Persidangan Diharapkan Terbuka, Beri Ruang Partisipasi Masyarakat
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panitia Kerja Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Senin (26/8/2019), mulai membahas Daftar Isian Masalah dari RUU tersebut dengan tim pemerintah. Proses pembahasan di DPR diharapkan berlangsung terbuka untuk publik dan aspirasi masyarakat terutama yang terkait kepentingan korban bisa diakomodir.
“Selain terbuka, kami berharap dari segi substansinya DPR dan pemerintah akan melakukan terobosan penting bagi masyarakat terutama dalam penanganan kekerasan seksual terkait dengan hukum acaranya yang khusus. Kami sangat berharap sembilan tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam undang-undang,” ujar Koordinator Jaringan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti, Minggu (25/8/2019), di Jakarta.
Menurut Ratna, DPR harus membuka ruang partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan RUU tersebut. Hal tersebut diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menyebutkan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menyebutkan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Selain rumusannya dalam bentuk definisi, kami berharap hukum acara yang akan diatur harus memprioritaskan keterangan saksi utama ditambah satu alat bukti lainya,” katanya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Livia Iskandar juga berharap pembahasan di DPR akan menyetujui sembilan jenis kekerasan seksual disetujui DPR terutama pelecehan seksual non fisik supaya korban bisa mendapatkan keadilan.
“Belajar dari kasus Baiq Nuril dimana ia sebagai pelapor kemudian tidak diteruskan kasusnya. Selain itu kekerasan seksual daring juga meningkat yang dampaknya sangat buruk bagi korban, sehingga diperlukan perlindungan di dunia maya,” kata Livia.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berharap DPR tidak perlu menunggu pengesahan RUU Hukum Pidana karena selama ini kebiasaan di Indonesia pidana dalam UU di luar KUHP diundangkan saja. “Korban kekerasan seksual terjadi setiap hari, kejahatannya juga berkembang terus, dan KUHP jelas tidak mencukupi lagi,” kata Asfinawati.
Mengenai persidangan, dia menilai banyak pihak yang berharap DPR menggelar terbuka untuk umum agar bisa mengkomodir masukan dari publik. Hanya saja, dia mengingatkan masukan yang diakomodir bukan didasarkan atas banyaknya tapi kualitas.
Dukungan terhadap DPR untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual selama dua pekan terakhir terus disuarakan berbagai organisasi masyarakat, termasuk organisasi keumatan. Bahkan, Minggu pagi, sejumlah organisasi perempuan dan hak asasi manusia, baik di Jakarta maupun daerah berkampanye di kawasan hari bebas kendaraan (car free day), mengajak masyarakat mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pemerintah terus samakan persepsi
Menghadapi rapat Panja Komisi VIII DPR mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, hingga Minggu petang, tim Panja Pemerintah untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terus menyiapkan diri bersama perwakilan kementerian/lembaga terkait.
“Bersama pimpinan eselon 1 kementerian/lembaga penerima Surat Presiden untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk persamaan persepsi persiapan Rapat Panja di Komisi VIII DPR,” ujar Ketua Panja Pemerintah untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Vennetia R Danes, yang juga Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Minggu petang, di Jakarta.