Dituding Picu Kerentanan Bencana, Aktivitas Pertambangan di Banyuwangi Selatan Klaim Ramah Lingkungan
Gunung Pitu menjadi benteng alami dari tsunami. Harusnya wilayah ini semakin diperkuat kualitas lingkungannya, bukan malah diserahkan kepada swasta
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Aktivis lingkungan menuding aktivitas pertambangan di kawasan pesisir selatan Banyuwangi, Jawa Timur, membuat wilayah permukiman masyarakat menjadi rentan terhadap bencana alam. Namun, PT Bumi Suksesindo selaku operator, mengklaim, bahwa mereka selalu memerhatikan kelestarian lingkungan dalam menjalankan aktivitas pertambangan.
Ada lima desa di Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, yang terkena dampak sosio-ekologis aktivitas pertambangan Gunung Tumpang Pitu oleh PT Bumi Suksesindo (PT BSI). Kelima desa tersebut adalah Sumberagung, Pesanggaran, Sumbermulyo, Kandangan, dan Sarongan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur Rere Christanto di Jakarta, Selasa (27/8/2019), mengatakan, selama ini warga memanfaatkan kawasan Gunung Tumpang Pitu untuk berlindung dari ancaman tsunami. Jika kawasan tersebut ditambang, warga khawatir permukiman mereka mudah diterjang tsunami.
“Gunung Pitu menjadi benteng alami dari tsunami. Harusnya wilayah ini semakin diperkuat kualitas lingkungannya, bukan malah diserahkan kepada swasta,” katanya.
Mengutip pernyataan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Rere menyebutkan, wilayah selatan Jawa termasuk Banyuwangi termasuk dalam wilayah rawan bencana. Hal itu karena daerah tersebut masuk dalam zona patahan (megathrust) yang berpotensi menghasilkan tumbukan lempeng dengan guncangan besar.
Pada 1994, gempa dan tsunami pernah melanda Banyuwangi dan merenggut setidaknya 215 korban jiwa. Ketinggian tsunami yang melanda pada dinihari tersebut diperkirakan mencapai 10 meter (Kompas, 4 Juni 2019).
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono membenarkan bahwa peningkatan aktivitas seismik di zona selatan Banyuwangi sempat terdeteksi beberapa minggu yang lalu. Meski begitu, frekuensinya sudah kembali menurun dalam beberapa hari terakhir.
“Tidak semua peningkatan aktivitas seismik akan menghasilkan gempa berkekuatan besar,” ujarnya saat dihubungi.
Selain menambah kerentanan terhadap tsunami, warga juga mengaitkan aktivitas pertambangan dengan banjir dan kekeringan yang melanda permukiman mereka. Warga Desa Sumberagung, Heri Budiawan, mengatakan, semenjak ada pertambangan, banjir selalu melanda perkampungannya setiap tahun.
Bahkan, banjir yang terjadi Agustus 2016 menyebabkan area pertanian warga tertimbun material lumpur. Warga juga menduga aktivitas pertambangan memicu bencana kekeringan di sana.
“Beberapa sumur milik warga juga sudah mengering. Padahal, biasanya sumber air mudah ditemukan di kedalaman 4 meter,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Manajer Komunikasi Perusahaan PT BSI Teuku Mufizar Mahmud menyatakan, tidak benar warga mengeluhkan tentang pertambangan yang menjadikan mereka lebih rentan terhadap bencana. Terlebih, banyak karyawan yang juga menjadi bagian dari warga tersebut.
“Warga juga mudah mengadu ke kami. Kantor eksternal kami tempatkan di pinggir jalan supaya mudah diakses mereka,” katanya.
Sedimen organik sungai
Menurut Mufizar, dalam waktu setengah tahun terakhir sudah ada sekitar 2.000 warga yang diajak keliling area pertambangan untuk meninjau lokasi langsung. Mereka melihat langsung proses penghijauan kembali dan pengelolaan air di area pertambangan. Semuanya sudah sesuai dengan baku mutu.
Adapun, kejadian banjir lumpur pada 2016 terjadi karena terjadi sedimen organik di badan sungai setempat. Setelah musim kemarau, sedimen organik tersebut langsung tersapu aliran air akibat hujan deras. Tidak benar lumpur berasal dari pertambangan.
“Kami bahkan membantu proses normalisasi sungai agar tidak ada lagi polemik banjir lumpur,” kata Mufizar.
PT BSI pun mendapatkan penghargaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena dinilai berhasil mereboisasi lahan kompensasi. Selain itu, mereka juga dinilai berhasil mempertahankan ekosistem biota satwa di daerah tersebut.
Pembangunan berisiko tinggi
Dinamisator Jaringan Aktivitas Tambang (JATAM) Nasional Merah, Johansyah, menilai pemerintah abai dengan memberikan izin-izin pertambangan di lokasi rawan bencana sehingga menambah kerentanan masyarakat terhadap bencana alam. Data yang dihimpun JATAM menyebutkan, ada lebih dari 1.425 izin pertambangan di Pulau Jawa dengan terbanyak di Jawa Barat dan Jawa Timur.
“Kebanyakan izin-izin pertambangan ada di pesisir selatan yang masuk dalam kawasan rawan bencana,” ujar Merah.
Editor:
hamzirwan
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.