Pemetaan Wilayah Bisa Bantu Pembagian Lahan Produksi dengan Cagar Alam
Memanfaatkan fuzzy logic atau logika antara dalam menetapkan pengelolaan wilayah konsesi perlu digunakan. Hal ini memungkinkan terciptanya titik tengah eksploitasi alam, kebutuhan masyarakat adat, dan pelestarian biodiversitas.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Memanfaatkan fuzzy logic atau logika antara dalam menetapkan pengelolaan wilayah konsesi perlu digunakan. Hal ini memungkinkan terciptanya titik tengah eksploitasi alam, kebutuhan masyarakat adat, dan pelestarian biodiversitas.
”Kebutuhan pembangunan dan pelestarian lingkungan kini tidak bisa maksimal 100 persen untuk tiap-tiap kubu karena permasalahan yang dihadapi semakin kompleks. Menjaga titik tengah ini menjadi kian penting agar kerusakan alam yang terjadi dapat diminimalkan,” kata Guru Besar Biologi Universitas Indonesia (UI) Jatna Supriatna dalam Konferensi Sains dan Geografi Terapan Internasional yang bertema ”Penerapan Kajian Geografis untuk Pembangunan Berkelanjutan” di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI, Depok, Sabtu (25/8/2019).
Jatna menjelaskan, dengan adanya Tujuan Pembangunan Berlelanjutan (SDGs) korporasi tidak bisa lagi melandaskan operasinya hanya pada eksploitasi alam untuk mencari laba. Pengambilan sumber daya alam harus bisa mempertimbangkan faktor sosial budaya dan ekologi. Artinya, kajian dan keputusan yang diambil kini bersifat lintas disipliner dan multidimensional.
Ia mencontohkan, penelitiannya di Papua, yaitu Merauke bagian selatan. Wilayah itu berupa hutan konsesi, di dalamnya ada hutan produktif untuk pembuatan kertas, savana tropis, rawa-rawa, dan wilayah cagar alam. Hal tersebut bisa tercapai dengan adanya dialog antara perusahaan dan masyarakat sejak awal.
”Tugas geograf adalah membuat peta hasil berdiskusi dengan warga. Isi peta itu melihat wilayah keramat bagi warga, wilayah perburuan, sumber air, batas tanah ulayat antarsuku, dan wilayah yang boleh dipakai. Hutan produksi dikembangkan di lahan yang disepakati boleh dipakai,” tuturnya.
Tugas geograf adalah membuat peta hasil berdiskusi dengan warga. Isi peta itu melihat wilayah keramat bagi warga, wilayah perburuan, sumber air, batas tanah ulayat antarsuku, dan wilayah yang boleh dipakai.
Pendekatan ini memungkinkan perusahaan menghindari konflik lahan dengan warga. Selain itu, warga juga tetap bisa melanjutkan kehidupan berdampingan dengan industri yang dirancang sedemikian rupa agar operasionalnya sesuai dengan keadaan lapangan. Metode ini juga mulai diterapkan di Sulawesi Tengah untuk menyeimbangkan antara hutan dan lahan tambang.
Penghitungan kerugian
Jatna memaparkan, konflik lahan, kerusakan ekosistem, bencana alam, polusi, debu, dan banjir hendaknya juga dihitung sebagai kerugian perusahaan. Selama ini, perusahaan kerap luput memasukkannya ke dalam biaya yang harus ditanggung. Mereka menerapkan pola operasi yang tidak ramah lingkungan dan kemudian mengakibatkan berbagai permasalahan.
”Menghitung risiko konflik dan polusi bisa memberikan persepsi pengembangan mode industri berkelanjutan. Setiap perusahaan tentu tidak mau jika di masa depan harus berhadapan dengan kerugian,” ujarnya.
Melalui cara ini, setiap industri memiliki pendekatan berbeda, misalnya perkebunan sawit, harus mulai dipetakan kekhasan wilayah masing-masing. Mungkin ada perkebunan sawit yang butuh memakai metode polikultur, yaitu menanam pohon dan tetumbuhan selain sawit agar biodiversitas dan produktivitas terjaga.
Jatna mengatakan, selama ini pendidikan diminta untuk melakukan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Semestinya, perusahaan dan industri juga menerapkan keterkaitan serta kesepadanan dengan masyarakat. Di dalamnya juga ada pelestarian keragaman hayati.
Semestinya, perusahaan dan industri juga menerapkan keterkaitan serta kesepadanan dengan masyarakat. Di dalamnya juga ada pelestarian keragaman hayati.
Hal tersebut juga dikemukakan oleh pakar geografi Universitas Putra Malaya (UPM), Malaysia, Mohd Hasmadi Ismail. Di Negara Bagian Selangor terdapat Kampung Kuantan yang terkenal dengan wisata sungai untuk melihat kunang-kunang dan biodiversitas alam. Namun, dekat dari sana juga ada perkebunan kelapa sawit.
”UPM memfasilitasi dialog antara pemerintah, warga, dan perusahaan guna menentukan batas pemakaian wilayah dan cara pemakaiannya. Perkebunan sawit disepakati harus diselingi dengan pohon-pohon keras guna menjaga debit air tanah,” ujarnya. Justru, perkebunan sawit juga dilihat sebagai biodiversitas baru yang bisa dimanfaatkan untuk pelestarian makhluk hidup.