Ibu Kota Baru dalam Bayang-Bayang Kerusakan Lingkungan
Meski potensial dijadikan sebagai wilayah ibu kota, namun, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 160/MENHUT-II/2004, kawasan seluas 61.850 hektare di Tahura Bukit Soeharto ditetapkan sebagai hutan penelitian, pendidikan, perlindungan, wisata alam, dan konservasi.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
"Jadi jangan terlalu banyak komentar ilmiahnya kalau pemindahan ibu kota ini akan merusak lingkungan. Semua yang ada di alam ini akan terjadi perubahan yang abadi,"
Ucapan yang terlontar dari Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor tersebut seakan mengamini bahwa pemindahan ibu kota tidak akan terlepas dari potensi perubahan alam di tanah Borneo. Komitmen untuk membangun ibu kota baru tanpa merusak lingkungan pun menjadi tantangan berat yang harus ditempuh pemerintah.
Dalam dialog nasional ”Kalimantan untuk Indonesia”, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (21/08/2019) lalu, Isran menyampaikan bahwa Tahura Bukit Soeharto, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim, menjadi salah satu kawasan yang dipersiapkan untuk menjadi lokasi ibu kota baru. Namun, ironisnya, ia tidak ingin jika kajian terkait kerusakan lingkungan jadi proses penghambat pemindahan ibu kota.
"Jika kita tidak bisa merusaknya, alam yang akan merusaknya, mungkin karena gempa bumi, mungkin juga karena longsor dan kemarau. Jadi kalau kita terlalu berpikir ilmiah, wah tidak bisa nih. Nanti kalau ada ular mati, ya, nasibnya lah ia mati," ucap Islan sambil diikuti gelak tawa para peserta dialog nasional.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri, Senin (26/08/2019), mengumumkan lokasi ibu kota baru di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Presiden menilai, wilayah tersebut memenuhi syarat untuk dibangun ibu kota baru.
"Kenapa di Kaltim? Satu, risiko bencana minimal, baik bencana banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi dan tanah longsor. Yang kedua, lokasinya yang sangat strategis, berada di tengah-tengah Indonesia. Yang ketiga, berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang yaitu Balikpapan dan Samarinda. Keempat, memiliki infrastruktur yang relatif lengkap. Kelima, tersedia lahan yang dikuasai pemerintah seluas 180.000 hektare," ucap Jokowi di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Tahura Bukit Soeharto yang berada di Kabupaten Kutai Kertanegara ini menjadi salah satu wilayah yang dianggap cocok untuk menjadi ibu kota baru. Sebelumnya, pada Mei lalu, Jokowi juga telah meninjau Tahura Bukit Soeharto.
Meski potensial dijadikan sebagai wilayah ibu kota, namun, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 160/MENHUT-II/2004, kawasan seluas 61.850 hektare di Tahura Bukit Soeharto ditetapkan sebagai hutan penelitian, pendidikan, perlindungan, wisata alam, dan konservasi.
Kepala Laboratorium Politik Sosial dan Ekonomi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda, Bernaulus Saragih, mengatakan, pembangunan besar-besaran akan memiliki dampak lingkungan yang juga besar di kawasan Bukit Soeharto dan sekitarnya.
”Kontribusi Bukit Soeharto sebagai wilayah penelitian bagi pendidikan. Selain itu, kawasan perlindungan keanekaragaman hayati. Jika kawasan itu tidak ada, potensi banjir dan erosi di daerah sekitarnya besar. Untuk itu, kajian dampak lingkungannya perlu didalami,” tuturnya.
Selain itu, kondisi 71 persen kawasan konservasi Tahura Bukit Soeharto dalam kondisi kritis. Penambangan batubara ilegal dan pembukaan lahan terjadi di kawasan tersebut. Bernaulus pun menilai, pemindahan ibu kota bisa berpotensi memperparah kerusakan lingkungan yang ada di Bukit Soeharto (Kompas, 6 Agustus 2019).
Komitmen menjaga lingkungan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, pemerintah berkomitmen penuh memperhatikan kelestarian lingkungan dalam proses pemindahan ibu kota. Ia menjelaskan, pemerintah memiliki lahan yang cukup luas tanpa harus mengikis kawasan hutan lindung yang ada di sana.
"Tentu lahannya mencukupi karena ada lahan bekas HGU dan kami akan menggunakan tanah yang dikuasai pemerintah. Kami butuh sekitar 40.000 hektare untuk tahap awal. Lalu nanti ibu kota ini bisa berkembang menjadi 100.000-180.000 hektare," katanya.
Bappenas juga merencanakan pembangunan ibu kota baru harus mengacu pada konsep kota hijau. Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy S Prawiradinata menjelaskan, nantinya 70 persen dari wilayah baru ibu kota negara akan dibangun sebagai ruang terbuka hijau.
”Ada beberapa saran jika kawasan ibu kota baru ini bisa ditetapkan sebagai Taman Nasional. Kami pun merencanakan akan membangun 70 persen kawasan ibu kota baru sebagai RTH,” ucapnya.
Saat ini, pemerintah telah memantapkan langkah agar pemindahan ibu kota ke Kaltim bisa menjadi sarana untuk pemerataan kesejahteraan. Alangkah baiknya, jika pemerintah juga tetap menjaga komitmen kelestarian lingkungan dalam proses pemindahan ibu kota selanjutnya.