Senin, 30 Agustus 1999, pagi, ratusan ribu warga Timtim mendatangi 200 lokasi pemungutan suara untuk menentukan masa depan mereka. Sebagian warga berjalan kaki, turun gunung, dan rela menginap di emperan TPS demi menyalurkan suaranya.
Oleh
Johnny TG
·5 menit baca
Setelah melalui delapan kali putaran, pada periode 1992-1996, dialog segitiga RI-Portugal di bawah naungan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Boutros Boutros-Ghali sempat terhenti. Tiba-tiba Portugal menyatakan mundur dan tidak bersedia melaksanakan dialog pada putaran terakhir, 21 Desember 1996, di Markas PBB New York, tepat 10 hari sebelum Sekjen Boutros-Ghali mengakhiri masa jabatannya. Portugal menilai, dialog itu tidak akan membawa hasil.
Sejak itu, upaya penyelesaian Timtim untuk sesaat terhenti hingga Sekjen Kofi Annan menunjuk Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Timtim Dubes Jamsheed Marker. Beberapa pihak menilai, langkah ini menunjukkan keseriusan Sekjen Kofi Annan dalam menyelesaikan persoalan Timtim. Annan memimpin dialog segitiga antara Indonesia dan Portugal. Sementara Indonesia berpendapat, Timtim telah berintegrasi ke Indonesia melalui Deklarasi Balibo pada Sabtu, 29 November 1975.
Kala itu empat partai di Timor Portugis, yaitu UDT, Apodeti, KOTA, dan Trabalista, menyatakan wilayah Timor Portugis sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Hal ini disampaikan sebagai reaksi atas penyataan sepihak deklarasi kemerdekaan Timor Portugis oleh Partai Fretilin sehari sebelumnya pada Jumat, 28 November 1975. Kawat pernyataan keempat partai tadi diterima Deplu RI dan langsung diumumkan oleh Kepala Direktorat Penerangan Luar Negeri Abdulrachman Gunadirdja. Indonesia mengesahkan keinginan itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 tanggal 17 Juli 1976. MPR mengukuhkannya dengan Tap MPR No VI/MPR/1978 tanggal 22 Maret 1978. Dengan begitu, Indonesia menganggap masalah Timtim selesai karena telah menjadi provinsi ke-27 RI.
Gaung reformasi 1998 di Jakarta sampai juga di Timtim. Difasilitasi Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Timtim (Unamet), penentuan pendapat (referendum) dilakukan pada 30 Agustus 1999. Senin (30/8/1999) pagi, ratusan ribu orang menuju 200 lokasi tempat pemungutan suara (TPS) yang dibuka sejak pukul 08.00 waktu setempat. Ratusan warga Kota Dili rela antre di SDN Bairo Sentral, Formosa, Dili, untuk memberikan suaranya.
Di Kabupaten Liquica, sebagian warganya meninggalkan rumah mereka agar bisa tepat waktu menyalurkan pendapatnya di TPS. Puluhan keluarga sudah beberapa hari ”mengungsi” di emperan SDN 1 Liquica. ”Saya sudah tiga malam di sini karena saya harus memilih. Di desa tidak ada TPS sehingga saya mesti ke sini. Kami bersama-sama jalan kaki, turun gunung, demi masa depan,” kata Rita dos Santos (27), ibu dua putra yang juga tidur di emperan SDN 1 Liquica.
Lokasi ini dan SMPN 1 menjadi salah satu lokasi TPS. Selain itu, ada juga warga yang turun gunung dan ”menetap” di Pasar Maubara dan Benteng Maubara. Seorang warga mengatakan, saat pelaksanaan Pemilihan Umum 7 Juni 1999, TPS tersebar hingga pelosok. ”Semestinya Unamet melakukan hal yang sama sehingga tidak membuat susah kami atau setidaknya menyediakan oto agar kami bisa pulang,” ujar Silaen da Costa (34), warga Desa Bihindo, Kecamatan Loes. Ia bersama puluhan warga lain terpaksa menginap di los Pasar Maubara.
Sempat terjadi penyerangan oleh sekelompok pemuda terhadap Joao Lopes (50), guru SD yang bekerja sebagai anggota staf lokal Unamet di SDN 24 Baboe Leten, Kecamatan Atsabe. Mereka memprotes pelaksanaan penentuan pendapat ini yang dianggap tidak jujur dan memprotes Unamet yang hanya mempekerjakan orang-orang CNRT (pro-kemerdekaan).
TPS di Casa menjadi yang terakhir ditutup, sekitar pukul 18.30, dan menandai berakhirnya proses pemungutan suara di Timtim, kata Ketua Komisi Pemilihan Jeff Fischer, Senin (30/8/1999). Butuh waktu sekitar satu minggu untuk penghitungan suara hingga penyampaiannya kepada Sekjen PBB.
Di Jakarta, sekitar 1.600 warga Timor Timur, termasuk Pemimpin Dewan Perlawanan Nasional Rakyat Timor Timur (CNRT/Conselho Nacional da Resistancia Timorense) Xanana Gusmao memberikan suaranya di Kantor External Voting Program for East Timor (EVET) yang terletak di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih. Sebuah pernyataan tertulis dikeluarkan CNRT yang intinya meminta agar tidak melakukan tindakan provokasi dan pulang ke rumah masing-masing setelah mencoblos.
Di Dili, Wakil Panglima Pejuang Integrasi Eurico Guterres meminta agar apa pun hasilnya akan diterima masyarakat Timtim. Sebab, hal ini bukan hasil pilihan kelompok pro-integrasi ataupun pro-kemerdekaan, melainkan hasil pilihan rakyat Timtim. Guterres bersama keluarganya ikut antre dengan pemilih lain di SDN Formosa, Bairo Central, Dili Timur, sekitar pukul 09.00 waktu setempat. Di Kantor EVET Jakarta, ada juga beberapa tokoh Timtim, seperti Manuel Carrascalao, Sekjen Komnas HAM Clementino dos Reis Amaral, dan mantan Presiden Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) Fransisco Do Amaral. Juga tampak istri Menteri Penerangan, Ny Antonia Richardo Yosfiah, dan pemain sinetron Pedro Carrascalao, anak mantan Gubernur Timtim Mario Viegas Carrascalao.
Pihak PBB melarang wartawan masuk ruangan, mewawancarai dan mengambil gambar para calon pemilih yang sedang antre. Di Yogyakarta terjadi unjuk rasa oleh wartawan dengan menggelar poster yang berisi kecaman atas ketatnya aturan peliputan.
Hari Sabtu (4/9/1999) sekitar pukul 08.00 WIB, Sekjen PBB Kofi Annan di New York mengumumkan, dari sekitar 450.000 pemilih, 78,5 persen warga Timor Timur memilih untuk menolak otonomi dan sekitar 19,7 persen memilih otonomi, sedangkan 1,8 persen dinyatakan tidak sah. Di hari yang sama, Ketua Unamet Ian Martin di Dili juga mengumumkan hasil tersebut yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, Portugal, dan Tetun. Sekitar 200 wartawan yang mayoritas wartawan asing hadir dalam acara itu.
Pertengahan April 2002, dilakukan pemilihan presiden pertama Timor Leste. Hasil penghitungan suara pada Rabu (17/4/2002), Xanana Gusmao secara nasional meraih 82,7 persen suara, sementara pesaingnya, Francisco Xavier do Amaral, hanya mendapat 17,3 persen dari jumlah total 378.578 suara.
Senin (20/5/2002) pukul 00.00 waktu setempat, lahirlah negara baru Republik Demokratik Timor Leste. Ratusan ribu rakyat Timtim dalam rasa haru meluapkan kegembiraan mereka di Lapangan Taci Tolu, Dili. Perayaan ini dihadiri oleh beberapa tokoh dunia, seperti mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, Presiden Megawati Soekarnoputri, Perdana Menteri Australia John Howard, PM Selandia Baru John Clark, Presiden Sao Tome dan Principe (Afrika) Bandeira Menezes, PM Samoa Malielegaoi, Presiden Nauru Rene Harris, Presiden Portugal Jorge Sampaio, serta beberapa menteri luar negeri dan duta besar.
Setelah resmi menjadi negara berdaulat, Xanana Gusmao resmi disumpah menjadi presiden pertama Timor Leste. Xanana kemudian menyampaikan pidato pertamanya dalam bahasa Inggris, Portugal, Indonesia, dan Tetun.