Sejarawan Berbeda Pandangan Soal Pemindahan Ibu Kota
Sejarawan berbeda pandangan terkait rencana pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara. Sebagian meyakini wacana pemindahan Ibu Kota Negara kali ini lebih serius. Namun sejarawan lain memandang rencana ini kurang pertimbangan matang.
Oleh
AYU PRATIWI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejarawan berbeda pandangan terkait rencana pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara. Sebagian meyakini wacana pemindahan Ibu Kota Negara kali ini lebih serius. Namun sejarawan lain memandang rencana ini kurang pertimbangan matang.
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam yakin, rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur kali ini lebih serius dari rencana sebelumnya. Di era kepemimpinan Presiden Soekarno dan Soeharto, rencana itu sempat diwacanakan, namun tidak direalisasikan akibat kondisi saat itu yang kurang mendukung.
Sekarang, dengan kondisi Jakarta yang dipenuhi dengan berbagai isu lingkungan, dari kebanjiran, kemacetan, polusi, dan sebagian wilayahnya yang kian tenggelam, kebutuhan untuk mengalihkan keberadaan pemerintah pusat ke wilayah lain semakin mendesak. Selain mengurangi beban di Jakarta, pemindahan ibu kota dipercaya dapat mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial antara Pulau Jawa dan wilayah lainnya.
“Faktor yang mendorong pemindahan Ibu Kota sekarang semakin banyak. Kalau tidak dipindah sekarang, kapan lagi?” kata Asvi, Selasa (27/8/2019), di Jakarta.
Kebutuhan memindahkan Ibu Kota karena Jakarta sudah terbebani banyak kegiatan sudah dirasakan sejak puluhan tahun lalu. Pada Maret 1972 misalnya, Kompas mencatat, Sujoso Tjokrosudarmo, dosen Regional Study Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, menganggap, Jakarta tidak dapat dipertahankan terus menerus sebagai ibu kota negara. Selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga dikenal sebagai kota pelabuhan dan kota dagang.
Pada 1996, Pengusaha yang juga putra ketiga Presiden kedua RI Soeharto, Bambang Trihatmodjo, mengusulkan, kantor pemerintahan pusat dipindah dari Jakarta ke Kecamatan Jonggol, Bogor, Jawa Barat. Hal tersebut dalam rangka mengurangi arus urbanisasi di Jakarta yang tinggi.
Sebelum adanya usulan itu, Jonggol dikenal sebagai wilayah yang sepi. Setelah itu, kawasan itu diserbu para pengusaha real estate untuk membangun perunahan. “Namun, karena ada krisis ekonomi pada 1997, wacana itu jadinya hilang. Rencana itu tampaknya tidak disiapkan secara serius. Akibatnya, orang di sana berlomba-lomba memiliki lahan. Yang ada hanya perebutan lahan di sana,” tambah Asvi.
Sebelum itu, pada 1957, Presiden pertama RI Soekarno menempatkan Palangka Raya, Kalimantan Tengah, sebagai lokasi ibu kota baru, karena tempatnya yang berada di tengah Indonesia dan minim risiko bencana. Namun, Jakarta akhirnya dipilih sebagai lokasi perhelatan Asian Games 1958 karena ketersediaan infrastrukturnya yang lebih memadai. Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan pun ditunda.
“Asian Games 1958 digelar di Jakarta karena Jakarta lebih siap. Kalau digelar di tempat lain, tentu akan lebih repot. Akhirnya, Soeharto meresmikan Jakarta sebagai ibu kota pada 1964,” ujar Asvi.
Sementara itu, sejarawan J J Rizal berpendapat, Soekarno tidak pernah berpikir memindahkan ibu kota ke Kalimantan. Baginya, Soekarno hanya memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan Soviet yang hendak membuat kota benteng pertahanan di sana. Pada 1950-an, perang dingin sedang memanas.
Pada 1961, Soekarno mengeluarkan peraturan presiden tentang pembentukan Pemprov DKI Jakarta . Pada 1962, ia berpidato, “Meskpun ada usulan ibu kota dipindah ke Malang, Magelang, dan Palangka Raya, saya personil memilih Jakarta”. Pada 1964, Jakarta diresmikan sebagai ibu kota negara.
Rizal menjelaskan, Jakarta punya nilai sejarah yang jauh lebih kuat dalam sejarah nasionalisme Indonesia. Pada 1908, kebangkitan nasional mulai di Jakarta, kemudian disusul dengan proklamasi Indonesia sebagai bangsa pada 1928, dan proklamasi sebagai negara dan pemerintahan pada Agustus 1945.
“Tiada daerah yang menjadi kota juang nasionalisme sekuat Jakarta. Di akhir kekuasaannya sebelum dikudeta, bahkan, yang dibayangkan Sukarno bukan pindah ibukota, tetapi mengembangkan Jakarta sebagai megapolitan, yang ia bayangkan sebagai cermin wajah muka Indonesia," tutur Rizal.
Selain itu, menurut Rizal, Soeharto juga tidak pernah menyebut memindahkan ibu kota. Pada awal 1997, ia hanya menyebut kawasan Jonggol sebagai kota mandiri yang meliputi tiga kecamatan dan 24 desa. Payung hukumnya berdasarkan Keppres Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri."Kalau Jonggol, lebih banyak pada urusan gorengan bisnis properti. Soeharto tidak pernah mengatakan pindah ibu kota,” tambah Rizal.
Di sisi lain, untuk rencana pemindahan ibu kota saat ini, belum Rizal menganggap, belum ada laporan studi atau penelitian serius mengenai kenap harus pindah ibu kota. “Jangan-jangan ini urusan politik belaka. Apalagi seolah hanya ada satu pilihan,” ujarnya.
Ia menambahkan, ide alternatif lain juga perlu diperhatikan, seperti memindahkan kantor kementerian. “Misalnya, buat apa kementerian kelautan di Jakarta? Mengapa tidak di Ambon? Atau mengapa Kementerian Pariwisata tidak di Bali dan Kementerian Desa di NTT?” ucap Rizal.