Harga lahan yang terus meningkat adalah permasalahan yang dialami pemerintah, termasuk dalam menyediakan perumahan rakyat. Masalah ini mesti diantisipasi agar tak terjadi di Kaltim.
Oleh
NAD/LKT/FER
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Penguasaan lahan oleh pemerintah di lokasi ibu kota baru, Kalimantan Timur, merupakan langkah yang tepat. Dengan cara itu, kemungkinan spekulasi lahan dapat diminimalisasi.
Selama ini, salah satu kesulitan yang dialami pemerintah dalam menyediakan hunian yang layak dan terjangkau bagi rakyat adalah harga tanah yang terus meningkat.
Di sisi lain, ketiadaan spekulan lahan akan membuat swasta lebih tertarik berperan dalam proses pemindahan ibu kota RI dari Jakarta.
"Pemerintah harus mengamankan semua kebutuhan lahan, baik untuk pemerintah, publik, maupun tujuan komersial. Nantinya pengembang akan membeli dari negara," kata Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata di Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Kepastian hukum terkait lahan dan pengembangannya, tambah Soelaeman, membuat pengembang lebih terjamin. Pengembang dapat masuk ke berbagai sektor, antara lain penyediaan hunian. Pengembang perumahan berperan mengembangkan lahan yang disediakan pemerintah melalui konsep kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun.
Melalui konsep tersebut, lahan dan infrastruktur dasar disediakan pemerintah, sedangkan pengembangannya dilakukan swasta.
Rencana induk
Kepastian pemerintah memindahkan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara mendorong pengembang melirik lahan di kawasan itu. Namun, pengembang masih menunggu rencana induk pengembangan kawasan.
Direktur Pemasaran Paramount Land, Alvin Andronicus, di Jakarta, Selasa, menyatakan sudah melirik lahan di Kaltim. Pihaknya akan menggarap proyek hunian dan komersial.
“Pemerintah mencanangkan dulu rencana induk kawasan, sehingga swasta bisa mulai masuk ke kawasan itu,” ujarnya.
Menurut Alvin, pemindahan ibu kota negara tidak hanya membuka peluang permintaan perumahan dari aparatur sipil negara (ASN), tetapi juga kebutuhan rumah bagi karyawan perusahaan swasta yang menggarap proyek di kawasan itu.
Direktur PT Ciputra Development Tbk Artadinata Djangkar mengaku telah menggarap proyek properti di Samarinda dan Balikpapan sejak 2008. Seluruh proyek digarap melalui kerja sama dengan pemilik lahan lokal. “Kami masih memiliki bank tanah, terutama karena kami bermitra dengan pemilik lahan lokal,” ujarnya.
Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2019, Ciputra Development bekerja sama dengan pengembang lain untuk menggarap hunian di Balikpapan dan Samarinda.
Artadinata menambahkan, pemindahan ibu kota negara yang diikuti dengan kepindahan ASN merupakan peluang bagi industri properti. Pihaknya tidak akan terburu-buru membidik pengembangan proyek baru, namun menunggu rencana induk ibu kota negara sebelum memutuskan untuk menggarap proyek baru. Saat ini, proyek-proyek properti di Samarinda dan Balikpapan yang masih berjalan akan diselesaikan lebih dulu.
“Kami masih menunggu aturannya. Pemindahan ibu kota membutuhkan persiapan pembangunan jangka panjang,” katanya.
Pemindahan ibu kota negara yang diikuti dengan kepindahan ASN merupakan peluang bagi industri properti.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi berpendapat, pemindahan ibu kota tidak terlalu berdampak terhadap pengusaha. Alasannya, pengusaha tidak perlu pindah.
Namun, Sofjan mengingatkan agar rencana pemindahan ibu kota dan prosesnya tidak membuat pemerintah kehilangan fokus memperhatikan perekonomian. (NAD/LKT/FER)