Kekurangan Rumah Belum Teratasi
Persoalan kekurangan hunian yang layak tak kunjung teratasi. Kondisi ini diperparah dengan laju pertumbuhan kebutuhan dan pasokan rumah yang timpang.
JAKARTA, KOMPAS
Masyarakat perlu hunian yang layak. Sistem penyediaan rumah dinilai belum mampu menjawab persoalan penyediaan rumah layak bagi masyarakat.
Mengacu pada rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang dikutip Minggu (25/8/2019), masih ada 61,7 persen dari sekitar 65 juta rumah tangga di Indonesia yang menempati hunian tidak layak. Padahal, perumahan dan permukiman adalah kebutuhan dasar manusia yang dijamin dalam pasal 28 (h) UUD 1945.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), kekurangan rumah mencapai 11,4 juta unit. Sementara, laju kebutuhan rumah 800.000 unit per tahun.
Sejak 2015, pemerintah memiliki program sejuta rumah untuk menekan kekurangan rumah. Rencana teknokratis RPJMN 2020-2024 juga menyebutkan, pasokan rumah yang terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah cenderung tersebar dan menjauh dari pusat kota.
Hamzirwan (43), penghuni rumah subsidi di Balikpapan, Kalimantan Timur, mengeluhkan lokasi rumahnya yang jauh dari pusat kota. Belum ada kendaraan umum yang menjangkau lokasi rumahnya. Padahal, ia hanya memiliki satu sepeda motor.
“Kalau antar anak sekolah bisa sekalian berangkat kerja. Ketika pulang sekolah, saya harus izin dulu ke kantor untuk jemput anak,” kata karyawan pasar swalayan ini.
Sementara, Luthfiana (30), pemilik rumah subsidi di Karawang, Jawa Barat, mesti mengeluarkan uang ekstra untuk memperbaiki rumah yang baru dibangun pada 2017. Ia mengeluhkan tembok yang retak-retak dan kualitas kusen pintu yang jelek.
“Saya kaget karena harus mengeluarkan banyak uang untuk renovasi. Semua ini di luar perkiraan saya,” ujarnya.
Di Sumatera Utara, pemerintah membangun 70.000 unit rumah bersubsidi pada 2015-2019. Namun, pembangunan rumah subsidi ini belum mengejar kekurangan rumah di Sumut yang sebanyak 411.000 unit.
Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Ida Mariana menyebutkan, sekitar 20.000 unit rumah subsidi dan komersial dibangun di Sumut per tahun. ”Dibutuhkan waktu lebih dari 20 tahun untuk menutupi kekurangan rumah di Sumut. Itu pun belum menghitung pertambahan kebutuhan rumah setiap tahunnya,” ujar Ida.
Di Balikpapan, Kalimantan Timur, dari target 23.452 unit rumah subsidi, baru 10.000 rumah yang terbangun. Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Balikpapan, Ketut Astana mengatakan, penyediaan rumah subsidi terkendala harga tanah dan material bangunan yang meningkat.
Panangian Simanungkalit dari Panangian School of Property menyebutkan, program sejuta rumah yang digulirkan pemerintah belum menyentuh akar persoalan kekurangan rumah dan mengejar laju pertumbuhan kebutuhan.
Pasokan hunian baru berkisar 200.000-300.000 unit per tahun. Sementara, anggaran pemerintah untuk subsidi rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dan subsidi selisih bunga hanya mampu menjangkau sekitar 200.000 unit rumah per tahun.
Pemerintah juga belum berhasil menyediakan lahan di kawasan strategis bagi masyarakat berpenghasilan rendah. “Suplai rumah belum bisa mengejar laju kebutuhan rumah,” ujarnya.
Menurut Panangian, karut-marut program perumahan rakyat yang diperparah dengan ketidakmampuan menyediakan bank tanah di lokasi strategis untuk hunian terjangkau mesti dibereskan.
Kolaborasi
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid menyebutkan, penyediaan rumah bagi rakyat berkaitan dengan banyak hal. Permasalahannya kompleks, sehingga pencarian solusinya mesti melibatkan banyak pihak.
“Tidak bisa dipikirkan tergesa-gesa dan sepihak. Harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah, pengembang, akademisi, pemerhati perumahan, dan masyarakat. Dalam lima tahun ini Program Sejuta Rumah cukup berhasil menggerakkan pemangku kepentingan,” kata Khalawi.
Sampai dengan 19 Agustus, pemerintah mengklaim 808.401 rumah rumah sudah dibangun dalam Program Sejuta Rumah tahun ini.
Dari beberapa masalah yang muncul dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, menurut Khalawi, lahan merupakan masalah utama. Sebab, sebagian besar lahan di perkotaan telah dikuasai swasta. Pemerintah tidak mengantisipasi laju penguasaan lahan oleh swasta.
Persoalan lain, lanjut Khalawi, adalah regulasi dan perizinan. Pemerintah pusat telah menerbitkan regulasi untuk mempermudah penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Namun kecepatan penerapannya di daerah berbeda-beda.
Menurut Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida, penyediaan rumah subsidi tergantung regulasi, bukan pada perekonomian nasional. Regulasi yang semakin banyak dan berubah-ubah akan menyulitkan pengembang dalam membangun rumah subsidi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali menekankan, yang mesti dicermati dalam program penyediaan rumah subsidi adalah ketersediaan anggaran. Jika anggaran subsidi habis, maka masyarakat berpenghasilan rendah tidak bisa membeli rumah subsidi.
“Kenaikan harga lahan juga berkejaran dengan kenaikan harga jual maksimal rumah subsidi yang ditetapkan pemerintah,” katanya. (LKT/NAD/NSA/MEL/CIP)