RUU Penghapusan kekerasan Seksual Mulai Dibahas Pekan Depan
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menghadapi Rapat Panitia Kerja Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, pada Senin (26/8/2019), tim pemerintah yang dipimpin Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan terus melakukan pembahasan substansi dari rancangan undang-undangan tersebut.
Setelah pertemuan pada Senin (19/8/2019), Tim Panitia Kerja (Panja) Pemerintah untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, Kamis (22/8/2019) di Jakarta, kembali menggelar pertemuan yang membahas substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Selain pakar hukum, hadir juga kementerian/lembaga yang terkait, termasuk dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara RI. Hadir juga dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, tenaga-tenaga ahli Komisi VIII DPR, dan perwakilan organisasi masyarakat sipil.
“Hasil pertemuan dengan para ahli hukum termasuk dengan Prof Harkristuti Harkrisnowo terus kita tindaklanjuti dengan menampung saran-saran berbagai pihak dan memperbaiki draf sandingan daftar inventarisasi masalah, yang natinya akan dibicarakan saat rapat dengan panja di DPR pekan depan,” ujar Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Vennetia R Danes, yang juga Ketua Panja Pemerintah untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Menurut Vennetia, pertemuan tersebut untuk pemantapan substansi terutama delik-delik pemidanaan. Selain itu membahas soal pencegahan, koordinasi, dan pemantauan, juga dibahasa soal perlindungan, pemulihan, peran serta masyarakat, dan kerjasama internasional.
Adapun struktur dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terdiri atas sembilan bab yakni, Bab I Ketentuan Umum; Bab II Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Bab III Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Bab IV Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan; Bab V Pencegahan, Koordinasi, dan Pemantaun; Bab VI Perlindungan dan Pemulihan; Bab VII Peran Serta Masyarakat dan Kerjasama Internasional; Bab VIII Ketentuan Peralihan, dan Bab IX Ketentuan Penutup.
“Untuk hal yang terkait dengan pemidanaan, kami mengundang aparat penegak hukum untuk meminta klarifikasi. Karena tidak elok jika RUU ini selesai dan menjadi undang-undang kemudian banyak uji materi,” kata Vennetia.
Kendati demikian, Vennetia menegaskan, mekanisme untuk proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan berjalan di DPR. “Jadi masih berproses, tapi semua masukan sudah digodok.Mudah-mudahan pembahasan di DPR berjalan lancar, sehingga selesai sesuai target 25 September nanti undang-undang sudah disahkan,” paparnya.
Persidangan harus terbuka
Koordinator Jaringan Kerja Program legislasi Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batara Murti yang juga ikut dalam pembahasan bersama tim pemerintah berharap DPR mau bekerja sungguh-sungguh untuk menbahas dan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dia meminta persidangan di DPR terbuka agar masyarakat sipil bisa mengawal pembahasan RUU tersebut.
“’Kami juga berharap DPR agar membuka seluas-luasnya ruang diskusi dengan mempertimbangkan revisi DIM terakhir pemerintah karena sudah jauh perkembangannya atau lebih baik dari sebelumnya,” katanya.
Ratna juga meminta tim pemerintah memberikan draf DIM RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang terbaru kepada organisasi masyarakat sipil yang berkepentingan dengan RUU tersebut, sehingga bisa ikut mengawal proses pembahasan di DPR.
“Kementerian/lembaga yang ditugaskan dalam Amanat Presiden harus benar-benar mendukung hasil DIM terbaru,” tegas Ratna.