Tanah Ibu Kota Baru Berisi Batuan Kompak Peredam Gempa
Meski masuk dalam kategori aman, pembangunan infrastruktur tetap harus memperhatikan aturan bangunan tahan gempa. Perlu disusun strategi mitigasi bencana dengan menyiapkan tata ruang khususnya bangunan-bangunan vital seperti waduk, bendungan dan terowongan.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Keputusan pemerintah menetapkan ibu kota baru di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sudah tepat. Kawasan tersebut memiliki tanah yang cenderung stabil berisi batuan kompak sehingga mampu meredam guncangan gempa.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati yang ditemui di Jakarta, Senin (26/8/2019), mengatakan, pemilihan lokasi ibu kota di Kalimantan Timur tepat lantaran relatif aman dari potensi bencana geologis dan vulkanologis. Meski begitu, pembangunan infrastruktur harus tetap mengacu pada mitigasi bencana.
Dwikorita menjelaskan, dari sisi kegempaan, lokasi ibu kota baru relatif aman. Kondisi tanah di wilayah tersebut cenderung stabil dalam merespons gelombang gempa bumi dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya.
“Hal itu dipengaruhi oleh kondisi batuan yang kompak dan keras sehingga mampu meredam gelombang gempa,” katanya.
Melalui keterangan resminya, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan lokasi ibu kota baru yang berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Salah satu alasan pemilihannya, menurut Presiden, adalah minimnya risiko bencana di wilayah tersebut.
Dwikorita menambahkan, hal itu terjadi lantaran Pulau Kalimantan sebenarnya adalah bagian dari Benua Asia. Batuan-batuan penyusunnya berusia jutaan tahun sehingga kokoh. Hal itu berbeda dengan struktur batuan di pulau-pulau besar indonesia lainnya yang terbentuk akibat tumbukan lempeng-lempeng tektonik.
Jejak gempa bumi
Faktor lain yang menjadikan lokasi ibu kota baru di Kaltim ideal adalah letaknya jauh dari patahan (megathrust) baik yang berada di selatan Jawa maupun utara Kalimantan hingga Sulawesi. Hal itu menyebabkan pengaruh energi gempa yang dirasakan akan semakin lemah.
Setidaknya ada tiga patahan yang berada di sekitar lokasi ibu kota baru. Pertama adalah sesar paternoster yang sudah berusia lebih dari 30 juta tahun. Dua lainnya adalah patahan yang berusia lebih muda sekitar ribuan tahun yakni Sesar Mangkalihat dan Sesar Maratua dengan jarak yang cukup jauh.
“Berdasarkan analisis kami, jika terjadi pelepasan energi sebagai gempa bumi, kekuatannya kurang dari Magnitudo 6. Selama ini belum pernah ada gempa bumi dahsyat dan menimbulkan korban jiwa,” ujarnya.
Tercatat, gempa bumi pernah terjadi sekitar Kabupaten Katingan pada 2018 dengan kekuatan Magnitudo 4,2. Selain itu, ancaman bencana vulkanologis juga tidak terdapat di wilayah tersebut. Terkait dengan kebakaran hutan dan lahan, menurut Dwikorita ancaman tersebut bisa dicegah.
Mitigasi bencana
Meski masuk dalam kategori aman, pembangunan infrastruktur tetap harus memperhatikan aturan bangunan tahan gempa. Perlu disusun strategi mitigasi bencana dengan menyiapkan tata ruang khususnya bangunan-bangunan vital seperti waduk, bendungan dan terowongan. Kesiapsiagaan masyarakat juga mesti disiapkan.
“Ancaman tsunami tetap ada akibat imbas dari Pulau Sulawesi. Artinya, wilayahnya tidak akan langsung berhadapan dengan potensi tsunami. Maka, penghijauan di wilayah pantai tetap diperlukan,” katanya.
Deputi Geofisika BMKG Mohammad Sadly mengatakan, meski relatif lebih aman secara seismik, BMKG bersama kementerian dan lembaga terkait sedang menyiapkan sistem monitoring dan langkah mitigasi gempa bumi dan tsunami yang lebih mumpuni.
"BMKG bersama kementerian/lembaga lain berupaya meminimalisasi sekecil mungkin risiko kebencanaan di wilayah tersebut dengan menyiapkan skenario mitigasi bencana yang tepat, terpadu dan berkesinambungan," ujarnya.
Sensor gempa
Selama 2019, BMKG menargetkan untuk memasang 194 sensor gempa di seluruh Indonesia. Adapun, pada tahun 2020 ada sebanyak 154 sensor yang akan dipasang. Hal tersebut dilakukan untuk merapatkan jaringan monitoring gempa nasional termasuk di wilayah Kalimantan.
Selain itu, pada 2020, BMKG juga telah merencanakan pembangunan 300 sarana penyebarluasan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami atau Warning Receiver System (WRS).
Sadly memaparkan, untuk perencanaan dan pengembangan bangunan tahan gempa, kegiatan mikrozonasi seismik sangat penting dilakukan. Kegiatan mikrozonasi ini dapat mengidentifikasi zona rentan gempa bumi. Di zona rentan inilah maka dilakukan upaya penguatan struktur bangunan supaya tetap aman meskipun terjadi gempa.