Pemindahan Ibu Kota Ciptakan Dampak Ganda bagi Ekonomi Nasional
Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur dinilai sebagai strategi mengantisipasi perlambatan ekonomi global karena memberikan dampak ganda terhadap ekonomi nasional.
Oleh
Karina Isna Irawan/Erika Kurnia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur dinilai sebagai strategi mengantisipasi perlambatan ekonomi global karena memberikan dampak ganda terhadap ekonomi nasional. Selain menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru, pemindahan ibu kota untuk menggeser jalur perdagangan internasional ke arah timur.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro berpendapat, pemindahan ibu kota akan menciptakan dampak berganda bagi perekonomian nasional. Dari hitungan ekonomi, setiap Rp 1 miliar uang yang dibelanjakan pemerintah akan menghasilkan dampak berganda senilai Rp 2,5 miliar.
”Ibaratnya, kolam ikan butuh pompa supaya air berputar. Pompa Ibu Kota DKI Jakarta sudah kurang sehingga butuh pompa baru di dua kutub,” kata Ari yang dihubungi di Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Menurut Ari, dampak berganda dari pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur akan terefleksikan dalam konsumsi rumah tangga dan investasi. Indonesia perlu memaksimalkan sumber pertumbuhan domestik itu untuk memperkecil dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
”Perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan tumbuh berkisar 5,1-5,2 persen. Jika tidak ada daya donor tambahan, pertumbuhan ekonomi bisa lebih rendah dari itu,” kata Ari.
Dampak berganda dari pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur akan terefleksikan dalam konsumsi rumah tangga dan investasi.
Dampak berganda atas pemindahan ibu kota akan tercipta jika ada tambahan penduduk. Karena itu, pemerintah harus memastikan seluruh pegawai negeri sipil (PNS) tingkat pusat pindah ke ibu kota baru. Gaji PNS jadi stimulus menggerakan konsumsi rumah tangga.
Di sisi lain, menurut Ari, pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur untuk menggeser jalur perdagangan internasional ke arah timur Indonesia dari Selat Malaka masuk Selat Lombok dan Selat Makasar. Tujuannya, mengantisipasi persoalan geopolitik di Laut China Selatan.
”Indonesia mencoba dapatkan kesempatan jalur perdagangan itu. Kalau pemerintahan diam saja, perekonomian akan semakin lemah,” kata Ari.
Ari mengatakan, pergeseran jalur perdagangan internasional penting untuk mengantisipasi perang dagang AS-China jangka panjang. Relokasi investasi dari China bisa ditangkap dengan mengaktifkan jalur perdagangan internasional bagian timur itu karena lalu lintas ekspor relatif lebih mudah.
Skema pembiayaan
Investasi yang dibutuhkan untuk pemindahan ibu kota sebesar Rp 466 triliun pada 2020-2024. Dari kebutuhan investasi Rp 466 triliun, 54,6 persen (sekitar Rp 254 triliun) berasal dari kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), 19,2 persen (Rp 89,5 triliun) dari APBN, dan 26,2 persen (Rp 122 triliun) dari swasta.
Ari menambahkan, pemerintah harus membagi peran investasi agar tidak membebani belanja APBN. Misalnya, pembangunan konektivitas dan jalan dilakukan oleh pemerintah, sementara pembangunan rumah dan gedung perkantoran oleh swasta.
”Bank bisa digandeng untuk menawarkan skema pembiayaan pembangunan gedung atau cicilan rumah bagi PNS,” kata Ari.
Pemerintah harus membagi peran investasi agar tidak membebani belanja APBN. Misalnya, pembangunan konektivitas dan jalan dilakukan oleh pemerintah, sementara pembangunan rumah dan gedung perkantoran oleh swasta.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan, pengembang swasta siap membantu pemerintah membangun ibu kota baru.
Mereka bisa membangun kantor pemerintahan melalui skema KPBU. Mereka juga siap membangun properti komersial, seperti hotel dan permukiman, dengan skema pembiayaan lainnya.
”Skema pembiayaan bisa dilakukan dengan berbagai skema, baik melalui badan usaha milik negara (BUMN), kerja sama dengan perbankan, penawaran surat utang dan saham, maupun lainnya,” tuturnya.
Kepastian hukum
Soelaeman mengatakan, agar pengembang swasta tertarik membangun ibu kota baru, pemerintah perlu terlebih dulu memberi kepastian terkait perencanaan dan hukum. Kepastian hukum penting untuk mulai berinvestasi.
Kepastian hukum itu salah satunya dengan adanya studi kelayakan (feasibility study). Studi kelayakan itu akan memastikan pengembang mendapat dukungan investasi dari perbankan.
”Dukungan investasi dari perbankan juga harus didasari dengan potensi pasar (captive market). Potensi itu perlu dihitung dari seberapa banyak orang yang akan pindah dan menempati ibu kota baru sehingga kebutuhan fasilitas layanan publik, seperti sekolah, universitas, pasar, dan rumah sakit dapat ditentukan,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Soelaeman, kepastian hukum terkait pembangunan ibu kota juga dinantikan, mengingat pemindahan ibu kota merupakan konsensus nasional, bukan kebijakan pemerintah saat ini saja.
”Buat pengembang swasta, kepastian hukum itu penting. Pengalaman kita membangun kota dalam skala besar, seperti di Serpong, itu butuh 20-30 tahun dan melewati masa beberapa presiden. Di Kalimantan Timur juga sama,” katanya.
Untuk itu, lanjut Soelaeman, pemerintah diharapkan memastikan perlindungan tanah kepemilikan pemerintah dari spekulan. Kepastian dan penegakan hukum akan membuat harga tanah dan bangunan tetap stabil.
Pemerintah harus memastikan bagaimana pengembang dapat perlindungan dari tanah kepemilikan pemerintah. Pengembang jangan dihadapkan dengan spekulan, harus dapat tanah sesuai perencanaan pemerintah.
”Salah satu cara yang harus dilakukan pemerintah untuk memastikan perlindungan adalah dengan membuat perjanjian, seperti land agreement dan development agreement untuk mengontrol cara pembelian lahan, atau kerja sama pengembang swasta dengan pemerintah,” paparnya.
Soelaeman menambahkan, perjanjian itu dibutuhkan agar pemerintah bisa mengontrol berapa lama dan proyek apa yang akan dikembangkan oleh pengembang. Dengan demikian, tidak akan ada lahan telantar.
Seperti disampaikan sebelumnya, pemerintah mengklaim telah memiliki 180.000 hektar tanah di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, yang akan menjadi calon ibu kota.
Pertimbangkan ulang
Secara terpisah, Ketua Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri Indonesia Didik J Rachbini berpendapat, pemindahan ibu kota sebaiknya dilakukan ketika kondisi ekonomi, sosial, dan politik Indonesia dalam keadaan baik. Karena itu, pemerintahan diminta mempertimbangkan ulang.
Ada banyak masalah krusial yang mesti diselesaikan ketimbang memindahkan ibu kota, misalnya pemerataan infrastruktur dan penyelesaian kasus Papua. Dari beberapa kajian, pemindahan ibu kota tidak akan berdampak signifikan terhadap pemerataan ekonomi. Dibutuhkan kajian yang lebih mendalam dan proses kebijakan publik yang panjang.
”Ini bukan masalah setuju tidak setuju, tetapi masalah proses kebijakan publik yang tidak dijalankan secara sistematis oleh pemerintahan,” kata Didik.