Kementerian Komunikasi dan Informatika masih melanjutkan pemblokiran internet di wilayah Papua dan Papua Barat. Kebijakan ini diambil karena distribusi dan transmisi informasi hoaks, kabar bohong, provokatif, dan rasis masih terus tersebar luas.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Komunikasi dan Informatika masih melanjutkan pemblokiran internet di wilayah Papua dan Papua Barat. Kebijakan ini diambil karena distribusi dan transmisi informasi hoaks, kabar bohong, provokatif, dan rasis masih terus tersebar luas.
“Pemerintah menyimpulkan bahwa meskipun situasi dan kondisi di beberapa kota dan kabupatan di Papua dan Papua Barat mulai berangsur-angsur pulih, namun distribusi dan transmisi informasi hoaks, kabar bohong, provokatif dan rasis masih terbilang tinggi,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Ferdinandus Setu di Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Keputusan atas kebijakan perpanjangan masa pemblokiran internet ini berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Kemkominfo dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait. Untuk saat ini, masyarakat tetap bisa berkomunikasi dengan menggunakan layanan panggilan telepon dan layanan pesan singkat.
Setidaknya ada 33 item dan total 849 Lokator Sumber Seragam (LSS) atau Uniform Resource Locator (URL) informasi hoaks dan provokatif terkait isu Papua yang telah diidentifikasi, divalidasi, dan diverifikasi oleh Kemkominfo sejak 18 Agustus 2019. Konten negatif tersebut disebarkan ke ratusan ribu pemilik akun media sosial, antara lain Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube.
Dalam situasi seperti ini yang perlu dilakukan adalah uji kepentingan publik untuk mengetahui apakah sudah cukup alasan bagi pemerintah untuk memblokir internet
“Meski tidak sampai 1.000 URL, tapi satu URL itu disebarkan berulang-ulang. Sebagian sudah di take down, sebagian masih dalam proses berkoordinasi dengan platform media sosial. Ada beberapa konten yang mereka (platform media sosial) nilai masih wajar tidak berada dalam kategori layak diblokir, ini masih kami koordinasikan,” ujar Ferdinandus.
Selain itu, keputusan ini dibuat dengan melihat adanya perkembangan terbaru yang terjadi bahwa provokasi juga sudah disebarkan melalui layanan pesan singkat. Pemerintah melihat bahwa situasi belum pulih secara utuh sehingga masih dilakukan pemblokiran internet.
“Sudah ada beberapa layanan pesan singkat untuk turun lagi di Jayapura tapi berkat kerja sama dengan Kepolisian Daerah Papua maka aksi provokasi tersebut berhasil dicegah. Sehingga hari ini aman dan tidak ada aksi turun ke lapangan,” ujar Ferdinandus.
Keputusan pemblokiran internet diawali dengan melambatkan akses internet atau disebut throttling pada Senin (19/8/2019) sejak situasi di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat tegang. Bahkan kerusuhan pecah di Manokwari, Papua Barat, menyusul insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, akhir pekan lalu.
Pemblokiran internet ini guna mencegah maraknya peredaran kabar bohong yang membuat situasi dan kondisi di kedua provinsi tersebut semakin panas. Dua hoaks yang teridentifikasi saat itu misalnya hoaks foto mahasiswa Papua tewas dipukul aparat di Surabaya dan hoaks yang menyebutkan Polres Surabaya menculik dua pengantar makanan untuk mahasiswa Papua.
Pemblokiran internet ini guna mencegah maraknya peredaran kabar bohong yang membuat situasi dan kondisi di kedua provinsi tersebut semakin panas
Oleh karena itu, sejak Rabu (21/8/2019) hingga saat ini, Kemkominfo mengambil kebijakan untuk memblokir akses ke internet karena kondisi bertambah parah. Di Fakfak, Papua Barat, misalnya, kerusuhan pecah.
Untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Tanah Papua, sekali lagi Kemkominfo mengimbau para warganet di seluruh tanah air untuk tidak ikut mendistribusikan dan mentransmisikan informasi elektronik yang masih diragukan kebenarannya atau yang terindikasi hoaks atau hasutan. Sebab, hal tersebut dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan berdasarkan suku, agama, ras dan antar-golongan.
Secara terpisah, Pengamat Komunikasi Agus Sudibyo menilai bahwa yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah secara terbuka menjelaskan kepada publik alasan pemblokiran tersebut. Secara khusus mengenai kegentingan, kegawatan, dan kedaruratan dari keadaan yang mengharuskan pemblokiran internet dilakukan.
Menurut Agus, keputusan ini memang dilematis. Sebab, pemblokiran internet dinilai penting untuk menjaga keamanan agar situasi tetap kondusif. Namun, kebijakan ini juga dinilai telah melanggar hak asasi manusia dan merenggut kebebasan masyarakat sipil.
“Dalam situasi seperti ini yang perlu dilakukan adalah uji kepentingan publik untuk mengetahui apakah sudah cukup alasan bagi pemerintah untuk memblokir internet. Serta untuk menguji lebih menguntungkan dan lebih bermanfaat mana bagi warga Indonesia, apakah pemblokiran atau tidak,” ujar Agus.