Otoritas Hong Kong mengklaim situasi di wilayahnya masih terkendali setelah aksi unjuk rasa pro-demokrasi yang telah berjalan 12 minggu.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
HONG KONG, SELASA — Otoritas Hong Kong mengklaim situasi di wilayahnya masih terkendali setelah aksi unjuk rasa pro-demokrasi yang telah berjalan 12 minggu. Padahal, aksi unjuk rasa akan terus berlanjut selama beberapa minggu ke depan. Masa depan Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia semakin muram.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, Selasa (27/8/2019), mengatakan, aksi protes anti-pemerintah belakangan semakin gawat. Akan tetapi, pemerintah yakin masih mampu menangani krisis politik yang terjadi.
”Kami harus bersiap rekonsiliasi dalam masyarakat dengan berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda. Kami ingin mengakhiri situasi kacau di Hong Kong,” kata Lam.
Menurut Lam, ia juga akan membangun platform dialog dengan pengunjuk rasa. Akan tetapi, ia tidak akan tunduk pada tuntutan pengunjuk rasa, seperti mengundurkan diri dari jabatan.
Kemunculan Lam di hadapan publik merupakan yang pertama sejak aksi unjuk rasa berakhir ricuh, Minggu (25/8/2019). Polisi mengerahkan meriam air, menembakkan gas air mata, serta mengeluarkan tembakan peringatan kepada pengunjuk rasa yang melawan dengan lemparan batu dan bom molotov.
Pengunjuk rasa berencana terus melakukan aksi dalam beberapa hari dan minggu ke depan. Selain dari sisi kestabilan politik, perekonomian Hong Kong telah terkena dampak negatif. Aksi telah mengganggu lalu lintas, melumpuhkan pusat perbelanjaan dan pariwisata, serta menutup bandara internasional.
Hong Kong diperkirakan akan mengalami resesi ekonomi pada triwulan III-2019. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2019 telah turun 0,4 persen sebelum aksi protes dilakukan besar-besaran. Meskipun dinyatakan tidak berhubungan dengan aksi unjuk rasa, Pemerintah Hong Kong telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi paling tinggi 1 persen pada 2019.
Sejumlah lembaga pemeringkat kredit swasta telah menyuarakan pertanyaan mengenai kualitas pemerintahan di Hong Kong. Beberapa hartawan Hong Kong mulai memindahkan kekayaan mereka ke luar negeri. Warga juga mulai mencari rumah tinggal di tempat lain.
”Kami menerima pertanyaan dari calon pembeli asal Hong Kong lebih banyak dari biasanya. Kebanyakan calon pembeli mencari properti kelas atas dengan harga di atas 3,4 juta dollar AS,” ujar Jamie Mi, mitra dari Kay & Burton, sebuah agen properti di Australia.
Tantangan Beijing
Aksi unjuk rasa yang berkelanjutan juga dapat menjadi tantangan langsung bagi otoritas China. Beijing menginginkan situasi di Hong Kong kondusif menjelang peringatan 70 tahun berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 2019.
China telah menyiagakan sejumlah kekuatan militer di Shenzhen, kota yang berbatasan dengan Hong Kong. Beijing telah berulang kali memperingatkan akan mengintervensi krisis Hong Kong dengan paksa jika kekerasan berlanjut.
Beijing juga menolak tegas intervensi luar mengenai gejolak di Hong Kong. Pertemuan negara G-7 yang menyerukan agar kekerasan di Hong Kong berhenti juga dikecamnya. ”Mereka membuat komentar tanpa berpikir mengenai masalah Hong Kong,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang.
Hong Kong merupakan wilayah China yang memiliki pemerintahan khusus sejak 1997. Hong Kong akan bersatu secara penuh dengan China pada 2047.
Sejak awal Juni 2019, warga menggelar aksi unjuk rasa di Hong Kong menolak rancangan undang-undang ekstradisi. RUU tersebut membuat warga dapat dikirim ke China. Aksi kemudian berkembang menjadi gerakan pro-demokrasi.
Para pengunjuk rasa kini menuntut Pemerintah Hong Kong mencabut RUU ekstradisi, pembatalan sebutan perusuh terhadap pengunjuk rasa, pembebasan pengunjuk rasa yang ditahan polisi, pengunduran diri Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, penyelidikan kekerasan oleh polisi, serta pemberian hak pilih terhadap pejabat legislatif dan pemimpin Hong Kong. (REUTERS/AFP/AP)