Alexander Marwata, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, yang juga calon pimpinan KPK 2019-2023, mengakui, kinerja KPK selama empat tahun terakhir belum berhasil.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alexander Marwata, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, yang juga calon pimpinan KPK 2019-2023, mengakui, kinerja KPK selama empat tahun terakhir belum berhasil. Hal itu disebabkan peran koordinasi dan supervisi yang belum optimal.
”Kinerja KPK dalam empat tahun terakhir belum berhasil karena peran koordinasi dan supervisi belum berjalan optimal karena ego sektoral. Seharusnya ketiga aparat penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK) dapat bekerja efektif dan efisien. Namun, itu belum terjadi,” ujar Alexander di Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Pernyataan ini merupakan jawaban atas pertanyaan Panitia Seleksi Capim KPK dalam tahap akhir seleksi, yakni uji publik dan wawancara di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat. Selain Alexander, ada enam kandidat lain yang juga dites hari ini, sementara 13 lainnya akan dites pada Rabu-Kamis (28-29/8/2019).
Keenam kandidat lain adalah tiga anggota Polri, masing-masing Inspektur Jenderal Antam Novambar, Brigadir Jenderal (Pol) Bambang Sri Herwanto, Inspektur Jenderal Firli Bahuri; karyawan BUMN, Cahyo RE Wibowo, auditor Badan Pemeriksa Keuangan, I Nyoman Wara; serta Penasihat Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi, Jimmy Muhammad Rifai Gani.
Menurut Alexander, dalam undang-undang sudah jelas bahwa aparat penegak hukum harus menyampaikan surat perintah penyidikan (sprindik) ke KPK. Namun, dalam praktiknya, tidak seluruhnya disampaikan.
Dengan begitu, upaya perbaikan ke depan adalah dengan membuat surat pemberitahuan dimulainya penyidikan elektronik (e-SPDP). Dengan tujuan agar e-SPDP dapat menjadi satu-satunya platform untuk menerbitkan SPDP sehingga Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dapat saling memonitor.
”Selain itu, dalam rangka meningkatkan supervisi, per 1 Juli 2019 KPK juga telah membuat sistem agar berita acara pidana penyidik dapat diakses oleh seluruh pimpinan KPK. Sistem ini untuk meningkatkan pengawasan dan kontrol dalam penyidikan yang dinilai masih kurang,” kata Alexander.
Sejalan dengan itu, Antam Novambar menyatakan bahwa KPK diharapkan betul-betul melaksanakan tugasnya dengan bantuan e-penyidikan korupsi. Namun, selain koordinasi dengan memanfaatkan teknologi, Antam berpandangan pentingnya membuat satuan tugas dengan aparat penegak hukum lain.
”Selama ini enggak pernah ada pertukaran informasi intelijen. KPK harusnya menjadi trigger machine. KPK 17 tahun itu sebetulnya tidak berhasil karena belum meningkatkan penegak hukum lainnya. Saya sebagai penegak hukum rasanya berjalan sendiri,” ujar Antam.
Padahal, ia menyampaikan bahwa anggota Polri yang ditugaskan ke KPK adalah anggota-anggota terpilih yang memiliki kompetensi. ”Kami tidak pernah memberi kepada KPK anggota asal-asalan. Istilahnya kami berkorban supaya KPK bisa lebih memicu kami,” katanya.
Belum optimalnya kinerja KPK juga disampaikan Firli Bahuri. Menurut dia, soliditas para pegawai KPK belum optimal karena berasal dari berbagai lembaga. Dalam meningkatkan daya guna dan hasil guna pemberantasan korupsi bermakna bahwa KPK tidak dapat bekerja sendiri.
”Kalau saya terpilih tetap pangkat di bawah Kepala Kepolisian RI atau Panglima TNI, tetapi tidak perlu kekhawatiran karena KPK lembaga independen dan tidak terpengaruh kekuasaan apa pun. Artinya, boleh koordinasi sebagai strategi dan KPK memegang tegas peranan sebagai trigger mechanism,” ujar Firli.
Dalam rangka memperkuat soliditas di KPK, sudah semestinya menjadi tanggung jawab komisioner untuk mengendalikan anggota staf yang ada di internal KPK. Untuk itu, dirinya akan menanyakan kepada setiap deputi mengenai hambatannya agar dapat dievaluasi.