Pagu Indikatif Rp 54 Miliar, Layanan LPSK Maksimal Empat Bulan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berharap alokasi anggaran lebih besar untuk 2020. Jika alokasi hanya sebesar pagu indikatif, yaitu Rp 54 miliar, layanan LPSK pada 2020 maksimal hanya bisa berlangsung empat bulan. Padahal, banyak yang harus dilayani oleh LPSK. Jumlah permohonan perlindungan pun meningkat signifikan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berharap alokasi anggaran lebih besar untuk 2020. Jika alokasi hanya sebesar pagu indikatif, yaitu Rp 54 miliar, layanan LPSK pada 2020 maksimal hanya bisa berlangsung empat bulan. Padahal, banyak yang harus dilayani oleh LPSK. Jumlah permohonan perlindungan pun meningkat signifikan.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan pagu indikatif LPSK untuk 2020 sebesar Rp 54 miliar. Angka tersebut jauh di bawah usulan LPSK sebesar Rp 156 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan lima tahun terakhir, alokasi anggaran untuk LPSK selalu berkisar antara Rp 75 miliar dan Rp 150 miliar.
”Berdasarkan pengalaman LPSK, dengan dana tersebut (Rp 54 miliar) layanan yang bisa diberikan hanya bisa bertahan berkisar 3–4 bulan,” kata Sekretaris Jenderal LPSK Noor Sidharta dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (25/8/2019).
Dari jumlah Rp 54 miliar, sebanyak Rp 42 miliar di antaranya bakal habis untuk membayar gaji pegawai dan operasional kantor. Artinya, hanya tersisa anggaran sebesar Rp 12 miliar yang bisa digunakan untuk pelayanan.
Padahal, tugas pokok dan fungsi LPSK melimpah. LPSK, misalnya, berkewajiban memberikan perlindungan fisik, rumah aman, pengawalan melekat, pendampingan pada proses hukum, penggantian biaya hidup, bantuan medis, bantuan psikologis, bantuan psiko-sosial, serta fasilitasi restitusi dan kompensasi.
Ditambah lagi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan mandat kepada LPSK memberikan kompensasi kepada korban terorisme. Ada 883 korban yang harus dibayarkan kompensasinya, tiga tahun setelah dikeluarkannya undang-undang tersebut. Jumlahnya tidak kurang dari Rp 51 miliar.
Selain itu, ada sekitar 10 undang-undang dan 4 peraturan pemerintah yang juga memberikan mandat kepada LPSK, misalnya undang-undang kekerasan pada perempuan dan anak dan korupsi. Dengan anggaran minim, kemampuan pelayanan LPSK dipastikan akan menurun secara kualitas dan kuantitas.
Hingga Agustus 2019, jumlah terlindung LPSK mencapai 3.179 orang. Di luar itu, sejak 2008 hingga Juli 2019, tercatat ada 11.354 permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK.
Meningkat signifikan
Menurut Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo, jumlah orang yang memohon perlindungan meningkat signifikan beberapa tahun terakhir. Ini khususnya untuk kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Pada 2018, peningkatannya hampir mencapai 300 persen dibandingkan dengan 2016.
Hingga Juni 2019, jumlah korban terlindung dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 185 anak.
”Hilangnya layanan kepada korban kekerasan fisik maupun seksual oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga menyebabkan korban berbondong-bondong datang ke LPSK,” ujarnya.
Kekurangan anggaran bukan kali pertama dihadapi oleh LPSK. Selama ini mereka selalu mengajukan anggaran belanja tambahan (ABT) menjelang akhir tahun. Pada 2017, LPSK menerima ABT sebesar Rp 1,5 miliar. ABT kembali mereka terima pada 2018 sebesar Rp 1 miliar dan 2019 sebesar Rp 10 miliar.
Agar memperoleh alokasi anggaran lebih besar daripada pagu indikatif, Hasto mengatakan, LPSK telah bertemu Ketua DPR Bambang Soesatyo, beberapa waktu lalu. Kemudian Selasa (27/8/2019), LPSK berencana bertemu Kemenkeu.
Ketua DPR Bambang Soesatyo melalui keterangan tertulisnya merespons masalah yang dialami oleh LPSK. Ia pun meminta Kemenkeu untuk memberikan perhatian khusus terhadap anggaran LPSK.
”Eksistensi LPSK mutlak dibutuhkan sebagai wujud kehadiran negara menjamin perlindungan saksi dan korban sehingga proses peradilan terbebas dari intervensi dan rasa takut,” katanya.