Alih fungsi dan peruntukan lahan di kawasan hulu hingga hilir wilayah Konawe Utara saat ini memerlukan pengawasan dan pengendalian ketat. Aparat lapangan mengaku kewalahan.
Oleh
Saiful Rijal Yunus/Videlis Jemali
·4 menit baca
Alih fungsi dan peruntukan lahan di kawasan hulu hingga hilir wilayah Konawe Utara saat ini memerlukan pengawasan dan pengendalian ketat. Aparat lapangan mengaku kewalahan.
KONAWE UTARA, KOMPAS — Perubahan peruntukan di hulu hingga hilir Konawe Utara terjadi tanpa pengawasan berarti. Pertambangan terbuka dan perkebunan monokultur tersebar di kawasan perbukitan hingga tepi sungai, seperti terlihat di hulu, terutama di Kecamatan Langgikima dan Oheo.
Penelusuran Kompas, awal Agustus 2019, melihat dua daerah di lereng dan lembah itu dipenuhi kelapa sawit yang ditanam sejak 2007 dan mulai dipanen 2011. Kelapa sawit juga ditanam hingga bibir sungai. Di sejumlah titik, alur air dari kebun mengalir langsung menuju sungai tanpa kolam penampung sementara.
Di Desa Tambakua, Kecamatan Langgikima, tampak tersebar penambangan ratusan hektar di gunung yang sebelumnya hutan. Material tambang ditimbun di bagian lereng curam.
Banyak aliran air dan material tambang itu menuju Sungai Laundolia, subsistem Sungai Lasolo yang mengalir ke permukiman warga Tambakua. Bahkan, sejumlah titik longsoran dari tumpukan material penambangan langsung menuju sungai di bagian bawah lokasi penambangan nikel itu.
Penambangan itu ada hingga muara dan pesisir Konawe Utara. Pesisir penuh sedimen merah. Muara sungai mendangkal dan warnanya kekuningan. Saat hujan turun, sungai memerah.
Kepala Bidang Penataan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tenggara Aminoto Kamaludin, awal Agustus 2019, menyatakan, pihaknya memang belum punya pola pengawasan berkala untuk mengecek pengelolaan lingkungan perusahaan tambang dan kebun sawit. Anggaran pengawasan minim.
Tim turun ke lapangan kalau ada laporan atau pengaduan, seperti pencemaran laut karena tambang, beberapa waktu lalu. Namun, baku mutu air masih di ambang normal.
Berdasar peninjauan lapangan, kolam penampung sedimen di pertambangan dan kebun sawit terlihat seadanya. Padahal, itu prasyarat penambangan dan perkebunan di lereng gunung. Idealnya, kolam penampung sedimen banyak dan berkelok-kelok agar laju sedimen terhambat (tertampung di kolam) saat hujan. Jadi, sedimen tertahan.
”Selama ini belum ada sanksi meskipun fakta (kolam penampung sedimen) jelek. Kondisi itu hanya disampaikan atau perusahaan dibina. Kami juga tunggu pengawasan kabupaten seperti apa,” ujarnya.
Kepala Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Sampara Muhammad Azis mengatakan, kondisi DAS Lasolo yang meliputi mayoritas wilayah Konut, banyak alih fungsi lahan. Daerah yang awalnya kawasan hutan berubah seiring waktu. ”Secara keseluruhan, tutupan di hulu masih relatif bagus. Akan tetapi, di tengah dan bawah banyak perambahan dan banyak pembukaan,” kata Azis.
Fungsi hutan berkurang karena alih fungsi. Tanaman sawit, ujarnya, membuat daya resap air berkurang sehingga air langsung ke sungai. Pertambangan tanpa kaidah konservasi tanah-air mempercepat erosi. Banjir besar awal Juni lalu, menurut Azis, juga karena sedimentasi tinggi di sungai. Daerah terdampak itu perkebunan sawit dan pertambangan.
Namun, itu direspons pihak perusahaan. Alasannya, pembukaan lahan masif sejumlah perkebunan terjadi 2007-2009 sehingga pada saat itulah seharusnya banjir besar terjadi. ”Banjir baru sekarang. Jadi, kami pikir bukan karena kami,” kata Koordinator Umum PT Damai Jaya Lestari, Budiman. Perusahaan perkebunan sawit itu mengelola 6.000 hektar.
DAS kritis
Data BPDASHL Sampara, luas pertambangan di Daerah Aliran Sungai Lasolo 806 ha, sedangkan perkebunan 21.903 ha. Sebagian wilayah dari dua sektor ini beririsan dengan wilayah tingkat erosi berat dan sangat berat. Luas wilayah erosi kategori ini sekitar 50.000 ha.
Di Konawe Utara, saat ini 73 perusahaan berproduksi dengan wilayah lokasi pertambangan dari wilayah bukit hingga pesisir. Total luas IUP di Konawe Utara 207.800 ha. Jumlah luasan itu 41 persen total luasan wilayah kabupaten seluas lebih dari 500.000 ha.
Menurut Kepala Dinas ESDM Sultra Andi Azis, pihaknya terus berusaha mengawasi pertambangan di wilayah Sultra. Itu dilakukan dengan pegawai dan anggaran terbatas. Saat berkunjung ke Sultra, Rabu (21/8), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengingatkan besarnya daya rusak pertambangan.
”Ada sejumlah temuan tim Litbang KPK, misalnya kepemilikan IUP dikuasai orang tertentu, perusahaan tidak membayar dana reklamasi, PNBP, sementara kerusakan semakin besar,” katanya. Banjir bandang Juni lalu dampaknya tak ternilai, sedangkan dana bagi hasil tambang rata-rata Rp 44,5 miliar per tahun.
Oleh karena itu, Laode meminta pemda tegas dan memperbaiki tata kelola pertambangan, baik di Konawe Utara maupun di Sultra. Sementara itu, berdasar analisis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada Juni lalu, tutupan lahan dalam kurun 2013-2018 terus berkurang. Vegetasi hutan berkurang hingga 40.000 ha dalam lima tahun. Angka luasan perkebunan naik drastis. Begitu pula lahan terbuka.
Dampak rusaknya hulu Sungai Lasolo dialami Arwan (21). Ia dan orangtuanya tinggal di tenda darurat lokasi pengungsian Desa Puuwonua, Kecamatan Andowia. Rumahnya rusak berat dihantam banjir disertai lumpur awal Juni lalu.”Kalau banjir ini ada kaitan dengan pertambangan dan sawit di hulu atau faktor lain, tolong ditangani. Jangan ada lagi bencana,” ujar Arwan.