Risiko BUMN Diantisipasi Pemberian Insentif dan Pemantauan Intensif
BUMN menjadi sumber risiko fiskal terbesar bagi APBN. Wujud risiko BUMN yang harus ditanggung APBN tercermin dalam kewajiban kontinjensi (contingent liability) dan alokasi PMN.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain penerimaan perpajakan, kondisi Badan Usaha Milik Negara menjadi risiko utama bagi APBN tahun 2020. Pemerintah mengantisipasi risiko tersebut dengan pemberian insentif fiskal dan penambahan modal secara selektif.
Mengutip peta risiko fiskal tahun 2020 yang dihitung Kementerian Keuangan, BUMN menjadi sumber risiko fiskal terbesar bagi APBN. Risiko BUMN dalam pembangunan infrastruktur mencapai level 4 dari skala 1-5 pada sumbu dampak (impact). Level risiko BUMN juga sama dengan risiko penerimaan pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers kinerja APBN edisi Juli 2019 di Jakarta, Senin (26/7/2019), mengatakan, BUMN mesti mengurangi ketergantungan pada penyertaan modal negara (PMN) dengan mendaur ulang aset (recycling asset). Ketergantungan PMN terus dikurangi dengan pemberian insentif fiskal.
Insentif berupa penurunan Pajak Penghasilan (PPh) obligasi yang diterima oleh kontrak investasi kolektif dari 15 persen menjadi 5 persen tahun 2019 dan 10 persen tahun 2020. Penurunan PPh berlaku untuk instrumen dana investasi infrastruktur (Dinfra), dana investasi real estate (Dire), dan efek beragun aset (Eba).
Penurunan tarif PPh atas penghasilan berupa bunga obligasi itu berlaku mulai 12 Agustus 2019 sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2019.
“Insentif fiskal untuk menghasilkan modal baru sehingga BUMN tidak harus terlalu bergantung pada PMN,” kata Sri Mulyani.
Menurun
Dalam RAPBN 2020, alokasi PMN turun tipis menjadi Rp 17,7 triliun dibandingkan tahun 2019 sebesar Rp 17,8 triliun. PMN paling besar diberikan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Rp 5 triliun, PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (Persero) Rp 3,8 triliun, dan PT Hutama Karya Rp 3,5 triliun.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengatakan, ada beberapa BUMN yang dipantau intensif oleh pemerintah, yaitu PT Hutama Karya yang menjalankan penugasan proyek tol trans-Sumatera, dan PT PLN untuk kelistrikan desa.
“Sebetulnya, kami terus memantau kondisi BUMN, tetapi tidak ingin memanjakan mereka, Tambahan modal diberikan secara selektif,” kata Isa.
Selain memberi tambahan modal dalam bentuk PMN, pemerintah mendorong BUMN untuk mengembangkan sumber daya yang mereka miliki. Misalnya, BUMN karya yang proyek-proyeknya sudah berjalan untuk melakukan leverage atau memperbesar potensi imbal hasil aset.
Risiko APBN
Dihubungi terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, berpendapat, BUMN menjadi sumber risiko fiskal terbesar bagi APBN. Wujud risiko BUMN yang harus ditanggung APBN tercermin dalam kewajiban kontinjensi (contingent liability) dan alokasi PMN.
“Defisit fiskal sebetulnya tidak hanya diakibatkan oleh melesetnya penerimaan pajak ataupun membengkaknya belanja pemerintah pusat, tetapi juga dipengaruhi beban pemerintah kepada BUMN,” kata Abra.
Menurut Abra, alokasi PMN untuk BUMN sepanjang 2015-2018 mencapai Rp 130,3 triliun. Namun, besarnya alokasi PMN tidak berdampak positif bagi kinerja BUMN. Banyak BUMN justru menghadapi tekanan keuangan yang akhirnya kembali membebani APBN.
Laba BUMN justru terus turun dalam 3 tahun terakhir. Kondisi ini menyiratkan pesan untuk pemerintah bahwa ada persoalan riil yang dihadapi BUMN. Salah satu penyebabnya adalah penugasan pemerintah yang dinilai cukup berat, terutama proyek infrastruktur.
“Pemerintah tidak boleh memaksakan BUMN mengerjakan proyek penugasan. Berikan BUMN kesempatan untuk meninjau ulang studi kelayakan dari tiap proyek yang diinisiasi pemerintah, apakah proyek-proyek tersebut memang layak secara bisnis,” kata Abra.
Peran swasta
Risiko bisnis yang ditanggung BUMN akan berimbas terhadap kinerja APBN baik dari aspek pengeluaran, PMN, maupun penerimaan pajak. Oleh karena itu, pemerintah harus menggandeng lebih banyak peran swasta untuk pembangunan infrastruktur masa depan.
Terkait risiko APBN, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman menambahkan, BUMN yang memiliki tekanan langsung bagi APBN adalah BUMN yang diberikan penugasan pemerintah. Oleh karena itu, Proyek Strategis Nasional akan dijamin pemerintah dan diberikan Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU).
“PSN itu dijamin pemerintah yang nilai eksposurnya mencapai 1,18 persen PDB,” kata Luky.
Risiko BUMN gagal bayar utang juga sudah diantisipasi Kemenkeu. Kewajiban kontinjensi (contingent liability) yang akan ditanggung APBN mencapai Rp 4,2 triliun. Namun, sejauh ini dana itu belum digunakan yang artinya belum ada klaim BUMN gagal bayar utang untuk pendanaan infrastruktur.