Sabtu (24/8/2019) pagi, wajah Sorong sudah kembali pulih dan mulai bergairah. Jalan ramai dengan kendaraan. Jual-beli di pasar pun ramai. Kegiatan belajar-mengajar dan perkantoran kembali berlangsung.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Lamberth Jitmau bersandar lemas di kursi sambil beberapa kali menghela napas panjang. Ia dikerumuni puluhan orang, kebanyakan ibu-ibu yang menaruh kasihan kepadanya. Wali Kota Sorong itu baru saja lolos dari amukan demonstran. Beberapa pejabat lainnya juga dipaksa menerima lemparan botol air mineral, potongan kayu, dan batu.
Massa tampak tak dapat dikendalikan koordinator aksi. Beberapa orator bahkan berebut pengeras suara untuk bicara. Saat Lamberth–orang nomor satu di kota berpenduduk sekitar 200.000 jiwa itu–berbicara, mereka tak menghiraukannya. Hingga akhirnya mereka melempari pemimpin mereka sendiri. Lamberth berlari sambil dilindungi aparat, termasuk seorang ibu yang menutup kepala Lambert dengan tangannya.
Lantai satu Kantor Wali Kota Sorong tempat Lambert duduk pada Rabu (21/8/2019) siang itu juga gaduh. Orang-orang berlari mencari anggota keluarga yang tercecer.
Di luar gedung, bunyi tembakan gas air mata dan tembakan peringatan ke udara bersahutan. Bunyi tembakan perlahan semakin jauh seiring dipukul mundurnya massa oleh aparat gabungan. Konsentrasi peserta aksi yang berjumlah lebih dari 1.000 orang itu berhasil dipecah.
”Cari orang-orang yang bertanggung jawab atas aksi ini,” ujar Lamberth.
Lamberth yang semula menyampaikan keprihatinan dan simpati kepada peserta aksi itu berbalik kesal dengan tindakan anarkistis mereka. Ia marah dengan tingkah laku peserta yang membuat demo damai menjadi ricuh. Merusak sejumlah fasilitas publik yang dibangun untuk kepentingan mereka juga dianggap bukan tindakan terpuji.
Setelah kondisi agak reda, ia mempermasalahkan perusakan Bandar Udara Domine Eduard Osok oleh massa pada Senin. Dinding kaca di pintu kedatangan dan keberangkatan dirontokkan dengan batu dan kayu.
Bahkan, ada yang masuk dan merusak layar di konter check in. Di halaman parkir, satu mobil dan tiga sepeda motor hangus dibakar. Puluhan mobil dan motor dirusak. Ada pesawat yang batal mendarat. Sejumlah penumpang terjebak berjam-jam di bandara.
”Saya sedih sekali. Kami bangun bandara itu tiga tahun. Hanya beberapa menit saja mereka bikin rusak,” ucap Lamberth sambil menggelengkan kepala sebagai tanda penyesalan.
Bandara tersebut menjadi simbol kebanggaan tak hanya Kota Sorong, tetapi juga masyarakat di Papua dan Papua Barat. Bandara megah tersebut merupakan pintu masuk ke tanah Papua dari wilayah barat.
Bandara yang menjadi etalase Papua itu menghabiskan anggaran Rp 239 miliar. Semuanya dibangun untuk mempercepat akses dari dan ke luar Papua. Pada zaman Lamberth kuliah di Jawa tahun 1980-an, dirinya menggunakan kapal barang dengan waktu tempuh lebih dari 10 hari. Kini, Sorong dan Jakarta yang terpaut sekitar 2.799 kilometer itu dapat dicapai hanya dalam waktu empat jam dengan penerbangan langsung.
Kalian kira bandara ini untuk siapakah? Ini untuk kita semua. Untuk masyarakat orang-orang Papua. Bukan untuk pemerintah. Kalau bikin rusak begini, siapa yang rugi?
Dalam satu hari, sekitar 40 penerbangan dari dan menuju Sorong dengan aliran penumpang berkisar 2.000-3.000 orang. ”Kalian kira bandara ini untuk siapakah? Ini untuk kita semua. Untuk masyarakat orang-orang Papua. Bukan untuk pemerintah. Kalau bikin rusak begini, siapa yang rugi?” ujar Lamberth.
Lawan rasisme
Gelombang unjuk rasa di tanah Papua, baik Provinsi Papua maupun Papua Barat, dipicu atas dugaan tindakan rasial yang dialami mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur. Videonya beredar di media sosial dan aplikasi percakapan hampir satu pekan terakhir. Video itu memang melukai kemanusiaan semua orang, bukan hanya orang Papua.
Dalam aksi di Kota Sorong dan beberapa tempat di tanah Papua, disampaikan tuntutan bahwa pelaku yang terlibat dalam ujaran rasis itu ditindak polisi. Demonstran berjanji akan terus turun ke jalan jika proses hukum belum jelas.
”Tangkap dan adili pelaku penghinaan. Ini baru adil,” kata Filep Imbir, demonstran yang ikut menyampaikan orasi di halaman Kantor Wali Kota Sorong, Selasa siang.
Ketua Klasis Sorong Pendeta Isak Kwaktolo terus berupaya mendekati para tokoh adat untuk meredam gejolak agar jangan sampai berujung tindakan anarkistis. Demo tidak dilarang, tetapi harus damai.
Aksi di Sorong dan wilayah Papua lainnya mungkin bisa reda jika proses hukum terhadap kasus tersebut sudah terang. Bisa jadi, itu yang dapat memenuhi rasa keadilan meski tidak serta-merta langsung mengobati luka.
Isak juga meminta agar masyarakat waspada dengan penumpang gelap. Mereka yang mengambil untung dari kondisi ini dapat menyusup dengan agenda-agenda tertentu yang dapat memecah belah sesama masyarakat ataupun masyarakat dengan pemerintah.
”Agar kondisi tidak semakin runyam, aparat keamanan tak boleh represif. Sentuh orang Papua dengan hati, jangan dengan senjata,” ujar Isak.
Disadari, kondisi ini merugikan masyarakat. Ekonomi lumpuh. Kios kecil, supermarket, warung makan, dan restoran di pinggir jalan ditutup. Pemilik takut dengan amukan massa. Angkutan kota tidak beroperasi karena khawatir dibajak dan dirusak. Kendaraan yang lalu lalang didominasi motor, sedangkan mobil hanya milik aparat keamanan.
Sekolah dan kantor-kantor pemerintah ditutup. Bank-bank tidak dibuka menyusul ada kantor bank dan ATM yang dirusak. Stasiun pengisian bahan bakar untuk umum ditutup. Bahan bakar di tingkat pengecer habis. Jaringan internet di Sorong oleh operator juga sengaja dimatikan.
Sabtu (24/8/2019) pagi, wajah Sorong sudah kembali pulih dan mulai bergairah. Jalan ramai dengan kendaraan. Jual-beli di pasar pun ramai. Kegiatan belajar-mengajar dan perkantoran kembali berlangsung. Penerbangan di Bandara Domine Eduard Osok berjalan lancar. Kendati demikian, di beberapa titik aparat masih berjaga.
Semua orang tak menginginkan kerusuhan yang terjadi beberapa hari lalu terulang kembali. Juga sama sekali tak mau sesama anak bangsa, termasuk saudara-saudara di Papua, jadi korban tindakan rasis. Indonesia satu, indah karena perbedaan. Sebab, Papua juga katorang. Katorang juga Papua. Damai selalu tanah Papua.