Seiring berakhirnya program bansos rastra, per September 2019, Perum Bulog tak lagi menjadi pemasok beras. Pemerintah beralih ke program bantuan pangan nontunai (BPNT). Situasi ini menghadirkan tantangan bagi Bulog, khususnya di sisi penyerapan.
Oleh
FERRY SANTOSO
·3 menit baca
Perum Bulog, sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, melaksanakan pengadaan beras/gabah. Hasil pengadaan, antara lain, untuk cadangan beras pemerintah atau CBP.
CBP antara lain dipakai untuk bantuan bencana alam, operasi pasar, dan bantuan luar negeri. Selain itu, gabah/beras yang diserap dari petani juga dipakai untuk bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra). Selama ini, program bantuan pangan itu menjadi saluran beras yang efektif bagi Bulog.
Akan tetapi, seiring berakhirnya program bansos rastra per September 2019, Bulog tak lagi menjadi pemasok beras. Pemerintah beralih ke program bantuan pangan nontunai (BPNT). Beda dengan bansos rastra di mana keluarga penerima manfaat (KPM) diberi bantuan dalam bentuk natura (beras), pada BPNT pemerintah mentransfer dana ke KPM, yakni Rp 110.000 per KPM per bulan. Dana itu yang kemudian dipakai KPM untuk membeli bahan pangan di warung (e-warong) yang telah ditetapkan sebagai penyalur.
Sejak program BPNT dilaksanakan pada 2017, penyaluran bansos rastra dari Bulog terus berkurang.
Sejak program BPNT dilaksanakan pada 2017, penyaluran bansos rastra dari Bulog terus berkurang. Saat program masih diberlakukan penuh pada 2016, Bulog memasok beras untuk bansos rastra mencapai 2,78 juta ton dengan jumlah KPM sebanyak 15,6 juta KPM. Namun, ketika BPNT diuji coba pada 2017, beras yang dipasok Bulog untuk bansos rastra berkurang jadi 2,54 juta ton, lalu berkurang lagi jagi 1,2 juta ton tahun 2018, dan sepanjang Januari-Agustus 2019 tinggal 353.000 ton.
Per September 2019, beras bansos rastra yang dipasok Bulog menjadi nol. Artinya, Bulog tak punya saluran pengeluaran beras. Kondisi ini menjadi tantangan yang berat bagi Bulog. Sebab, pada saat yang sama, Bulog masih bertugas menyerap gabah/beras dari petani, terutama saat harganya jatuh.
Oleh karena itu, berakhirnya tugas Bulog sebagai pemasok beras untuk program bansos rastra berdampak serius terhadap sisi penyerapan beras/gabah di hulu.
Apakah Bulog tetap harus menyerap ketika salurannya tersumbat? Pada program BPNT, Bulog bukan satu-satunya pemasok bahan pangan di e-warong. Pemerintah memberi ruang bagi produsen atau pedagang lain untuk memasok beras ke e-warong.
Jika Bulog tak bisa sepenuhnya menyerap gabah/beras dari petani, petani berpotensi dirugikan, terutama saat harga gabah jatuh. Oleh karena itu, penyaluran beras Bulog kiranya perlu diperhatikan di hilir.
Jika Bulog tak bisa sepenuhnya menyerap gabah/beras petani, petani berpotensi dirugikan, terutama saat harga gabah jatuh.
Pada rapat koordinasi di Jakarta, Kamis (4/7/2019), Kementerian Sosial memang memutuskan untuk memberikan ”karpet merah” ke Bulog sebagai pengelola pasokan bahan pangan program BPNT. Harapannya, badan usaha milik negara itu memiliki kepastian saluran sehingga fungsi stabilisasi harga bisa berjalan lebih baik.
Perubahan tersebut menghadirkan tantangan baru bagi Bulog. Apakah fungsi stabilisasi harga, baik di tingkat produsen maupun konsumen, akan berjalan dengan baik? Mari kita lihat realisasinya. (FERRY SANTOSO)