Kebutuhan hunian terus bertambah seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Di sisi lain, ketersediaannya pun terbatas atau kalaupun ada hanya kalangan ekonomi atas yang mampu menjangkaunya.
Oleh
Eren Marsyukrilla (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Warga megapolitan Jabodetabek semakin sulit menjangkau hunian yang harganya terus melonjak. Sebagian besar warga baru bisa memiliki hunian setelah menghabiskan lebih dari separuh usia produktifnya.
Kebutuhan hunian terus bertambah seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Sementara di sisi lain, ketersediaannya pun terbatas atau kalaupun ada hanya kalangan ekonomi atas yang mampu menjangkaunya. Persoalan ini kian kompleks di tengah kondisi lahan kota yang makin terbatas dan mahal.
Data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan, secara nasional tingkat kepemilikan hunian (home ownership rate) Jakarta terburuk, yaitu hanya di angka 51,09 persen. Jumlah backlog kepemilikan hunian di Ibu Kota mencapai 1,3 juta unit.
Rendahnya kepemilikan hunian di kawasan perkotaan ini juga tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas, awal Agustus lalu. Sekitar 31 persen responden menyebutkan sudah memiliki rumah sendiri. Namun, mayoritas responden justru masih tinggal di rumah orangtua/saudaranya (42,3 persen), sementara sebagian lainnya menyewa kamar kos, rumah kontrakan, atau apartemen.
Jika kepemilikan rumah dibandingkan dengan umur, tidak kurang dari 73,3 persen responden yang berusia lebih dari 54 tahun sudah memiliki rumah sendiri. Sementara kepemilikan hunian pada usia di atas 35 tahun mencapai 51 persen dan usia kurang dari 35 tahun hanya sekitar 18 persen.
Ini berarti akses kepemilikan hunian di Jabodetabek untuk sebagian besar publik baru mulai terjangkau orang ketika memasuki usia 35 tahun. Pada usia tersebut, kondisi ekonomi seseorang biasanya mulai cukup mapan setelah lebih dari 10 tahun bekerja.
Situs properti Rumah123.com pernah membuat perkiraan daya beli berdasarkan tingkat penghasilan dan harga pasaran rumah. Dengan asumsi kenaikan gaji sekitar 10 persen per tahun dan harga properti 17 persen per tahun, maka orang yang berpenghasilan Rp 4 juta akan kehilangan daya beli untuk mencicil hunian sebesar 30 persen dari pendapatannya. Ketidakmampuan daya beli ini pun juga terjadi pada tataran pekerja berpenghasilan tinggi yang mencapai Rp 12 juta per bulan.
Dengan asumsi kenaikan gaji sekitar 10 persen per tahun dan harga properti 17 persen per tahun, maka orang yang berpenghasilan Rp 4 juta akan kehilangan daya beli untuk mencicil hunian sebesar 30 persen dari pendapatannya. Ketidakmampuan daya beli ini pun juga terjadi pada tataran pekerja berpenghasilan tinggi yang mencapai Rp 12 juta per bulan.
Hasil survei lain dari Rumah123.com menunjukkan, harga jual properti di Jakarta 95 persen berada pada skala tertinggi, yaitu lebih dari Rp 480 juta. Suplai ini berbanding terbalik dengan daya beli masyarakat, terutama untuk 46 persen kalangan usia muda yang penghasilannya masih kurang dari Rp 4 juta dan 34 persen lainnya pada angka Rp 4 juta-Rp 7 juta per bulan.
Melihat kecenderungan ini, masalah besar pemenuhan kepemilikan hunian ini bukan pada ketidakmauan untuk membayar, tetapi ketidakmampuan karena margin harga pasar yang tidak lagi sesuai dengan penghasilan. Hasil jajak pendapat yang dilakukan juga merekam lebih dari separuh responden tidak keberatan jika mengeluarkan 30 persen dari penghasilannya untuk mencicil pembelian unit hunian.
Jarak hunian
Dalam upaya menjangkau akses kepemilikan hunian, faktor jarak sering kali dikesampingkan asalkan dapat memiliki hunian dengan harga terjangkau. Pinggiran Jakarta menjadi alternatif tinggal meski sebenarnya harga yang ditawarkan pun cukup tinggi.
Padahal, idealnya faktor jarak hunian ini menjadi yang sangat penting untuk diperhitungkan. Seperti yang diungkap lebih dari 79 persen responden yang mengaku akan mempertimbangkan jarak atau lokasi jika akan membeli rumah.
Faktor kedekatan jarak ini juga diamini oleh 57,3 persen responden yang saat ini memilih untuk tinggal kurang dari 10 kilometer dari tempat beraktivitas. Sejalan dengan hal itu, sebagian besar responden (82,1 persen) pun sepakat jika jarak ideal hunian dengan tempat beraktivitas tidak kurang dari 10 km.
Penyediaan hunian yang berorientasi pada lokasi strategis dan jaraknya dekat dengan pusat aktivitas sudah mulai digalakkan sejak pengembangan kawasan transit oriented development (TOD). Terlepas dari berbagai polemik pengembangan hunian vertikal TOD, konsep ini sebetulnya menjadi angin segar dalam upaya mengatasi penyediaan hunian di wilayah Jabodetabek.
Pola penyediaan hunian di perkotaan sudah seharusnya bergeser pada jenis hunian vertikal karena dapat menyiasati harga lahan yang tinggi dan terbatas dengan tingkat penyediaan yang cukup besar.
Cara pandang publik soal hunian vertikal pun semakin positif. Tidak kurang dari 41,4 persen responden setuju jika hunian paling ideal untuk orang perkotaan berbentuk hunian vertikal, seperti apartemen, rusun, ataupun kondominium. Meski ada juga 58 persen yang menyebutkan hunian ideal adalah rumah tapak.
Perlahan, publik mulai realistis bahwa kebutuhan hunian di perkotaan tidak lagi hanya pada kenyamanan memiliki lahan dan bangunan, tetapi juga kemudahan akses dalam menjangkau tempat beraktivitas yang menjadi rutinitas jauh lebih penting.
Evaluasi secara menyeluruh dalam penyelenggaraan penyediaan hunian perlu dilakukan. Mulai dari perbaikan data, penyusunan perencanaan dan pembangunan, hingga pengawasan dalam proses penjualan unit. Dengan begitu, penyediaan hunian dapat terselenggara tepat sasaran dan menjadi solusi backlog.