Unjuk rasa di Hong Kong yang berlangsung sejak Juni 2019 tidak lepas dari peran media sosial. Massa bersatu, saling bantu, dan saling berbagi informasi dalam jaringan komunikasi di dunia maya. Hingga kini, belum ada tanda rangkaian aksi warga Hong Kong akan berhenti.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Unjuk rasa di Hong Kong yang berlangsung sejak Juni 2019 tidak lepas dari peran media sosial. Massa bersatu, saling bantu, dan saling berbagi informasi dalam jaringan komunikasi di dunia maya. Hingga kini, belum ada tanda rangkaian aksi warga Hong Kong akan berhenti.
Unjuk rasa ini dipicu oleh penolakan masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi ke China. Masyarakat khawatir akan diekstradisi dan diadili di China. Belum lagi hak asasi yang belum terjamin jika diadili di sana.
Diprediksi ada sekitar satu juta orang yang turun ke jalan dan menolak RUU ini. Saban hari ada informasi seputar aksi massa di laman internet, ruang diskusi dunia maya, hingga aplikasi percakapan telegram.
Unjuk rasa di Hong Kong hanya satu dari sekian banyak contoh kuatnya pengaruh media sosial. Perkembangan zaman berikut diksi ”digitalisasi” tidak lagi bisa dimaknai sebagai ”melakukan segala sesuatu lewat gawai”. Era digital telah mengubah wajah politik, ekonomi, sosial, dan nyaris semua sektor kehidupan.
Menurut sosiolog Spanyol, Manuel Castells, dalam teori Network Society (masyarakat jaringan), teknologi masih dipahami oleh masyarakat sebagai sarana perubahan. Padahal, teknologi (dan perkembangannya) ialah perubahan itu sendiri.
Menurut Castells, kemajuan teknologi telah membuka kesempatan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Di sisi lain, kemajuan tersebut juga melahirkan kontradiksi, salah satunya menyebabkan kesenjangan sosial yang semakin kentara.
Teknologi masih dipahami oleh masyarakat sebagai sarana perubahan. Padahal, teknologi (dan perkembangannya) ialah perubahan itu sendiri.
Pembatasan media sosial
Di Indonesia, media sosial pernah dibatasi oleh pemerintah pada akhir Mei 2019. Hal ini dinilai sebagai cara pamungkas buat mengeliminasi hoaks selama unjuk rasa yang berbuntut kerusuhan terjadi di DKI Jakarta.
Ada masyarakat yang setuju dan tidak dengan pembatasan ini. Yang setuju berpendapat bahwa ini cara ampuh untuk menekan berita bohong sampai kondisi kembali kondusif. Sementara masyarakat lain tidak setuju karena pembatasan ini berdampak pada pekerjaan mereka.
Menurut data dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pembatasan media sosial pada Mei 2019 berdampak terhadap segi ekonomi. Potensi kerugiannya Rp 227 miliar per hari (Kompas.id, 12/6/2019).
Data ini disimpulkan dari riset data transaksi daring yang bisa mencapai Rp 345 miliar per hari. Tercatat ada rata-rata dua dari tiga transaksi daring dilakukan melalui media sosial.
Sementara itu, menurut Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, pembatasan tersebut menyebabkan pedagang berpotensi kehilangan pendapatan melalui e-dagang sebesar 30 persen (Kompas.id, 12/6/2019).
Pembatasan akses internet juga kini dilakukan pemerintah terhadap Papua dan Papua Barat. Kebijakan ini diterapkan Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak 18 Agustus 2019. Kebijakan tersebut diambil terkait ketegangan di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat.
Pembatasan akses internet dilakukan lantaran adanya potensi penyebaran hoaks. Hal ini dinilai bisa memicu semakin panasnya suasana di Papua dan Papua Barat.
Dari kasus Hong Kong, DKI Jakarta, Papua, dan Papua Barat, masyarakat bisa sepakat bahwa media sosial ialah platform termutakhir untuk menyebarkan informasi. Terlepas dari kebenaran informasinya, masyarakat (secara tanpa sadar) mengandalkan gawai dan internet untuk mendapat informasi terkini.
Belajar bijak
Menurut Chairman Social Media Week dan Chief Executive Officer Merah Cipta Media Antonny Liem, media sosial tidak akan hilang dan akan bertambah kuat perannya bagi masyarakat. Dengan ini, menurut dia, masyarakat perlu belajar menggunakan media sosial secara bijak dan bertanggung jawab.
”Tidak mungkin semua media sosial diblok. Saat media sosial dibatasi saja masyarakat belajar menggunakan VPN (jaringan pribadi virtual). Harus kita yang belajar bermedia sosial dengan benar,” kata Antonny di Jakarta, Senin (27/8/2019).
Ini disampaikan pada konferensi pers Social Media Week yang akan diselenggarakan di Jakarta pada 11-15 November 2019. Lebih dari 150 pembicara Indonesia dan internasional akan berbagi cerita dan pengetahuan pada acara ini. Adapun tema yang diangkat ialah ”Stories: With Great Influence Comes Great Responsibility”.
Menurut Antonny, semua orang memiliki pengaruh bagi orang lain di dunia maya. Oleh sebab itu, penting untuk memahami benar sebab-akibat suatu unggahan di media sosial.
Menurut dia, media sosial kini bukan lagi platform untuk menulis status, melainkan bak pedang bermata dua. Media sosial bisa digunakan untuk mengembangkan diri. Di sisi lain, media sosial bisa menjadi musuh bersama jika sudah berkaitan dengan hoaks dan ujaran kebencian.
Sementara itu, Ketua Forum Pegiat Media Sosial Hafyz Marshal mengatakan, lebih baik media sosial digunakan untuk membuat konten positif. Ia juga merekomendasikan orang-orang untuk menahan diri dalam menyebarkan informasi yang belum jelas validitasnya.
”Menurut saya, lebih baik upload daripada sharing. Kita bisa buat konten positif sekali dalam seminggu misalnya dan diunggah di media sosial,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.