Menjaga Kebebasan di Hong Kong
Sudah tiga bulan lebih, warga Hong Kong berunjuk rasa. Dari semula untuk menolak RUU Ekstradisi yang akan diberlakukan Pemerintah Hong Kong, tuntutan mereka kini bergeser pada desakan reformasi politik dan pembebasan Hong Kong dari kekangan Beijing. Kebersamaan jadi energi yang membuat aksi unjuk rasa itu seperti takkan berhenti.
Setelah ratusan orang ditangkap dan tidak terhitung jumlah orang yang mengalami memar karena dipukuli dengan tongkat dan aneka benda, belum ada tanda rangkaian aksi unjuk rasa di Hong Kong akan berakhir. Rabu (21/8/2019) malam, sebagian dari mereka duduk di Stasiun Yuen Long.
Di stasiun itu, pada 21 Juli lalu, puluhan pengunjuk rasa terluka setelah bentrok dengan aparat dan massa berbaju putih. Front HAM Sipil (CHRF) Hong Kong menuding orang-orang berbaju putih itu adalah massa bayaran yang sengaja menyerang pengunjuk rasa. Sampai kini, kasus itu diselidiki, dan pengunjuk rasa tidak puas dengan perkembangan penyelidikan kasus itu. Mereka pun beramai-ramai memprotesnya dengan cara duduk bersama di stasiun itu. Hanya duduk, tidak mengangkat tangan atau meneriakkan protes.
Para pengunjuk rasa datang dari berbagai penjuru Hong Kong. Mereka tahu aksi-aksi itu dari telegram, aplikasi daring layanan pengirim pesan instan. ”Kami memakai telegram karena forumnya bisa diikuti ribuan orang. Ada banyak grup, dan semua saling membagikan informasi soal perkembangan aksi unjuk rasa,” kata Isaac Cheng, Wakil Presiden Demosisto, kelompok pengunjuk rasa.
Awalnya, aksi unjuk rasa di Hong Kong digelar untuk menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. Warga khawatir RUU itu akan menjadi dasar hukum permintaan penangkapan para pengkritik Beijing di Hong Kong.
Banyak orang Hong Kong resah dengan hal itu dan berbagi keresahan di dunia maya. Komunikasi itu melahirkan gelombang aksi unjuk rasa. Ada kelompok warga yang secara aktif membuat laman berisi jadwal aksi itu dalam beragam bentuk. Informasi aksi itu lalu disebarkan secara berantai lewat laman internet, telegram, dan ruang diskusi dunia maya.
Sebagian warga datang sebagai peserta aksi unjuk rasa. Sebagian lagi memilih datang sebagai sukarelawan kesehatan. Para sukarelawan ini secara swadaya menyediakan obat-obatan untuk pertolongan pertama di lapangan. Sebagian sukarelawan ini dokter dan perawat yang sengaja mengambil cuti untuk terlibat dalam aksi itu.
”Saya terikat sumpah hipokrates (sumpah dokter) dan harus menolong di mana pun kepada yang membutuhkan. Di lapangan, banyak yang membutuhkan,” ujar seorang sukarelawan yang tidak mau mengungkap identitasnya.
Bagi kebanyakan pengunjuk rasa, menutup identitas adalah hal wajib. ”Alasan memakai masker adalah berjaga- jaga dari gas air mata, juga agar tidak diidentifikasi. Bukan karena takut ditangkap, melainkan khawatir orang- orang dekat kami terkena dampak kalau kami sampai teridentifikasi,” kata Cheng.
Tiket sekali jalan
Alasan menghindari identifikasi pun membuat orang-orang Hong Kong tak mau menggunakan tiket terusan kala naik kendaraan umum. Sebagian orang Hong Kong mendaftarkan diri untuk mendapat tiket terusan dengan nomor induk kependudukan dan nomor rekening. Tujuan awalnya untuk memudahkan pelacakan jika kartu hilang. Dalam situasi saat ini, kemudahan itu bisa membuat mereka teridentifikasi.
Karena itu, mereka menggunakan tiket sekali jalan, dan berarti harus menyiapkan uang receh. Pengunjuk rasa tidak perlu pusing dengan itu. Setiap kali ada aksi unjuk rasa besar, ada orang-orang yang membantu penukaran uang receh.
Tidak mudah mendapat uang receh di masyarakat yang hampir semua transaksi menggunakan nontunai, seperti di Hong Kong. Walakin, sejumlah orang terbukti baku adu cepat menyediakan uang receh di stasiun- stasiun kereta. Beberapa waktu lalu malah ada yang memborong tiket sekali jalan dalam jumlah banyak, lalu diletakkan di dekat pintu akses stasiun sehingga bisa diambil para pengunjuk rasa.
Sumbangan uang juga dikumpulkan di setiap aksi unjuk rasa. Selain itu, ada juga yang menyumbangkan air minum, makanan, masker, dan baju kering. Baju kering diletakkan di tempat umum agar bisa diambil pengunjuk rasa yang kehujanan. Selain agar pengunjuk rasa tidak sakit gara-gara memakai baju basah, baju kering juga dipakai untuk menghindari identifikasi. Untuk itu pula, para pengunjuk rasa selalu berbaju hitam.
Menjaga semangat
Kerja sama pengunjuk rasa tidak hanya diwujudkan dalam bentuk sumbangan dan berbagi informasi. Selama aksi unjuk rasa, mereka saling bergantian meneriakkan slogan untuk menjaga semangat. Slogan yang paling kerap diserukan adalah gwong fuk heung gong, si doi gak ming. Slogan itu kurang lebih berarti: ”Bebaskan Hong Kong, Revolusi Sekarang Juga”.
Dalam aksi unjuk rasa, ada yang jadi ujung tombak saat kericuhan. Mereka berada di garis depan dengan tugas utama melemparkan balik gas air mata yang ditembakkan polisi. Jika gas air mata tak bisa dilempar balik, mereka menutupnya dengan kerucut yang kerap digunakan sebagai pembatas jalan sementara.
”Semua bergerak karena ini keresahan bersama. Saya harus melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan. Saya tidak mau orang lain seperti saya, khawatir bicara dengan orang asing yang diduga mata-mata. Saya lelah ketakutan dan harus menghentikan ini,” ujar William (29), pengunjuk rasa.
Ia mengaku sudah bertahun- tahun khawatir setiap kali berbicara dengan orang asing. Ia khawatir orang itu mata-mata yang menyamar dan mencari informasi untuk menangkapnya. Kecemasan itu dipicu kericuhan, Februari 2016, di kawasan Mongkok. Meski tidak di lokasi kala itu, ia tetap takut peristiwa itu dan rangkaian peristiwa setelahnya terulang.
”Waktu itu, banyak orang yang ditangkap, dan penanganannya brutal sekali,” kata pria yang menolak mengungkap identitasnya lebih lanjut karena khawatir teridentifikasi.
Kekhawatirannya berubah menjadi energi keberanian kala rangkaian aksi unjuk rasa melanda Hong Kong beberapa bulan lalu. Kini, ia hadir di hampir setiap aksi unjuk rasa dan ikut meneriakkan gwong fuk heung gong, si doi gak ming.