Tim Teknologi Modifikasi Cuaca dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tiba di Sumatera Selatan. Mereka sedang mencari adanya awan hujan untuk diterapkannya hujan buatan di lahan yang rawan terbakar.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Tim Teknologi Modifikasi Cuaca dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tiba di Sumatera Selatan. Mereka sedang mencari adanya awan hujan untuk diterapkan hujan buatan di lahan yang rawan terbakar. Upaya ini dilakukan guna mengurangi potensi kebakaran lahan di sejumlah wilayah di Sumsel.
Hal ini disampaikan Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Ansori, Selasa (27/8/2019), di Palembang. Sebenarnya BPBD Sumsel telah mengusulkan didatangkan tim teknologi modifikasi cuaca (TMC) dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak tiga bulan lalu. ”Kami sudah mengirimkan usulan dua kali, tetapi tim baru didatangkan Senin (26/8),” katanya.
Walau telah tiba di Sumsel, tim dari TMC BPPT tersebut belum melakukan penyemaian awan hujan karena masih berkoordinasi dengan TNI Angkatan Udara terkait pesawat yang akan dioperasikan untuk penyemaian awan hujan. Selain itu, tim juga masih memeriksa kondisi lapangan tentang kemungkinan adanya awan hujan di sejumlah daerah yang rawan terbakar.
Ansori menerangkan, kebakaran lahan masih terjadi di beberapa wilayah di Sumsel, seperti di Kabupaten Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Ogan Ilir. Jumlah titik panas di tiga wilayah ini merupakan yang terbanyak di Sumsel. Sepanjang 2019, di Musi Banyuasin terpantau ada 654 titik panas, di Ogan Komering Ilir terpantau 255 titik panas, dan Ogan Ilir terpantau sekitar 153 titik panas.
Sementara pada Agustus, jumlah titik panas mencapai 1.218 titik panas, lebih tinggi dibandingkan dengan titik panas pada bulan sebelumnya, yakni 258 titik panas. Adapun luas lahan yang terbakar di Sumatera Selatan hingga kini sudah mencapai 1.935,11 hektar.
Tim darat dan udara masih terus memadamkan api di kawasan yang terbakar.
Ansori menjelaskan, meningkatnya titik panas disebabkan kondisi lahan yang kering dan keterbatasan sumber air untuk pembasahan. ”Tim darat dan udara masih terus memadamkan api di kawasan yang terbakar,” katanya. Karena itu, keberadaan hujan buatan sangat dibutuhkan untuk mengurangi potensi meluasnya kebakaran lahan di Sumsel.
Ansori menyebutkan, Senin sore, hujan sempat mengguyur beberapa wilayah di Sumsel, tetapi karena intensitas curah hujan yang masih kecil, tidak berpengaruh signifikan terhadap padamnya kebakaran lahan. ”Hujan itu setidaknya sudah membuat lahan agak basah,” katanya.
Puncak musim kemarau
Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Kelas 1 Palembang Nandang Pangaribowo menilai pelaksanaan TMC di Sumsel kurang efektif dilakukan saat ini. Hal itu karena keberadaan awan hujan sangat minim. ”Sekarang, Sumsel tengah berada di masa puncak musim kemarau. Kemungkinan, TMC baru efektif dilakukan pada dasarian III bulan September,” ungkapnya.
Nandang menuturkan, hujan yang terjadi di Sumsel, Senin (26/8), disebabkan adanya siklon tropis Bailu di Filipina dan pelambatan massa udara di Kalimantan serta belokan massa udara di Sumatera. Hujan diperkirakan masih akan terjadi untuk dua hari ke depan. Namun, intensitas hujan sangat kecil, yakni di bawah 50 milimeter (mm) per hari.
Sampai 25 Agustus 2019, lanjut Nandang, sebagian besar wilayah di Sumsel sudah tidak diguyur hujan selama 30 hari. Kondisi ini menyebabkan kondisi lahan sangat kering dan rentan terbakar. Masuknya musim hujan di Sumsel baru akan terjadi pada dasarian III bulan Oktober.
Shalat Istisqa
Kondisi tidak hujan selama satu bulan di Sumsel membuat Gubernur Sumatera selatan Herman Deru menginstruksikan setiap instansi untuk melakukan shalat Istisqa guna meminta hujan. Dengan ini diharapkan hujan dapat segera turun. Shalat diikuti oleh aparatur sipil negara, siswa dari sejumlah sekolah, aparat kepolisian, anggota TNI, dan masyarakat umum.
Menurut Herman, kemarau yang terjadi saat ini membuat sejumlah wilayah mengalami kekeringan. Tanaman gersang, air sungai surut, bahkan sampai ada anak sungai yang terputus alurnya karena mengering. Dalam hal kebakaran lahan dan hutan (karhutla), segala upaya sudah dilakukan, tetapi tetap saja ada lahan yang terbakar.
Kini, pemerintah tengah melakukan penelitian dengan membentuk litbang untuk mencari penyebab kebakaran lahan. Banyak pihak mengatakan, 90 persen penyebab karhutla karena ulah manusia. Kalau begitu, kata Herman, pihaknya akan mencari penyebab 10 persen lagi agar dapat segera diantisipasi.
”Dalam waktu beberapa minggu ke depan, hasil penelitian akan segera diberikan sebagai pedoman untuk melakukan antisipasi kebakaran di lapangan,” katanya.