Adung Abdulgani Berjuang Merebut Royalti untuk Seniman Dangdut Pantura
Ibarat mobil, musisi adalah mesin utama dalam industri tarling dangdut. Ironisnya, mereka justru mendapatkan rezeki paling kecil. Adung Abdulgani, seniman serba bisa dari Indramayu, berusaha mengubah kenyataan ini. Ia menggerakkan pelaku tarling dangdut untuk memperjuangkan royalti.
Oleh
Budi Suwarna
·5 menit baca
Ibarat mobil, musisi adalah mesin utama dalam industri tarling dangdut. Ironisnya, mereka justru mendapatkan rezeki paling kecil. Adung Abdulgani, seniman serba bisa dari Indramayu, berusaha mengubah kenyataan ini. Ia menggerakkan pelaku tarling dangdut untuk memperjuangkan royalti.
Wajah Adung semringah ketika memperlihatkan sebuah pesan dari lembaga agregator musik yang baru saja mentransfer uang pembayaran royalti penggunaan lagu-lagu tarling dangdut di Youtube. Jumlahnya tidak begitu banyak, hanya beberapa juta rupiah. Namun, buat Adung dan pelaku tarling dangdut, pembayaran royalti itu membuat mereka lebih optimistis menghadapi masa depan.
”Sebelumnya, kami tidak pernah membayangkan dapat royalti. Dulu, orang lain bisa seenaknya mengomersialkan lagu-lagu karya musisi dangdut pantura. Mereka dapat duit dan kaya dari situ, sementara kami enggak dapat apa-apa. Hidupnya begini-begini saja,” tutur Adung, Selasa (6/8/2019), di rumahnya.
Saking kecilnya uang yang diperoleh, lanjut Adung, ada musisi yang sakit dan tidak sanggup untuk berobat. ”Kami sampai ngamen cari dana untuk menggalang dana dengan mengajak para bintang pantura. Kok, masa depan kami suram begini, bagaimana kalau sakit dan tidak bisa manggung lagi?” ujarnya.
Adung melihat, hak-hak pelaku tarling dangdut atau sering disebut dangdut pantura Jawa Barat, selama bertahun-tahun tidak terlindungi. Para pencipta lagu biasa menjual putus atau menyewakan lagunya kepada penyanyi atau produser dengan bayaran Rp 300.000-Rp 1,5 juta. Setelah itu, lagu bebas digunakan produser atau penyanyi untuk mencetak uang lewat pentas atau penjualan CD.
Ketika lagu terkenal, giliran pembajak yang mengeruk keuntungan lewat CD bajakan dan kini lewat unggahan lagu atau album tarling dangdut di akun Youtube. Penyanyi dan produser juga tidak dapat apa-apa, apalagi pencipta lagu.
Belakangan, para pelaku tarling dangdut sadar untuk memperjuangkan hak-hak atas karya mereka. Pada 2015, Adung bersama para pelaku tarling dangdut mendirikan Lembaga Musik Seniman Pantura (L-Musentra). Tujuannya adalah membangun industri dangdut pantura Jawa Barat yang adil dan berkelanjutan.
Awalnya, L-Musentra mengejar royalti ke pentas-pentas tarling dangdut hingga desa-desa. Setiap grup yang membawakan lagu-lagu orang lain dikenai royalti Rp 150.000 per pentas. ”MC akan mencatat lagu milik siapa saja yang dinyanyikan di pentas. Nanti, dia dapat royalti,” ujarnya. Namun, program itu dihentikan sementara lantaran organisasinya belum siap.
Selanjutnya, L-Musentra melihat peluang lebih besar untuk mengejar royalti. Lembaga ini sejak setahun lalu bekerja sama dengan aplikasi agregator Yes Music dari Italia. L-Musentra telah mendapatkan kuasa dari insan tarling dangdut untuk mendaftarkan 500-an lagu milik mereka di akun Youtube L-Musentra. Agregator akan mendeteksi akun mana saja yang menggunakan lagu-lagu tersebut dan menagih royaltinya.
Royalti yang diperoleh 25 persen untuk agregator, sisanya 75 persen dibagikan kepada pencipta lagu, penata musik, produser, videografer, dan L-Musentra sebagai lembaga payung. Royalti dibagikan setiap tiga bulan dengan laporan terperinci. ”Yang membagi juga pengurus sekaligus pelaku tarling sendiri,” ucap Adung yang didaulat sebagai Ketua Umum L-Musentra.
Enam bulan terakhir, L-Musentra mulai mengejar produsen CD bajakan. ”Kami melayangkan somasi dan mereka ketakutan. Belakangan, mereka minta izin untuk memproduksi CD asli. Kami terima tawaran itu dan saat ini mereka sedang mencetak ribuan CD original dangdut pantura yang akan diedarkan di gerai-gerai toko ritel modern. Nanti, seniman dangdut pantura dapat bagian dari penjualan CD,” tutur Adung.
Adung bersyukur, L-Musentra kini menjelma menjadi lembaga seniman musik yang besar. Dia mengklaim anggotanya mencapai ribuan orang dengan pengurus sekitar 500 orang. Mereka tersebar di enam wilayah di Indramayu sebagai pusat industri tarling dangdut, satu wilayah di Cirebon, dan dua wilayah di Subang. Insan tarling dangdut di Majalengka sementara bergabung ke wilayah Cirebon.
Seniman
Adung awalnya tidak membayangkan bakal mengurusi industri tarling dangdut. Meski menulis beberapa lagu tarling dangdut dan membuat album, Adung lebih dikenal sebagai pelukis. Ia mulai terlibat memikirkan tarling dangdut saat menjabat Ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI) periode 2011-2016.
Saat itu, Adung mendorong pendirian aneka komunitas spesifik seperti komunitas band, gitar, sketsa, fotografi, dan lain-lain untuk mempercepat pembangunan kebudayaan di Indramayu. Komunitas-komunitas itu melengkapi komunitas teater, sastra, seni rupa yang sudah lebih dulu berada di bawah payung DKI.
Melihat banyak komunitas tumbuh, pada 2015 sejumlah pelaku tarling dangdut di Indramayu dan Cirebon mendatangi Adung dan bertanya, ”Siapa yang bertanggung jawab atas kami? Kami tidak punya payung komunitas.”
Adung mengaku bingung karena DKI tidak mengurusi dangdut lantaran sebagian seniman di DKI menganggap dangdut pantura bukan kesenian, melainkan hiburan. Ia mencoba menampung aspirasi insan seni tarling dangdut. Langkah pertamanya adalah dengan memberikan penghargaan kepada pelaku tarling dangdut. ”Namun, saya tekankan kepada mereka agar menggali lagi akar dangdut pantura Jawa Barat, yakni seni tarling klasik.”
Pada 2015, Adung dan pelaku tarling dangdut mendirikan L-Musentra. Lewat lembaga itu, ia mengajak musisi, penyanyi, dan pencipta lagu untuk mulai menata industri tarling dangdut. ”Selama ini, semuanya bergerak sendiri-sendiri, enggak ada aturan main yang jelas,” katanya.
Mulailah L-Musentra menggelar aneka workshop terkait manajemen, pengelolaan keuangan, konsep berkarya, konsep panggung, hingga etika di atas panggung.
”Kami jelaskan batasan porno aksi kepada pelaku dangdut pantura supaya mereka tidak tersandung masalah di panggung. Kami juga tekankan jangan sampai ada yang mabuk di atas panggung,” lanjutnya.
L-Musentra juga mendorong penyanyi dan musisi untuk mempelajari lagi tarling klasik sebagai akar kesenian mereka. Adung mengaku miris karena sebagian besar penyanyi terlena pada dangdut dan tidak bisa lagi ngiser atau nyinden. Padahal, pertunjukan tarling dangdut di Indramayu terdiri atas dua bagian, yakni pentas lagu tarling dangdut dan sandiwara.
”Saya bilang kepada mereka, ketenaran penyanyi itu paling sampai 35 tahun. Kalau mereka bisa ngiser, mereka masih bisa tampil di acara sandiwara atau wayang. Enggak ada pensiunnya. Kalau banyak yang bisa ngiser, tarlingnya juga terjaga kelestariannya,” ujar Adung yang juga menulis lagu tarling dangdut, menari, dan bermain teater.
Ia yakin sekali industri tarling dangdut di Indramayu akan terus maju karena ada serapan ekonomi di industri ini. ”Yang menciptakan lagu sebagian besar orang Indramayu, yang nyanyiin orang Indramayu, pemusiknya orang Indramayu, yang nanggap orang Indramayu, pembajak lagunya juga orang Indramayu. Tinggal ditata saja supaya rezeki dari industri ini bisa menjamin masa depan bersama,” kata Adung.
Adung Abdulgani
Lahir: Indramayu, 3 Februari 1977
Pendidikan: S-1 Bahasa Inggris Universitas Wira Lodra Indramayu
Organisasi:
Ketua Umum Lembaga Musik Seniman Pantura (2015-2021)
Ketua Dewan Kesenian Indramayu (2000-2013)
Wakil Kedua Dewan Kesenian Indramayu (2000-2013)
Ketua Sanggar Seni Lukis Brilliant (2000)
Penasihat Indramayu Guitar Community (2000)
Prestasi:
Pameran Kelompok Ekspresi 7 Pelukis Indramayu (2001)
Pameran Pasar Seni Indramayu (2002)
Pameran Tunggal Dua Tangan di Indramayu (2002)
Pameran Kelompok Awekening di Hotel Sultan, Jakarta (2010)
Pameran Kelompok Indonesia Urban di Indramayu (2010)