Cerita Jonggol Jangan Terulang di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara
Sampai pergantian presiden pun, Jonggol tidak dijadikan prioritas pembangunan untuk ibu kota negara. Perusahaan-perusahaan yang sudah masuk Jonggol satu persatu pergi, akhirnya banyak lahan tidur atau tidak tergarap
Beben Suhendar masih berumur 32 ketika Presiden Soeharto mewacanakan pemindahan ibu kota negara ke Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 1993-1994.
Ketika wacana itu muncul, kata Beben, investasi pembangunan langsung bergerak membebaskan lahan 10 desa di Kecamatan Jonggol oleh Group Sentul. Tidak hanya itu, perusahaan lain pun bersiap membangun calon ibu kota baru. Sampai tahun 1997, Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997 keluar untuk membuat Kecamatan Jonggol menjadi kawasan mandiri.
“Saat itu Jonggol masih ada 23 desa, lalu dari Kepres tersebut ada 10 desa yang disiapkan menjadi ibukota baru. Namun, ternyata tidak terealisasi hingga Presiden Joko Widodo memutuskan ibu kota negara pindah ke Kalimantan Timur. 10 Desa itu kini menjadi Kecamatan Sukamakmur,” kata Beben di Jonggol, Kabupaten Bogor, Selasa (27/8/2019).
Alasan pemilihan 10 desa, kata Beben yang juga mantan Camat Jonggol, karena dekat dengan Kecamatan Babakan Madang (dulu kecamatan Sentul). Lokasi tersebut strategis, sudah ada perkantoran, dan dekat Istana Bogor di Kota Bogor.
Ia melanjutkan, Jonggol hingga saat ini masih menjadi sentra pertanian sehingga cocok menjadi ibu kota negara di tengah situasi DKI Jakarta yang kerap banjir. Panasnya situasi politik, jatuhnya pemerintahan Soeharto, hingga krisis ekonomi membuat Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997 tidak terwujud.
“Sampai pergantian presiden pun, Jonggol tidak dijadikan prioritas pembangunan untuk ibu kota negara. Perusahaan-perusahaan yang sudah masuk Jonggol satu persatu pergi, akhirnya banyak lahan tidur atau tidak tergarap,” lanjut Beban, yang baru dilantik menjadi anggota DPRD Kabupaten Bogor.
Pindah rencana
Setelah 25 tahun berjalan, lokasi pemindahan ibu kota Indonesia berubah. Presiden Joko Widodo mengumumkan lokasi baru ibu kota Indonesia, yakni di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Sejumlah reaksi bermunculan atas rencana besar tersebut. Secara khusus, dalam sektor industri properti, pemindahan ibu kota menimbulkan euforia tersendiri.
Pengamat properti, Tanto Kurniawan, menyebutkan, pengembang yang memiliki cadangan lahan di Kaltim mengalami kenaikan saham karena pemindahan ibu kota. Kenaikan saham terjadi karena investor menilai bisnis properti akan sangat bagus ke depannya.
"Saat ini industri properti sedang stagnan. Pengembang mengalihkan itu dengan menawarkan produk yang dekat dengan ibu kota baru. Dampaknya dahsyat, tetapi masyarakat juga cukup matang untuk tidak begitu saja percaya terjadi efek berganda akibat perpindahan ibu kota," kata Tanto.
Sejak mucul wacana pemindahan ibu kota, lanjut Tanto, pengembang sudah mulai melirik lahan di Kalimantan. Pengembang juga membuat divisi khusus survei tanah. Tidak bisa dipungkiri spekulan tanah akan marak di Kalimantan Timur.
"Spekulan akan marak. Persis seperti muncul wacana pemindahan ibu kota ke Jonggol, Bogor di tahun 1997. Setelah Presiden Soeharto mengumumkan itu, banyak sekali spekulan tanah di Jonggol," ucapnya.
Artinya, pemerintah harus mengamankan lahan untuk ibu kota agar nantinya tidak ada negosiasi dengan spekulan tanah. Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional Deden Rukmana pun menjelaskan, pemberdayaan warga lokal juga harus diperhatikan agar mereka merasakan manfaat pemindahan ibu kota.
"Jangan cuma pengembang yang untung, tetapi kembangkan juga masyarakat lokal. Jangan orientasi keuntungan saja tetapi sosial juga," kata Deden.
Deden menambahkan, pemindahan ibu kota bukan untuk mengatasi persoalan di Jakarta. Pemindahan ibu kota tidak bisa serta-merta mengurangi permasalahan di Jakarta.
"Dalam jangka pendek pemindahan tidak akan mengatasi permasalahan di Jakarta karena pemindahan butuh proses. Perlu waktu lebih dari lima tahun untuk ibu kota baru ini siap dan mulai ada pengaruh," kata Deden.
Lebih serius
Profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, optimis, rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur kali ini akan dilaksanakan secara serius. Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno dan Soeharto, rencana itu sempat diwacanakan, namun tidak direalisasikan akibat kondisi saat itu yang kurang mendukung.
Sekarang, dengan kondisi Jakarta yang dipenuhi dengan berbagai isu lingkungan, banjir, macet, polusi, dan sebagian wilayahnya yang kian tenggelam, kebutuhan untuk mengalihkan keberadaan pemerintah pusat ke wilayah lain semakin mendesak. Selain mengurangi beban di Jakarta, pemindahan ibu kota dipercaya dapat mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial antara Pulau Jawa dan wilayah lainnya.
“Faktor yang mendorong pemindahan ibu kota sekarang semakin banyak. Kalau tidak dipindah sekarang, kapan lagi?” kata Asvi di Jakarta.
Kebutuhan memindahkan ibu kota karena Jakarta sudah terbebani banyak kegiatan sudah dirasakan sejak puluhan tahun lalu. Pada Maret 1972, Kompas mencatat, Sujoso Tjokrosudarmo, dosen Regional Study Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, menganggap, Jakarta tidak dapat dipertahankan terus menerus sebagai ibu kota negara. Selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga dikenal sebagai kota pelabuhan dan kota dagang.
Pada 1996, pengusaha yang juga putra ketiga Presiden ke-2 RI Soeharto, Bambang Trihatmodjo, mengusulkan, kantor pemerintahan pusat dipindah dari Jakarta ke Kecamatan Jonggol, Bogor, Jawa Barat. Hal tersebut dalam rangka mengurangi arus urbanisasi di Jakarta yang tinggi.
Atas usulan itu, Jonggol yang semula sebagai wilayah yang sepi. Setelah itu, kawasan itu diserbu para pengusaha real estate untuk membangun perunahan.
“Namun, karena ada krisis ekonomi pada 1997, wacana itu jadinya hilang. Rencana itu tampaknya tidak disiapkan secara serius. Akibatnya, orang di sana berlomba-lomba memiliki lahan. Yang ada hanya perebutan lahan di sana,” tambah Asvi.
Sebelum itu, pada 1957, Presiden pertama RI Soekarno menjadikan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebagai calon lokasi ibu kota baru. Palangkaraya tempatnya berada di tengah Indonesia dan minim risiko bencana. Namun, Jakarta akhirnya dipilih sebagai lokasi perhelatan Asian Games 1958 karena ketersediaan infrastrukturnya yang lebih memadai. Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan pun ditunda.
“Asian Games 1958 digelar di Jakarta karena Jakarta lebih siap. Kalau digelar di tempat lain, tentu akan lebih repot. Akhirnya, Soeharto meresmikan Jakarta sebagai ibu kota pada 1964,” ujar Asvi.
Keseriusan pemerintah
Dari pemerintah, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, keseriusannya dalam upaya pemindahan ibu kota kali ini. Dengan begitu, tak akan terulang lagi kegagalan pemindahan ibu kota seperti pada era sebelum kepemimpinan Presiden Jokowi.
Bambang menyebut, setidaknya ada dua hal yang akan dilakukan untuk memastikan rencana pemindahan ibu kota ini berjalan lancar. Pertama, perumusan undang-undang. Kedua, pembangunan infrastruktur awal melalui jalan tol yang menghubungkan antara ibu kota baru dengan Balikpapan dan Samarinda.
"Rencana B ini menyangkut mitigasi kalau proyeknya katakanlah ada penundaan, yang penting pemindahan ibu kota sudah dilakukan," tutur Bambang.
Terkait rancangan UU tentang ibu kota yang baru, Bambang menjelaskan, saat ini pemerintah sedang menyiapkan naskah akademiknya. Kemudian, pada periode anggota DPR yang baru, RUU tersebut sudah dapat dibahas.
"Kami akan ajukan pada masa anggota DPR yang baru. Diusahakan paling lambat masuk tahun ini, tetapi mungkin selesai dibahas, awal tahun depan," kata Bambang.