Menarik melihat latihan antarkecabangan TNI Angkatan Darat, Kartika Yudha 2019, dari dekat. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang menyajikan pertunjukan fire power alias ”tembak grak!”, tahun ini terlihat ada langkah-langkah manuver yang lebih rinci. Akibatnya memang, puncak latihan yang disaksikan langsung Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Staf TNI AD Jenderal Andika Perkasa, Senin (19/8/2019), memakan durasi lebih lama. Biasanya, latihan puncak hanya memakan waktu sekitar dua jam, kali ini lebih dari lima jam.
Alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang digunakan bervariasi, dari meriam gunung 76 mm produksi tahun 1948 hingga helikopter Apache yang baru datang Desember 2017. Menarik bagaimana TNI AD memelihara meriam yang negara pembuatnya, Yugoslavia, sudah bubar dan pabrik pembuatnya telah tutup. Meriam itu terakhir digunakan di Timor Timur tahun 1978. Selain Indonesia, masih ada India, Serbia, dan Myanmar yang masih menggunakan.
Tentang heli canggih Apache, sayang dalam latihan ini kemampuan misil udara ke tanah hellfire dari helikopter AH-64E Apache Guardian belum digunakan. Apache termasuk persenjataan TNI AD yang modern dengan kecepatan maksimum 300 km/jam, radar Longbow di baling-baling, dan sistem Multi Target Acquisition and Designation System.
Helm pilot dapat mengatur arah senjata M230 tanpa mengubah arah helikopter. Ekspektasi tentang kecanggihan persenjataan TNI AD memang harus dihadapkan pada kenyataan baru terpenuhinya kebutuhan pokok minimum sebesar 60 persen.
Latihan antarkecabangan ini melibatkan Brigade Para-raider 17/Divisi 1 Kostrad. Para Raider menguasai teknik Raid, yaitu penyergapan musuh, penyelamatan sandera, dan penanggulangan teror, ditambah kemampuan mobil udara dan pertempuran jarak dekat.
Sebelum latihan puncak, para prajurit melakukan tactical floor game exercise yang dipimpin langsung Komandan Kodiklatad Letjen AM Putranto. Selain itu, setiap cabang seperti artileri medan dan Penerbad melakukan latihan. Total prajurit yang ikut latihan berjumlah 5.000 orang.
Dalam latihan ini, beberapa alutsista terbaru dimainkan, seperti delapan unit tank Leopard 2 RI, tank Marder, dan ARV dari kecabangan Kavaleri, roket Astros dan meriam 155 mm Caesar dari artileri medan, serta heli serang BO 105 dan heli serang AS550 Fennec, ATGM Javelin dan NLAW dari infanteri.
Lokasi latihan di daerah pusat latihan tempur Martapura, Sumatera Selatan. Untuk pertama kali, drone milik Direktorat Topografi TNI AD, Drone Hybrid Vertical Take Off and Landing, digunakan dalam latihan antarkecabangan. Dengan durasi 50 menit, drone ini digunakan untuk membuat peta penyiapan daerah latihan atau operasi pertempuran dan rencana kedudukan manuver.
Selain itu, drone itu juga digunakan untuk mengetahui kerusakan pascapertempuran. Latihan kecabangan ini, menurut Putranto, untuk menguji dan meningkatkan kemampuan SDM TNI AD.
Lebih komprehensif
Panglima TNI Hadi Tjahjanto menginginkan komando pengendalian yang lebih komprehensif. Di sisi lain, perkembangan teknologi yang dihadirkan lewat alutsista menunjukkan semakin jauhnya rentang sasaran yang tentu berpengaruh pada taktik bertempur. Hadi mengatakan, ke depan latihan harus diadakan di pulau agar bisa mengakomodasi meriam-meriam dengan jarak tembakan sampai 300 km.
Beberapa hal yang menggelitik selama latihan di antaranya kereta batubara yang kerap lewat di tengah pertempuran yang sedang terjadi. Yang lain adalah keluhan prajurit tentang jatah makan yang kian sedikit. Hal ini dibenarkan salah satu panitia latihan yang mengatakan anggaran makanan untuk latihan memang dikurangi oleh negara. ”Bayangkan, lebih kecil dari anggaran konsumsi harian pelatihan ASN, padahal infanteri, kan, banyak lari-lari,” katanya. (Edna C Pattisina)