Dalam struktur turnamen Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), Kejuaraan Dunia berada pada puncak piramida. Bersama kejuaraan beregu (Thomas, Uber, Sudirman), Kejuaraan Dunia Yunior, dan Senior, Kejuaraan Dunia seperti yang digelar di Basel, Swiss, 19-25 Agustus, digolongkan Major Events (Turnamen Besar) Tingkat I. Maka, tak salah jika persaingan di Basel menjadi cermin untuk Olimpiade Tokyo 2020.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Dalam struktur turnamen Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), Kejuaraan Dunia berada pada puncak piramida. Bersama kejuaraan beregu (Thomas, Uber, Sudirman), Kejuaraan Dunia Yunior, dan Senior, Kejuaraan Dunia seperti yang digelar di Basel, Swiss, 19-25 Agustus, digolongkan Major Events (Turnamen Besar) Tingkat I. Maka, tak salah jika persaingan di Basel menjadi cermin untuk Olimpiade Tokyo 2020.
Meski digelar setiap tahun sejak 2005, kecuali pada tahun diselenggarakannya Olimpiade, Kejuaraan Dunia memiliki aura berbeda di mata peserta. Hanya Olimpiade yang bisa menandinginya.
Menjadi juara dunia dan Olimpiade tak cukup bermodalkan kepiawaian dalam melancarkan smes, memukul drop shot untuk mengecoh lawan, mengembalikan kok dengan tipis di net, atau membangun pertahanan bagai tembok tebal yang sulit ditembus. Perlu bekal yang jauh lebih penting dari itu, yaitu kekuatan mental menghadapi tekanan besar, lebih besar dibandingkan ketika tampil dalam rangkaian turnamen BWF World Tour.
Maka, para juara dunia yang dikukuhkan di Stadion St Jakobshalle, Minggu (25/8/2019), adalah sosok yang punya peluang besar untuk berdiri di podium tertinggi di Musashino Forest Sport Plaza, tempat pertandingan bulu tangkis Tokyo 2020.
Pada tunggal putra misalnya, tak salah jika Kento Momota (Jepang) mendapat julukan ”King Momota”. Momota mempertahankan gelar setelah menjadi tunggal putra pertama dari Jepang yang menjadi juara dunia pada 2018.
Dua gelar beruntun itu memperlihatkan ketangguhan mental Momota yang terbentuk ketika dia menjalani skors dari Asosiasi Bulu Tangkis Jepang, pada April 2016-Juni 2017, karena judi. Setelah menjalani hukuman, yang membuang peluangnya tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Momota bangkit. Dia membalas cibiran orang karena skors itu dengan menjadi tunggal putra terbaik dunia.
Gelar juara ganda campuran juga mempertegas dominasi pasangan China, Zheng Siwei/Huang Yaqiong, sebagai yang terbaik sejak 2018. Mereka adalah jawaban dari regenerasi ganda campuran China setelah ditinggalkan tiga kali juara dunia, Zhang Nan/Zhao Yunlei.
Pada ganda putri, final sesama pemain Jepang menjadi representasi kekuatan negara tersebut. Dalam daftar peringkat yang terakhir dikeluarkan BWF pada 20 Agustus, empat ganda putri Jepang berada pada peringkat 10 besar dunia, termasuk pada tiga teratas. Ini menjadi sinyal positif untuk tampil di depan publik sendiri pada tahun mendatang.
Di tunggal putri, Pusarla V Sindhu (India) menjadi juara dunia pada waktu yang tepat. Sindhu telah ditempa dalam final Kejuaraan Dunia pada dua penyelenggaraan sebelumnya, meski kalah.
Dia juga menjadi finalis Rio de Janeiro 2016. Tunggal putri berusa 24 tahun itu akan memiliki motivasi lebih besar untuk mengubah medali perak menjadi emas di Olimpiade 2020.
Dedikasi
Sementara itu, gelar juara dari Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan menambah daftar prestasi ganda putra Indonesia di level dunia. Indonesia bangga pada duo ”The Daddies” yang masih berprestasi meski masing-masing telah berusia 35 dan 32 tahun.
Gelar ketiga dalam tiga keikutsertaan—Hendra/Ahsan juga juara pada 2013 dan 2015—memperlihatkan rekor fantastis mereka. Hendra/Ahsan meraih kemenangan 100 persen dalam kejuaraan yang digelar sejak 1977 itu.
Pengalaman dua kali juara dunia memang menjadi kelebihan Hendra/Ahsan saat mengalahkan Takuro Hoki/Hugo Kobayashi (Jepang) di final. Namun, pengalaman itu diraih dengan jalan yang tak mudah. Tak banyak atlet yang mampu bersaing di papan atas dunia hingga seusia mereka.
Hendra/Ahsan bergabung pada 2012 setelah berpisah dengan pasangan masing-masing: Hendra dengan Markis Kido dan Ahsan bersama Bona Septano. Sempat berganti pasangan ketika Hendra keluar pelatnas, pada 2017, mereka bergabung lagi pada 2018.
Tahun ini, The Daddies tujuh kali ke final dari 12 turnamen. Selain menjadi juara dunia, mereka juga menjad yang terbaik di All England.
Motivasi, kerja keras, disiplin di dalam dan luar lapangan, di tengah peran sebagai suami dan ayah, membuat mereka menjadi seperti saat ini. Dedikasi pada bidang yang mereka cintai, serta sifat rendah hati, membuat membuat Hendra/Ahsan menjadi idola sesama pemain.
Dedikasi mereka mengingatkan pada maestro tenis, Roger Federer. Juara 20 Grand Slam yang telah berusia 38 tahun itu memiliki perspektif melakukan apa yang dicintai dalam hidup saat menjalani tur.
Inilah yang masih harus dibuktikan pemain lain, termasuk ganda putra nomor satu dunia, Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon, yang tersingkir pada laga pertama (babak kedua) di Basel. Untuk menjadi juara sejati, bukan hanya kepiawaian bermain yang dibutuhkan.
Nomor lain, tak dapat dipungkiri, masih sulit diandalkan meraih emas di Tokyo 2020. Dalam perbincangan dengan beberapa pelatih di pelatnas bulu tangkis Cipayung tergambar, belum ada lagi sosok-sosok berdedikasi tinggi seperti Hendra/Ahsan, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, dan Debby Susanto.
”Pemain sekarang berlatih hanya ketika diawasi pelatih. Sangat jarang melihat mereka menambah latihan dengan kemauan sendiri. Kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari juga kurang. Tantangan menjadi pelatih untuk atlet-atlet zaman sekarang jauh lebih berat,” tutur pelatih ganda campuran, Richard Mainaky.
Jika kondisi ini tak berubah, prinsip yang selalu dipegang Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PP PBSI Susy Susanti, yaitu ”Tak ada yang tak mungkin”, akan sulit diwujudkan. Salah satunya dalam mempertahankan emas bulu tangkis di Olimpiade.