Di banyak tempat di ibu kota India, taman-taman bertebaran. Tidak semua berukuran besar seperti Taman Suropati di Menteng. Ada yang hanya seluas Taman Kodok, yang berlokasi tak jauh dari Taman Menteng. Taman-taman kecil itu berada di tengah permukiman warga.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·5 menit baca
Kicauan burung menyeruak, Senin (19/8/2019) pagi. Suasana di tengah kota New Delhi, India, pagi itu semarak dengan suara beragam hewan. Di antara suasana itu, ditambah tanah yang basah setelah diguyur hujan semalam, orang-orang berlalu lalang di taman-taman kota untuk berolahraga sebelum bekerja.
Di banyak tempat di ibu kota India itu, taman-taman bertebaran. Tidak semua berukuran besar seperti Taman Suropati di Menteng. Ada yang hanya seluas Taman Kodok, yang berlokasi tak jauh dari Taman Menteng. Taman-taman kecil itu berada di tengah permukiman warga.
Taman-taman itu memiliki jalur joging yang dimanfaatkan warga sekitar untuk berjalan kaki, lari, ataupun yoga. Ada juga yang memakai waktu untuk berjalan bersama hewan peliharaan mereka.
Selain udara pagi yang segar, mereka yang pagi itu berolahraga juga mendapatkan bonus luar biasa, yakni mendengarkan suara hewan, seperti aneka jenis burung. Tak jarang, hewan seperti burung, tupai, atau tikus juga terlihat lalu lalang di taman atau jalan kompleks.
Baik manusia maupun hewan biasa hidup berdampingan di India.
Wakil Duta Besar RI di New Delhi Fientje Suebu membenarkan bahwa kicauan burung dan lalu lalang hewan kecil mudah dijumpai di New Delhi. Di Kantor Kedutaan Besar RI (KBRI) dan di sekitar rumah dinasnya di kawasan Shanti Niketan, burung liar mudah dijumpai saban waktu. ”Kadang burung-burung itu meriung di pohon kelapa yang ada di rumah tetangga. Suaranya ramai,” ucapnya, Selasa (20/8/2019).
Di Kantor KBRI, beberapa kali monyet ekor panjang memasuki kompleks KBRI. ”Monyet itu mempelajari situasi di sini, sampai dia bisa buka keran air untuk minum,” kata istri Duta Besar RI untuk India, Dewi Ratna Suryodipuro.
Duta Besar RI dan keluarga tinggal di wisma duta besar di kompleks Kantor KBRI. Di sana, banyak cerita terkait hewan-hewan liar. Pernah sekali waktu, kata Dewi, monyet itu mengambil pepaya dari dapur wisma. Kala itu, pepaya favorit Duta Besar Sidharto Suryodipuro ini tinggal satu-satunya.
”Juru masak wisma sampai teriak-teriak meminta agar monyet ini mengembalikan pepaya itu. Akan tetapi, pepaya itu sudah dibawa kabur. Seorang pegawai lokal yang juga orang India mengejar monyet itu. Pepaya bisa diambil lagi, tetapi, ya, sudah bolong dimakan monyet. Akhirnya, ya, diberikan lagi ke monyet itu,” kisah Dewi.
Di luar itu, hewan liar ini mendapatkan pakan dari alam. Pepohonan besar mudah ditemui di New Delhi. Selain di taman, pohon juga meneduhi jalan. Pohon tinggi itu menjadi rumah dan penyedia pakan bagi burung, tupai, ataupun hewan lain. Tak heran, kelestarian hewan liar itu terjamin.
Pepohonan juga tidak boleh ditebang begitu saja. Pagar atau bangunan tak jarang dibangun mengikuti pohon yang sudah tumbuh terlebih dulu.
Menekan polusi
Bagi kota besar, urusan polusi memang tak mudah diatasi. Perebutan lahan sulit dihindari, terlebih ketika populasi penduduk melaju pesat. Belum lagi kebutuhan ruang untuk industri atau kebutuhan lain.
Hujan yang turun sejak Sabtu hingga beberapa hari kemudian di New Delhi juga turut mengurangi polusi udara.
Harian Hindustan Times, 19 Agustus 2019, menulis, ”Ibu kota nasional bisa bernapas di udara bersih dalam dua hari berturut-turut, seiring hujan di sekitar ibu kota mengurangi partikel polusi (particular matter/PM).”
Masih menurut harian itu, pada Sabtu dan Minggu lalu, PM 2.5 di New Delhi mencapai angka di bawah 50 atau kualitas udara tergolong baik. Sebelum kedua hari tersebut, capaian angka PM 2.5 di bawah 50 itu diraih New Delhi pada 31 Juli 2017.
Sama seperti Jakarta, kualitas udara memang menjadi masalah di New Delhi. Pada Kamis (22/8/2019) pukul 16.00, misalnya, kualitas udara di New Delhi berdasarkan http://aqicn.org dengan parameter PM 2.5 menunjukkan 122 atau tergolong tidak sehat untuk kelompok orang yang sensitif.
Di Jakarta, pada waktu dan parameter yang sama, kualitas udara 155 atau tergolong tidak sehat.
Sebagai negara kedua berpenduduk terpadat di dunia, India perlu beragam strategi untuk mengatur kebutuhan warga sekaligus menjaga kelestarian alam. India tahun 2051 diprediksi berpenghuni 1,7 miliar jiwa atau naik 400 juta jiwa dibandingkan dengan populasi saat ini. Sebanyak 820 juta jiwa warga India tahun 2051 diprediksi tinggal di kota.
Adanya taman-taman kota ini merupakan bagian dari strategi kota merespons polusi dan ledakan penduduk.
Delhi pada 2018 dihuni sekitar 19,86 juta jiwa di area seluas 1.484 kilometer persegi. Kepadatan penduduk di daerah ibu kota ini 13.132 jiwa per kilometer persegi (km²).
Sementara itu, Jakarta, pada tahun 2018, dihuni 10 juta jiwa di wilayah seluas 661,5 km². Kepadatan penduduk sebesar 15.293 jiwa per km².
Dalam Urban Green Guidelines India, 2014, disebutkan bahwa peningkatan populasi dapat berdampak negatif terhadap alam. Karena itu, dibutuhkan upaya pelestarian ruang terbuka hijau.
Wilayah ibu kota nasional (National Capital Territory/NCT) Delhi termasuk salah satu yang hijau di dunia. Data Departemen Kehutanan NCT Delhi tahun 2009 menyebutkan, area hijau seluas 300 km² atau sekitar 20 persen dari total luas wilayah 1.483 km².
Ini berkebalikan dengan Jakarta yang kini masih 10 persen ruang terbuka hijau (RTH) dan menggapai 30 persen RTH pada tahun 2030.
Pemerintah India juga memfasilitasi aneka penelitian dari usaha rintisan (start up). Salah satu hasilnya adalah pemanfaatan sekam sisa pertanian padi. Selama ini, sekam hanya dibakar pascapanen padi. Akibatnya, polusi udara sangat tinggi.
”Di dua negara bagian, yakni Haryana dan Punjab, produksi sekam setahun mencapai 20 juta ton dan semuanya dibakar begitu saja,” kata Pracheer Dutta, COO Kriya Labs, yang tengah mengembangkan produk di Inkubator Indian Institute of Technology Delhi.
Dia mengatakan, Pemerintah India juga berupaya membatasi penggunaan plastik sekali pakai untuk menekan volume sampah. Bahan alami, seperti sekam, menjadi alternatif pembuatan peralatan makan, seperti piring dan mangkuk, seperti yang tengah dikembangkan Kriya Labs.
Beragam upaya ini tak lain untuk menjaga RTH tetap tinggi sekaligus mengurangi polusi udara. Akhirnya, kesehatan dan kenyamanan warga terjamin, sekaligus memberikan ruang hidup bagi hewan liar. Kicau burung pun jadi bonus dari keselarasan hidup dengan alam.