW. China menargetkan 675 GW pada 2020.
“Target (bauran energi terbarukan) Indonesia 45 GW, sekarang masih 7-8 GW, jadi lebih dari 35 GW untuk lima tahun mendatang. Sayangnya dalam hal investasi, Indonesia masih tertinggal dari negara lain di kawasan ini (Asia Pasifik),” dia dalam kegiatan APIK Indonesia Network International Conference 2019. Menurut Saleh, saat ini kapasitas terpasang energi terbarukan telah mencapai 9,7 GW.
Ia menyebutkan pengembangan energi terbarukan di Asia Pasifik karena posisi sebagian besar negara yang mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun. Ini membuat biaya listrik dari sinar surya kian murah.
Rabby mencontohkan, di China biaya produksi listrik dari sel surya turun dari 29,6 sen dollar AS per kWh (2010) menjadi 6,6 sen dollar AS per kWH. India juga serupa, biaya produksi listrik dari sel surya turun dari 29,9 sen dollar AS per kWh (2010) menjadi 6,2 sen dollar AS per kWh (2018).
Seperti diberitakan pada komitmen penurunan emisi Indonesia (NDC) terkait Kesepakatan Paris, Indonesia menargetkan penurunan emisi 29-41 persen. Target itu didapatkan dari sektor kehutanan 17 persen, sektor energi 11 persen, dan sisanya dari pengelolaan limbah dan industri.
Pada 2030, sektor energi ditargetkan bisa menurunkan emisi 314 juta ton setara CO2. Penurunan itu didapatkan dari pemanfaatan energi terbarukan sebesar (54,3 persen), konservasi energi (30,7 persen), pasokan energi bersih (10,1 persen), konversi bahan bakar (3,2 persen), dan reklamasi pasca tambang (1,7 persen).