Mengubur Masa Suram dengan Jamur Tiram
Dengan jamur tiram (”Pleurotus ostreatus”), warga Desa Sukaurip, Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mampu menopang keluarga. Jamur jadi jalan keluar saat kondisi ekonomi berjalan penuh tantangan.
Pepes dan kerupuk jamur dijajakan di teras rumah Nuriyah (42), siang itu, Rabu (7/8/2019). Pepes pedas bercampur nasi merah itu membuat ketagihan. Hampir setiap hari 50 pepes ludes terjual. Bahkan, Nur membuka jasa antar pepes via Facebook.
Dijual Rp 2.000 per buah, Nur mampu meraup Rp 100.000 per hari dari berjualan makanan berbalut daun pisang itu. Penghasilan itu hampir setara dengan upah harian Masnur (45), suaminya. Itu pun jika ada proyek pembangunan di PT Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan.
Penghasilan Nur juga datang dari kerupuk jamur. Produk yang telah dikeringkan itu memanfaatkan batang atau bonggol jamur. Selama ini, bagian itu dibuang. Melalui upaya itu, Nur bisa menabung. Hal itu terlihat dari pembukuan sederhana di buku tulisnya, tercatat Rp 433.000 dari hasil dagangan kerupuk jamur.
Jika konsumen ingin menikmati jamur tiram yang belum diolah, Nur juga menyediakannya dengan harga Rp 15.000 per kilogram (kg). Di pasaran, harganya Rp 18.000-Rp 20.000 per kg. Semua produk itu berasal dari kumbung atau rumah jamur di belakang rumahnya. Bangunan yang berupa rak-rak bambu itu memuat sekitar 1.000 baglog, wadah silinder berbungkus plastik yang di salah satu ujungnya dilubangi sebagai tempat tumbuhnya jamur tiram.
Setiap hari, sekitar 4 kg jamur siap dipanen. Tempat itu dulu adalah kandang bagi 50 ayamnya. Namun, satu demi satu ayamnya mati. Ongkos pakan yang mahal menjadi salah satu penyebabnya.
Setelah mendapat pelatihan budidaya dan pengolahan jamur tiram dari kelompok Sukaurip Jamur Tiram (Sujati) dan PT Pertamina RU VI Balongan akhir tahun lalu, sejak Januari Nur mantap berganti usaha. Nur menjelma jadi pengusaha jamur, selain membuka jasa jahit pakaian.
”Sekarang, dari pepes jamur, saya bisa bayar uang bulanan sekolah anak, Rp 600.000. Saya juga tak khawatir lagi kalau suami tak ada proyek,” kata Nur.
Tidak jauh dari rumah Nur, Muslihatunnisa (55) menyiapkan 6 kg keripik jamur (krimur) untuk toko oleh-oleh di Cirebon. Produk itu diolah dengan enam varian rasa, mulai dari pedas, keju, hingga balado, yang dijual Rp 5.000 untuk ukuran terkecil berat 45 gram.
Untuk membuat 250 gram krimur dibutuhkan 1 kg jamur tiram. Setiap hari, 4-5 kg jamur diambil dari kumbung di belakang rumahnya. Pemasaran makanan yang terdaftar sebagai produk industri rumah tangga itu telah merambah Jakarta hingga Jepang melalui pekerja migran Indonesia asal Balongan.
”Sekarang, kami sedang urus label halal agar produk ini bisa masuk ke Brunei Darussalam. Di Brunei banyak teman yang minta,” katanya.
Manfaatkan limbah
Saat ini setidaknya 10 keluarga di Sukaurip membudidayakan jamur tiram di rumahnya. Toto Miftahussalam (59), suami Muslihatunnisa, sejak tahun 2014 telah bersentuhan dengan jamur tiram.
Awalnya, ia membeli baglog seharga Rp 3.500. Dengan 2.000 baglog, ia menghabiskan modal Rp 7 juta. Namun, setelah tiga bulan, ia hanya memanen 700 kg atau setara Rp 9 juta. Ia merugi karena dana itu harus dipotong ongkos perawatan dan pembuatan kumbung.
Toto lalu bertekad membudidayakan jamur sedari pembibitan. Belajar dari internet dan percobaan beberapa kali, ia mampu menghadirkan bibit jamur dari sorgum, serbuk kayu dari galangan kapal di Balongan, kapur pertanian, dan EM4 (efektif mikroorganisme). Bahkan, EM4 dibuat sendiri dengan memfermentasi sayuran dan buah busuk. Biaya sebuah baglog turun menjadi Rp 1.300.
Gayung bersambut, upaya Toto mendapat perhatian dari PT Pertamina RU VI Balongan pada 2016. Selain pelatihan, Pertamina juga memberikan bantuan alat, seperti kumbung, steamer, dan laminar airflow untuk pembuatan bibit. Dibuatlah tiga kelompok, yakni Wisma Jati, Sujati, dan kelompok olahan jamur tiram.
Unit Manager Communication, Relation, dan CSR PT Pertamina RU VI Balongan Eko Kristiawan mengatakan, pihaknya tidak hanya mendampingi warga dalam budidaya jamur tiram, tetapi juga pemasaran.
”Target kami ingin menjadikan Balongan sebagai sentra industri jamur,” ujarnya
Pertamina juga mendorong budidaya jamur tanpa membuang limbah (zero waste). Baglog tempat jamur tumbuh, misalnya, dimanfaatkan menjadi pupuk kompos setelah dipanen empat bulan. Sementara plastiknya dijadikan wadah tanaman. Sebelumnya, plastik dan isi baglog dibuang begitu saja.
Kini, di kumbung kelompok Wisma Jati menumpuk berkarung-karung pupuk kompos. Pupuk itu juga ditaburkan ke tanaman cabai yang menggunakan plastik bekas baglog.
”Kami sudah menjual 3 ton pupuk kepada PT Pertamina RU VI Balongan untuk mengembangkan tanaman mangrove. Harganya Rp 1.200 per kg,” ujar Toto.
Pupuk itu, lanjutnya, gratis bagi petani yang ingin memakainya. Di kumbung Wisma Jati, Toto juga membuka pelatihan budidaya jamur tiram gratis. Prospek jamur tiram cerah. Setiap hari dibutuhkan 50 kg jamur di Pasar Sukaurip dan 1,5 kuintal jamur di pusat kota Indramayu. Namun, ia hanya mampu memproduksi 25 kg jamur per hari dari 5.000 baglog.
Dalam skala nasional, berdasarkan Statistik Konsumsi Pangan 2015, konsumsi jamur naik. Tahun 2011, konsumsi jamur sebanyak 0,057 kg per kapita per tahun. Jumlah itu bertambah menjadi 0,087 kg per kapita per tahun pada tahun 2014.
Itu sebabnya, Toto tengah mendorong pemerintah desa setempat mengalokasikan dana desa untuk pengembangan jamur tiram. Targetnya, ada 10.000 baglog di Sukaurip. Dengan begitu, saat panen ada hasil Rp 45 juta jika jamur yang belum diolah itu dijual. Sementara modalnya Rp 13 juta.
Beberapa langkah kecil sudah dilakukan di Sukaurip. Warga perlahan mengubur muram masa lalu dengan kisah sukses jamur tiram saat ini.