Pemindahan ibu kota Indonesia menuai beragam tanggapan warga Jakarta. Dari mereka, ada yang menganggap pemindahan ibu kota adalah hal yang biasa, sementara ada pula yang merasa waswas karena bisa berpengaruh pada pendapatannya.
JAKARTA, KOMPAS — Pemindahan ibu kota Indonesia menuai beragam tanggapan warga Jakarta. Dari mereka, ada yang menganggap pemindahan ibu kota adalah hal yang biasa, sementara ada pula yang merasa waswas karena bisa berpengaruh pada pendapatannya.
Anindya Parameswari (27), pegawai swasta yang berkantor di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, mendukung penuh keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Bagi dia, kebijakan itu penting untuk mengurangi beban di Jakarta yang saat ini sudah terlalu padat.
”Saya setuju dengan pemindahan ibu kota. Jakarta sudah terlalu ramai. Banyak orang dari daerah kerja di Jakarta. Persaingan semakin ketat. Tempat tinggal semakin berkurang dan mahal,” tutur Anindya, Senin (26/8/2019).
Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan lokasi baru ibu kota Indonesia, yakni di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pemindahan ibu kota itu didasarkan pada kajian-kajian mendalam yang telah dilakukan pemerintah selama ini.
Meskipun mendukung kebijakan itu, Anindya yang bekerja di bidang hukum mengaku khawatir, dengan berpindahnya ibu kota ke Kalimantan Timur, pengurusan perizinan perusahaan menjadi lebih lama dan mahal. Sebab, selama ini, ia harus selalu pergi ke kantor pemerintah pusat ataupun provinsi untuk menyerahkan berkas asli surat perizinan.
”Ada beberapa instansi pemerintah yang sistemnya masih manual. Salinan berkas harus dikasih langsung. Belum semua terintegrasi secara online (dalam jaringan),” ujar Anindya.
Yuli Arminanda (34), warga Pinangsia, Jakarta Barat, menyampaikan argumentasi lain. Ia setuju jika ibu kota pindah ke Kalimantan agar perhatian pemerintah tak hanya terfokus di Jawa atau Jakarta. Perhatian pembangunan di Indonesia bagian tengah dan timur perlu diperhatikan agar merata.
”Kita bisa lihat, Pulau Jawa terlalu mendominasi. Semua serba Jawa-sentris. Itu tidak baik untuk daerah lain. Yang kita rasakan sekarang di Jakarta memang semua kebutuhan terpenuhi, tetapi ada dampak yang harus kita tanggung bersama, yaitu polusi dan macet serta kesenjangan yang juga besar,” kata Yuli.
Ia menambahkan, Jakarta sekarang bukan kota yang ramah untuk warganya, baik secara budaya, sosial, maupun ekonomi. Tuntutan hidup yang keras membuat warga Jakarta tertekan, yang akhirnya berujung pada hal negatif, seperti tingkat kriminalitas yang semakin tinggi.
Oleh karena itu, kata Yuli, jika ibu kota pindah ke Kalimantan, pemerintah perlu memperhatikan pendekatan sosial dan budaya. Dengan begitu, situasi sosial dan budaya ibu kota kelak tidak seperti Jakarta sekarang yang begitu megah di atas, tetapi begitu miskin di bawah.
Menganggap biasa
Sementara itu, juru parkir di Pasar Palmerah, Jakarta Pusat, Totok Sugiyanto (64), menanggapi santai atas rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Bagi dia, yang terpenting adalah dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab, kini ia hidup sebatang kara. Istrinya telah berpulang, sementara keempat anaknya telah berkeluarga.
”Biasa-biasa saja. Ikut kebijakan pemerintah bagaimana bagusnya saja. Kalau warga di sana (Kalimantan) merasa senang, kenapa tidak? Saya tertarik kalau orang-orang pada mau ikut pindah ke sana,” ucap Totok.
Totok pernah tebersit untuk ikut pindah ke Kalimantan asalkan tersedia lapangan kerja baru di sana. Menurut dia, lapangan kerja itu akan terbuka seiring dengan kebijakan pemerintah.
Salah satu warga pinggiran rel Kebayoran Lama, Anton (39), merasakan hal yang berbeda. Wacana pemindahan ibu kota membuat harga plastik pulungan menurun. Harga botol plastik turun dari Rp 4.000 menjadi Rp 3.500 per kilogram. Sementara harga gelas plastik turun dari Rp 8.000 menjadi Rp 5.500.
”Baru rencana pindah, pulungan sudah sepi. Plastik juga semakin susah dicari. Pengepul besar selalu bilang lagi susah (ekonomi),” ujar Anton.
Saban hari, bapak dua anak ini memulung di Palmerah, Senayan, Permata Hijau, dan Kebayoran Lama. Penghasilannya berkisar Rp 80.000-Rp 90.000 per hari. Seiring dengan turunnya harga plastik, penghasilannya menjadi Rp 50.000 per hari. Itu pun diperolehnya dengan susah payah.