Lagi, Penyelundupan Calon Pekerja Ilegal Asal NTT Terbongkar
Polda Kepulauan Riau kembali membongkar penyelundupan calon pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur. Hal ini merupakan yang ketiga kalinya dalam tiga bulan terakhir. Agar tidak terus terulang, isu penyelundupan manusia membutuhkan penyelesaian yang simultan dan komprehensif.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Kepolisian Daerah Kepulauan Riau kembali membongkar penyelundupan calon pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur. Pengungkapan ini merupakan yang ketiga kalinya dalam tiga bulan terakhir. Agar tidak terus terulang, kasus penyelundupan manusia membutuhkan penyelesaian yang simultan dan komprehensif.
Kepala Bidang Humas Polda Kepri Komisaris Besar Sapto Erlangga di Batam di Batam, Senin (26/8/2019), mengatakan, calon pekerja migran ilegal yang diselamatkan kali ini berjumlah 29 orang yang terdiri dari 21 orang laki-laki dan 8 orang perempuan. Semua berasal dari NTT.
Rencananya mereka akan diberangkatkan secara ilegal untuk bekerja di Malaysia. “Mereka semua diberangkatkan dari Kupang, NTT, menggunakan Kapal Pelni menuju ke Pelabuhan Kijang, Bintan, Kepri. Mereka membayar Rp 2,8 juta untuk diselundupkan ke Malaysia,” kata Erlangga.
Mereka membayar Rp 2,8 juta untuk diselundupkan ke Malaysia. (Sapto Erlangga).
Polisi menetapkan dua orang yang berperan sebagai pengantar dan penampung sebagai tersangka. Dua tersangka itu adalah Kolo (39) dan Vanus (35). Keduanya ditangkap saat menjemput korban di Pelabuhan Kijang, Sabtu (24/8/2019). Rencananya 29 calon pekerja migran ilegal itu sementara akan ditampung di rumah tersangka di Tanjung Pinang sebelum diberangkatkan ke Malaysia.
Untuk setiap orang yang berhasil diselundupkan, kedua tersangka mendapat upah masing-masing Rp 300.000 dari tekong di Malaysia. “Kemungkinan tekong di Malaysia itu punya sejumlah kaki tangan di Batam dan Tanjung Pinang,” ujar Erlangga.
Sindikat penyelundup pekerja migran ilegal biasanya bekerja dengan sistematis. Jaringan itu menggurita dari kampung tempat para korban bermukim hingga tempat tujuan di Malaysia. Di lokasi tertentu dalam jalur yang dilalui, mereka menempatkan orang untuk mengatur penyelundupan tersebut.
Jaringan itu menggurita dari kampung tempat para korban bermukim hingga tempat tujuan di Malaysia.
Kepala Sub Direktorat Reserse dan Kriminal Umum Polda Kepri Komisaris Dhani Catra Nugraha menyatakan, hanya dua orang dari total 29 calon pekerja migran ilegal itu yang memiliki paspor. Dua orang itu sebelumnya pernah bekerja di Malaysia, sedangkan yang lain baru pertama kali berangkat.
“Ini bukan sekadar soal penangkapan, lebih dari itu, tugas kami adalah menyelamatkan warga Indonesia agar tidak dieksploitasi di negara lain,” kata Dhani.
Berdasarkan catatan Kompas, sepanjang 2019, Polda Kepri setidaknya sudah mengungkap enam kasus serupa. Sebanyak 16 pelaku ditangkap dan lebih dari 150 calon pekerja migran ilegal dipulangkan ke daerah asal.
Sepanjang 2019, Polda Kepri setidaknya sudah mengungkap enam kasus serupa.
Salah satu korban, Yuliana (40), mengatakan, dirinya sebelumnya sudah pernah bekerja selama empat tahun di perkebunan sawit di Perak, Malaysia. Ia diupah sebesar 42 Ringgit Malaysia atau sekitar Rp 140.000 per hari untuk bekerja selama delapan jam di kebun.
Sama seperti 28 orang lainnya, ibu dua anak itu juga berasal dari Kupang. “Saya harus segera kembali (bekerja) ke Malaysia. Di kampung tidak ada pekerjaan, padahal anak-anak butuh makan dan sekolah,” ujarnya.
Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau Kevikepan Kepulauan Riau Paschalis Saturnus Esong mengatakan, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap persoalan pekerja migran ilegal agar hal ini tidak terus berulang. Persyaratan menjadi pekerja migran legal juga harus dipermudah agar orang tidak lebih memilih menggunakan jalur ilegal.
Seperti dalam cerita Yuliana, kemiskinan adalah salah satu faktor utama yang memaksa seseorang meninggalkan rumahnya untuk bekerja di negeri lain. Penindakan saja tidak akan bisa meredam gelombang pekerja migran yang terus berbondong menyeberang secara ilegal ke Malaysia.
“Pemerintah harus mencari dan menyelesaikan pokok masalah di balik persoalan ini. Pekerja migran ilegal jangan disalahkan terus karena sebetulnya mereka hanya ingin bekerja,” kata Paschalis.
Para pekerja migran ilegal biasanya diberangkatkan dari Tanjung Pinang atau Batam menggunakan perahu kayu. Untuk menghindari petugas, mereka diturunkan ketika perahu masih berjarak sekitar 100 meter dari pantai. Banyak yang tewas tersapu ombak saat berenang menuju daratan.
Penyendupan pekerja migran ilegal melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Pelakunya terancam dijatuhi hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar.