Jelajah Mancanegara Bermodal Sampah
Di sebuah bank sampah di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Yuni membuktikan, sampah rumah tangganya jadi modal menjelajah tiga negara.
Di lautan, sampah menjadi sumber penderitaan biota di sana, mulai dari sedotan yang menyangkut di hidung penyu hingga gumpalan kantong plastik di perut paus yang memicu kematian. Di sebuah bank sampah di Kecamatan Koja, Yuni membuktikan, sampah rumah tangganya jadi modal menjelajah tiga negara.
Tangkapan kamera ponsel pintar mengabadikan bermacam pose Yuni dengan beragam obyek termasyhur di negeri tetangga. Ada potret dirinya bersama patung Merlion di Taman Merlion serta Supertree Grove di Gardens by the Bay, Singapura. Ada juga foto dengan menara kembar Petronas, penanda Kuala Lumpur, Malaysia.
”Tidak rugi ikut bank sampah. Saya terbantu sekali,” ucap perempuan bernama lengkap Wahyuni (51) itu saat bercerita pada Minggu (25/8/2019) siang.
Bank sampah yang dimaksud adalah Bank Sampah Majelis Taklim, yang berlokasi di area Kantor Camat Koja, Jakarta Utara. Berkat setahun menabung sampah anorganik yang bisa didaur ulang, Yuni punya modal pelesiran ke luar negeri, tidak hanya ke Singapura dan Malaysia, tetapi juga ke Thailand.
Yuni jadi bagian dari 40 nasabah Bank Sampah Majelis Taklim yang ikut program Tur Tiga Negara 2019 selama enam hari, 6-12 Juni. Setiap negara disinggahi selama dua hari dengan berbagai obyek wisata dikunjungi. Setiap nasabah cukup membayar total Rp 5,7 juta yang sebagian besarnya dalam bentuk sampah bernilai jual.
”Awalnya saya tidak percaya,” ucap Yuni.
Pengalamannya ke Thailand sebelumnya, ia mesti merogoh kocek Rp 6 juta hanya untuk perjalanan tiga hari dua malam. Itu pun dengan makan cuma dua kali sehari. Dalam tur tiga negara yang lalu, dengan biaya lebih murah, warga Kelurahan Rawa Badak Utara, Koja, ini bisa menginap di hotel berbintang serta mendapat makan prasmanan tiga kali sehari.
Tidak terbayangkan bahwa kesempatan itu datang dari sebuah bank sampah di sudut tersembunyi dalam area Kantor Camat Koja. Pada lahan berukuran 5 meter x 3 meter di belakang kantor pengelola bank, berbagai ragam sampah tertumpuk, mulai dari botol dan gelas plastik, bungkus kemasan minuman dan makanan, kardus, hingga kaleng logam.
Penggerak Bank Sampah Majelis Taklim pun boleh dikatakan individu dengan karier profesi yang tidak terkait persampahan, yakni pendakwah agama bernama Iing Solihin atau kerap disapa Gus Ing. Ia merintis bank sampah pada 2014 setelah mendapat wawasan soal situasi sampah DKI dari Wakil Camat Koja kala itu, Budi Santoso. Sejak saat itu, ia berkali-kali menyelipkan ajakan kepada jemaah untuk menabung sampah di bank sampah.
Untuk membuat nasabah terus semangat menabung, Gus Ing memutar otak mencari inovasi mengelola sampah. Suatu ketika, pada awal tahun lalu, ia berbincang-bincang dengan ibu-ibu dalam salah satu majelis taklim.
”Mereka bilang, bagaimana caranya bisa berangkat tur ke luar negeri tanpa mengeluarkan uang dari suami,” ujar Gus Ing. Tercetuslah ide untuk memanfaatkan uang tabungan hasil menukar sampah sebagai cicilan mereka untuk tur tiga negara.
Besaran biaya ditetapkan sebesar Rp 5,7 juta per peserta, diangsur selama setahun dengan cicilan Rp 475.000 per bulan. Calon peserta wajib mengumpulkan sampah sebanyak-banyaknya untuk ditukarkan dengan uang tabungan yang kemudian dijadikan cicilan tur.
Idealnya, calon peserta tur menyetor 10 kilogram sampah per hari agar tabungan melewati ambang batas Rp 475.000 setiap bulan. Namun, mereka bisa menambah uang tunai ke rekening bank sampah jika uang hasil menukar sampah belum menggenapi cicilan.
Idealnya, calon peserta tur menyetor 10 kilogram sampah per hari agar tabungan melewati ambang batas Rp 475.000 setiap bulan. Namun, mereka bisa menambah uang tunai ke rekening bank sampah jika uang hasil menukar sampah belum menggenapi cicilan.
Yuni menyebutkan, dirinya rata-rata menambah uang tunai Rp 100.000 per bulan ke rekening tabungan sampahnya karena ia biasanya hanya bisa mengumpulkan 5 kilogram sampah per hari. Cuma sekali setoran sampahnya memenuhi kuota, yakni pada bulan puasa. ”Saya biasanya ada kegiatan bagi-bagi takjil gratis setiap bulan puasa. Nah, kemasan takjil saya kumpulkan untuk disetor ke bank sampah,” katanya.
Cara lain untuk mengejar target tabungan cicilan jalan-jalan, Yuni kerap ”menodong” tetangga sekitarnya agar dirinya boleh meminta sampah anorganik mereka. Atau, menjaring sampah dari hajatan semacam resepsi pernikahan di sekitar lingkungan tinggalnya.
Chusnul Chatimah (52) atau biasa dipanggil Nunung, sesama nasabah peserta tur tiga negara, punya cara berbeda lagi. Ia menampung sampah anorganik yang dihasilkan belasan penghuni kontrakan yang dikelolanya, kemudian menyetornya ke Bank Sampah Majelis Taklim.
Melihat kepuasan peserta tur tiga negara 2019, kini 37 orang dari total 400-an nasabah Bank Sampah Majelis Taklim tercatat ikut program menabung sampah untuk tur tiga negara jilid dua, tahun depan.
Meski bernama ”majelis taklim”, bank sampah terbuka bagi nasabah penganut agama apa pun. Bahkan, ada pula nasabah yang berasal dari Depok dan Tangerang.
Gus Ing mengatakan, pihaknya juga mewacanakan program menabung sampah untuk modal berwisata ke sejumlah ikon turisme di Tanah Air, salah satunya ke Bromo di Jawa Timur.
Kesuksesan strategi Gus Ing mengawinkan pengelolaan bank sampah dengan tawaran jalan-jalan ke negara lain menjadi embusan angin segar bagi tumbuh kembang bank sampah di Ibu Kota. Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, saat ini baru ada sekitar 1.500 unit bank sampah tersebar di 2.729 rukun warga (RW). Padahal, Pemerintah Provinsi DKI menargetkan minimal terdapat satu bank sampah di setiap RW.
Pada sisi lain, kontribusi pengurangan timbunan sampah dari aktivitas bank sampah juga masih minim, yaitu mengurangi 77,4 ton sampah yang diangkut petugas dinas lingkungan hidup per hari.
Adapun total volume sampah warga Jakarta setiap hari mencapai 7.500 ton. Seluruh sampah yang diambil petugas kemudian diangkut ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi.
Sebagian besar sampah plastik laku dijual karena bisa didaur ulang.
Jika total volume sampah yang diantar ke Bantargebang bertahan pada kisaran angka 7.000 ton ke atas setiap hari, TPST itu tidak akan mampu lagi menampung sampah pada 2021. Sebab, kapasitasnya hanya 49 juta meter kubik. Hal ini belum mempertimbangkan potensi konflik antara Pemprov DKI dan Pemerintah Kota Bekasi jika terdapat ketidaksepakatan soal kompensasi. Mudah untuk melumpuhkan Ibu Kota. Bekasi cukup melarang truk-truk sampah asal Jakarta melintas di wilayahnya saat akan ke Bantargebang, seperti terjadi pada Oktober 2018.
Dari 7.500 ton sampah Jakarta setiap hari, ada 1.000-2.000 ton sampah berjenis plastik. Sebagian besar sampah plastik laku dijual karena bisa didaur ulang. Karena itu, jika rumah tangga penghasil sampah plastik bisa memilahnya dan menjual ke bank sampah, sampah plastik dalam jumlah masif tidak perlu ikut dikirim ke Bantargebang. Selama 2017-2018, sebesar 59,17 persen sampah DKI bersumber dari rumah tangga. TPST ini tentu akan bisa sedikit bernapas.
Selain itu, sampah plastik tidak perlu masuk ke saluran air, kemudian mencapai laut dan pelan-pelan membunuh biota di sana. Hasil riset Jenna R Jambeck dan kolega dari Universitas Georgia, AS, Indonesia berada di urutan kedua dunia penyumbang sampah plastik terbanyak ke laut setelah China. Warga Indonesia menggunakan 9,8 miliar lembar kantong plastik per tahun, hampir 95 persennya jadi sampah (Kompas, 9/1/2016).
Di Bank Sampah Majelis Taklim, sampah plastik sudah keburu menjadi modal menjelajah mancanegara sebelum sampai ke lautan.