Polisi dan masyarakat sipil yang melakukan razia buku terjebak pada kesemuan legitimasi tindakan mereka. Narasi komunisme ataupun marxisme sebagai paham berbahaya dianggap dapat membenarkan tindakan mereka sehingga mengabaikan kaidah hukum yang berlaku.
Oleh
Selma Theofany
·4 menit baca
Beberapa pekan terakhir media merekam aksi razia dan perampasan buku yang dituding berbahaya. Pada akhir Juli lalu, Polsek Kraksaan, Probolinggo, menangkap dua mahasiswa yang menggelar lapak buku yang di antaranya adalah buku biografi tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bukan hanya itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI), di luar wewenangnya, turut mengambil alih buku yang dirazia. Tak lama berselang, sekelompok orang yang menamakan diri Brigade Muslim Indonesia (BMI) melakukan aksi serupa dengan menyisir buku yang dianggap memuat ajaran marxisme, bahkan turut meringkus buku-buku karya Franz Magnis-Suseno yang mengkritik marxisme.
Kedua razia dilakukan atas dasar ketakutan terhadap komunisme yang belum tentu dipahami pihak yang melakukan razia.
Razia buku secara semena-mena yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan diikuti oleh masyarakat sipil menjadi alarm yang menunjukkan munculnya gejala pelanggaran HAM dan vigilantisme.
Buku-buku yang ditarik secara paksa dapat menjadi cermin pengabaian dan pelanggaran HAM di negara yang mendaulat diri telah berkomitmen pada penegakan HAM.
Razia buku secara semena-mena yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan diikuti oleh masyarakat sipil menjadi alarm yang menunjukkan munculnya gejala pelanggaran HAM dan vigilantisme.
Ketika pelarangan peredaran buku dilakukan, kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat turut dicederai. Di samping itu, buah pikiran yang telah ditelurkan ke dalam buku telah menduduki posisi sebagai entitas pengetahuan. Ketika peredarannya dibatasi, bahkan dilarang, entitas pengetahuan itu turut dihilangkan.
Padahal, publik memiliki hak ilmu pengetahuan sekaligus memiliki kebutuhan literasi. Dalam konteks ini, hak ilmu pengetahuan bermakna akses terhadap pengembangan diri lewat pengetahuan guna membangun peradaban. Oleh sebab itu, tak seharusnya hak ini dilanggar melalui pembatasan akses, sekalipun itu dilakukan dengan narasi bahwa pengetahuan itu mengancam sebab sematan sebagai ancaman adalah konstruksi yang bisa diperdebatkan.
Perampasan buku yang merupakan properti pribadi masyarakat sipil pun tak kalah problematis. Pihak yang melakukan razia telah melanggar hak milik pribadi. Pengambilan secara paksa terhadap kepemilikan individu tak dapat dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat.
Ketika pelarangan peredaran buku dilakukan, kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat turut dicederai.
Naasnya, razia buku yang telah melanggar HAM secara berlapis dilakukan secara langsung oleh aparat kepolisian sebagai representasi negara yang memiliki tanggung jawab mengakui, melindungi, menjamin, dan menegakkan HAM sesuai dengan mandat instrumen HAM internasional ataupun nasional.
Aparat pun cenderung melakukan pembiaran pelanggaran yang dilakukan pihak ketiga, BMI.
Masih negara hukum?
Bukan hanya pelanggaran HAM, razia buku juga menghadirkan pertanyaan tentang klaim Indonesia sebagai negara hukum.
Bukan hanya pelanggaran HAM, razia buku juga menghadirkan pertanyaan tentang klaim Indonesia sebagai negara hukum.
Pasalnya, razia ini tak sesuai dengan Putusan MK No 6/PUU-VIII/2010, No 13/PUU-VIII/2010, dan No 20/PUU-VIII/2010 yang mencabut UU No 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Putusan ini menyaratkan adanya proses peradilan jika pelarangan buku dilakukan.
Razia buku yang dilakukan tidak melalui proses peradilan dapat dikatakan sebagai eksekusi di luar hukum. Kepolisian sebagai aparat penegak hukum tak bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku dan ini merupakan pelanggaran serius terhadap hukum tersebut.
Polisi menempatkan diri sebagai pengawas peredaran buku mengilhami UU yang telah dicabut. Padahal, poin ini dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum.
Polisi dan masyarakat sipil yang melakukan razia buku terjebak pada kesemuan legitimasi tindakan mereka. Narasi komunisme maupun marxisme sebagai paham berbahaya dianggap dapat membenarkan tindakan mereka sehingga mengabaikan kaidah hukum yang berlaku. Oleh karena itu, vigilantisme tumbuh subur.
Kondisi ini berbeda dengan praktik pelarangan buku di Selandia Baru. Publik dalam hal ini dapat memberikan penilaian apakah sebuah buku mengganggu ketertiban umum.
Penilaian harus disampaikan melalui mekanisme komplain agar diproses oleh The New Zealand Office of Film and Literature Classification sebagai otoritas yang memiliki mekanisme pelarangan. Dengan demikian, pelarangan terhadap sebuah buku didasarkan pada peraturan, bukan tindakan vigilant.
Agenda ke depan
Dua insiden tersebut perlu segera disikapi bijaksana agar tak meluas. Kepolisian melalui Polri perlu membuat kebijakan yang bisa jadi pedoman bagi jajarannya hingga aparat yang bertugas di lapangan. Pedoman itu memuat pentingnya menjunjung supremasi hukum dan larangan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pedoman yang disusun tak hanya memuat prinsip, tetapi menegaskan sifat mengikat prinsip tersebut dengan memasukkan sanksi di dalamnya.
Kepolisian melalui Polri perlu membuat kebijakan yang bisa jadi pedoman bagi jajarannya hingga aparat yang bertugas di lapangan.
Selain itu, Polri perlu menyusun instrumen panduan bagi jajaran kepolisian dalam menghadapi kelompok vigilante semacam ini. Kepolisian harus menegaskan diri sebagai aparat keamanan yang bertindak sesuai dengan hukum, bukan mengikuti kemauan kelompok tertentu ataupun membiarkan kelompok tertentu bertindak melawan hukum. (Selma Theofany, Peneliti Setara Institute Peace and Democracy)