JAKARTA, KOMPAS— Dialog yang konstruktif dan persuasif mesti menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Peristiwa yang melukai masyarakat Papua pada dasarnya juga melukai seluruh bangsa Indonesia. Pasalnya, Papua adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia.
”Saya menyesalkan segala tindakan yang melecehkan anak-anak Papua, apa pun alasannya. Bagi kami, tindakan pelecehan kemanusiaan terhadap warga Papua pada hakikatnya adalah pelecehan terhadap harkat dan martabat bangsa Indonesia sendiri,” kata Sinta Nuriyah Wahid, istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, pada acara yang digelar Gerakan Suluh Kebangsaan di Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Selain Sinta, hadir dalam acara ini sejumlah anggota Gerakan Suluh Kebangsaan yang dipimpin mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Mereka, antara lain, rohaniwan Franz Magnis-Suseno dan Benny Susetyo, cendekiawan Muslim Quraish Shihab dan Alwi Shihab, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Komaruddin Hidayat, serta Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid. Hadir pula tokoh Papua, Simon Morin.
Gerakan Suluh Kebangsaan menggelar acara itu terkait dengan adanya dugaan ujaran kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur. Peristiwa itu memicu unjuk rasa di sejumlah tempat di Papua dan Papua Barat.
Gerakan Suluh Kebangsaan berharap semua pihak dapat menahan diri dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan suasana yang nyaman di Papua.
Sebagai bagian dari Indonesia, menurut Mahfud, sudah semestinya jika Papua mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah. Hak-hak ataupun pembangunan di Papua harus sama dengan daerah lain.
Menurut Mahfud, sejak masa Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo, Papua telah dipertahankan sebagai bagian dari Indonesia dengan sebaik-baiknya. Namun, masalah sosiologis dan psikologis yang sejak dulu telah terjadi di Papua masih perlu dibenahi pemerintah.
Simon Morin menegaskan, banyak masalah di Papua yang masih disembunyikan. Masalah itu, antara lain, kesenjangan ekonomi dan pelanggaran hak asasi manusia. ”Peristiwa (unjuk rasa di Papua dan Papua Barat) ini akumulasi dari sikap warga Papua yang merasa kurang mendapat kebebasan dan perlindungan. Harus ada dialog yang membangun kepercayaan dengan warga Papua untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik,” katanya.
Sementara itu, dalam dialog ”Merajut Persatuan dan Kesatuan dalam Semangat Kebinekaan” yang digelar Jumat di Markas Polda Metro Jaya, muncul seruan agar TNI/Polri menegakkan hukum atas pelaku diskriminasi ras dan etnis terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur. Seruan itu diungkapkan Ketua Dewan Pembina Forum Komunikasi Anak Papua Baharudin Farawowan.
Akses internet
Guna mencegah meluasnya kabar bohong yang dapat memperkeruh suasana di Papua dan Papua Barat, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hingga kemarin masih melambatkan akses internet di daerah itu.
”Pemerintah menyimpulkan situasi dan kondisi di beberapa kota dan kabupaten di Papua dan Papua Barat mulai pulih. Namun, distribusi dan transmisi informasi hoaks, kabar bohong, provokatif, dan rasis masih terbilang tinggi,” kata Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu.
Hingga kemarin, setidaknya 33 item dan total 849 url informasi hoaks dan provokatif terkait isu Papua telah diidentifikasi dan diverifikasi Kementerian Kominfo. Konten hoaks dan provokatif itu disebarkan ke ratusan ribu pemilik akun media sosial Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube.
Namun, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Papua Sabar Iwanggin menilai pembatasan jaringan internet itu bersifat diskriminatif dan tidak efektif membendung informasi bohong. Aparat keamanan mestinya mengoptimalkan patroli siber guna mencari penyebar hoaks atau berita bohong.
Hal senada disampaikan sejumlah pegiat gerakan masyarakat sipil di Jakarta. ”Sangat tak adil dan diskriminatif jika membiarkan warga Papua dan Papua Barat ada di dalam kegelapan informasi akibat keputusan pemerintah membatasi akses internet,” kata Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network Damar Juniarto.
Belajar dari pengalaman India, lanjut Damar, pemblokiran internet justru meningkatkan kekerasan saat berlangsung unjuk rasa di negara itu.
(MTK/FLO/WAD/ABK)