”Behind The Scene” Pemindahan Ibu Kota
Meski Presiden Joko Widodo sudah menjelaskan alasan pemindahan ibu kota negara, tak banyak yang tahu alasan-alasan di balik layar kebijakan tersebut. Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, masih menyisakan tanya.
Meski Presiden Joko Widodo sudah menjelaskan alasan pemindahan ibu kota negara, tak banyak yang tahu alasan-alasan di balik layar kebijakan tersebut. Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, masih menyisakan tanya.
Mengapa, misalnya, Presiden Joko Widodo tak pernah mengumumkan kebijakan pemindahan ibu kota dalam kampanye Pemilihan Presiden 2019. Kalaupun Presiden selalu menekankan kebijakan pembangunan di masa pemerintahannya tak lagi Jawa-sentris, tetapi Indonesia-sentris, mengapa ia tak pernah mengungkapkan salah satu langkahnya adalah dengan memindahkan pusat pemerintahan.
Pertanyaan publik pun terus mengemuka. Misalnya, mengapa jika kajian tentang pemindahan ibu kota telah dilakukan sejak tiga tahun terakhir, publik tak pernah tahu detail alasan pemindahan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Publik pun tak banyak yang tahu isi kajian itu. Termasuk ketidaktahuan publik soal alasan yang menjadikan sebagian wilayah di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara dijadikan sebagai ibu kota baru.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa saja yang berada di belakang layar dalam kebijakan pemindahan ibu kota RI dari Jakarta ke Kaltim, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Rabu (28/8/2019) siang, menyempatkan berkunjung ke Redaksi Harian Kompas di sela rapat kerja dengan DPR. Bambang secara khusus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang di belakang layar pemindahan ibu kota.
Baca juga : Urgensi Pemindahan Ibu Kota
Mantan menteri keuangan itu menjawab blakblakan semua pertanyaan yang dilontarkan wartawan dan peneliti Litbang Kompas, sembari menyantap makan siang yang dihidangkan tuan rumah saat itu. Bambang bahkan menjawab pertanyaan, apakah lokasi ibu kota baru diketahui pengembang properti mengingat sehari setelah Presiden Jokowi mengumumkannya, ada pengembang yang mengiklankan produk propertinya yang berada dekat dengan calon ibu kota baru Indonesia tersebut di harian Kompas.
Pertanyaan dijawab dengan menampilkan penjelasan lewat beberapa lembar presentasi Power Point. Sebagian isi presentasi Bambang tak bisa dikutip untuk menghindari mereka yang hendak mencari untung dari kebijakan pemindahan ibu kota ini.
Baca juga : Riuh Rendah Pemindahan Ibu Kota di Jagat Maya
”Yang pasti, kalau Presiden mengumumkan, ya, enggak detail. Presiden bukan menteri atau konsultan yang penjelasannya bersifat teknis. Beliau menjawab pertanyaan berdasarkan tiga frequently asked questions (pertanyaan yang sering dilontarkan) yang muncul sebelumnya,” ujar Bambang mengawali pembicaraan.
Baca juga : Ibu Kota Baru RI di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara
Menurut Bambang, dari sisi Bappenas, kajian soal pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kaltim sebenarnya cukup lengkap, baik dari aspek lingkungan hidup maupun sosial budaya. Dari sisi lingkungan hidup, menurut Bambang, ketika pemerintah akhirnya memutuskan ibu kota dipindah ke Kaltim, Presiden Jokowi tak mau lokasinya di area konservasi.
”Misal seperti idenya Gubernur Kaltim ketika itu, di (Taman Hutan Raya) Bukit Soeharto, ya, enggak mau. Dari aspek lingkungan hidup, itu hutan konservasi. Hutannya sebagian sudah rusak. Presiden malah meminta hutan konservasi itu (Tahura Bukit Soeharto) direhabilitasi dulu,” tutur Bambang.
”Presiden juga meminta tidak di hutan lindung, tidak di kawasan yang mengandung gambut atau batubara serta potensi bencananya pun paling minimal,” lanjutnya.
Ketika akhirnya diputuskan ibu kota baru di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, menurut Bambang, dari aspek lingkungan hidup calon ibu kota baru ini sudah memenuhi persyaratan.
”Lingkungan ya kualitas udara, air sudah jelas. Daerah tersebut jauh dari lokasi tambang atau bekas tambang. Meski kalaupun disebut Penajam atau Kutai banyak tambang ataupun bekas tambang, baik yang masih aktif maupun yang sudah ditinggalkan,” kata Bambang.
Menariknya, meski lokasi calon ibu kota baru tersebut tanahnya tak mengandung batubara, Bambang menuturkan, kawasan Bukit Soeharto masuk dalam area yang bakal direhabilitasi dengan pemindahan ibu kota. Pilihan merehabilitasi Tahura Bukit Soeharto tersebut karena meski telah menjadi kawasan konservasi, sebagian area tersebut justru dirusak oleh pertambangan batubara ilegal.
Baca juga : Tambang Batubara Ilegal di Bukit Soeharto
Bambang mengaku memasukkan kawasan Tahura Bukit Soeharto agar kawasan tersebut bisa direhabilitasi senyampang ibu kota dipindah di dekat area konservasi tersebut. ”Karena itu, nanti di wilayah Kutai Kartanegara yang menjadi ibu kota akan lebih banyak dipakai sebagai ruang terbuka hijau,” ujarnya.
Selain aspek lingkungan, Bambang juga mengatakan, pemerintah telah mengkaji aspek sosial budaya. Dari aspek sosial budaya inilah, salah satu pertimbangan pemerintah memutuskan ibu kota baru akan dibangun di Kalimantan Timur. Pemerintah sebelumnya mempertimbangkan tiga provinsi di Pulau Kalimantan sebagai pusat pemerintahan baru, yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Pertimbangan di balik layar Kaltim sebagai ibu kota baru adalah penerimaan warganya terhadap pendatang. Penduduk di Kaltim secara khusus dinilai lebih bisa menerima kehadiran pendatang dibandingkan provinsi lain di Kalimantan.
”Kajian sosial ini terkait bagaimana pendatang dengan masyarakat lokal. Dari situ, kami melihat tingkat akseptabilitas yang paling tinggi (terhadap pendatang), ya, Kaltim,” ujar Bambang.
Kajian sosial ini terkait bagaimana pendatang dengan masyarakat lokal. Dari situ, kami melihat tingkat akseptabilitas yang paling tinggi terhadap pendatang, ya, Kaltim.
Dalam mempertimbangkan aspek sosial budaya penentuan lokasi ibu kota baru ini, pemerintah antara lain melibatkan antropolog dan budayawan. Diskusi kelompok terarah dilakukan berkali-kali. Pelibatan budayawan diakui Bambang juga terkait dengan faktor kesejarahan.
”Saat bicara dengan antropolog dan budayawan, kami diminta jangan menyebut pindah ibu kota, tapi kembali ke ibu kota karena kerajaan pertama (di Indonesia) adalah Kutai. Rupanya mbah-nya kerajaan lama di Indonesia yang turun sampai Mataram. Intinya, ini kerajaan pertama, peradaban pertama (Indonesia), makanya budayawan bilangnya kembali ke ibu kota,” tutur Bambang.
Lantas, jika diskusi hingga kajiannya sudah dilakukan tiga tahun terakhir, mengapa Presiden Jokowi bahkan tak pernah menyinggung pemindahan ibu kota sama sekali dalam kampanye pilpres lalu? Untuk pertanyaan ini, Bambang mengatakan, tak sepenuhnya benar jika dikatakan Presiden Jokowi sama sekali tak menyinggung kebijakan pemindahan ibu kota.
Malah, menurut Bambang, sejak awal Presiden Jokowi ingin pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa merata di semua wilayah. Tak hanya di Pulau Jawa. Faktor pemerataan pembangunan ini diakui Bambang menjadi salah satu pertimbangan utama selain beban berat yang ditanggung Jakarta sebagai pusat segalanya di Indonesia.
Memang, ujar Bambang, Presiden tak mau mengungkapkan rencana pemindahan ibu kota ini saat kampanye Pilpres 2019. ”Waktu pemilu memang sengaja kami silent dulu. Presiden enggak mau (kebijakan pemindahan ibu kota) jadi permainan politik,” katanya.
Waktu pemilu memang sengaja kami silent dulu. Presiden enggak mau jadi permainan politik.
Dia juga mengakui, hasil kajian tiga tahun terakhir tentang pemindahan ibu kota memang tak bisa sembarangan diakses demi menjaga agar tak ada pihak-pihak yang ingin mengeruk untung di balik kebijakan ini, termasuk spekulan. ”Mungkin bukan spekulasinya yang nyusahin. Banyak interest group yang nyusahin,” katanya.
Saat ditanya, apakah ada pengusaha yang tahu lokasi baru ibu kota RI karena setelah Presiden mengumumkannya, ada pengembang properti yang mengiklankan produk properti dekat lokasi baru ibu kota di harian Kompas. Iklannya pun satu halaman penuh warna.
Bambang menjawab tegas bahwa tak ada satu pengusaha pun yang tahu lokasi baru ibu kota RI. Jika ada pengusaha properti yang memiliki produk di dekat calon ibu kota baru, Bambang mengilustrasikannya dengan pengusaha properti yang mengiklankan produknya karena dekat Stasiun MRT Lebak Bulus.
”Kan, itu (iklan properti di Kompas) di Balikpapan. Itu sama saja ketika MRT baru selesai, di Lebak Bulus, ada iklan apartemen atau rumah ini siap di dekat MRT. Dia manfaatin kesempatan saja. Iklannya, kan, baru muncul setelah pengumuman, ada momen ini ibu kota baru,” ujar Bambang.
Baca juga : Warga Jonggol Biasa Saja Menanggapi Pemindahan Ibu Kota
Namun, pemerintah memang pernah mengajak asosiasi pengusaha properti, Realestat Indonesia (REI), mendiskusikan calon lokasi baru ibu kota. Hanya saja, diskusinya masih seputar lokasi ibu kota baru di tiga provinsi: Kalteng, Kalsel, dan Kaltim. ”Kami pernah FGD (focus group discussion) dengan REI, tapi terkait tiga lokasi,” ujar Bambang.
Seperti apa ibu kota baru nanti ? Konsepnya forest city atau kota di dalam hutan. ”Bukan hutan kota. Jadi, salah satunya bagaimana menerjemahkan ruang terbuka hijau dalam bentuk hutan, pepohonan di dalam kota. Bangunannya pun harus green design, baik dari sisi energi maupun banyaknya tanaman yang akan dibiarkan tumbuh,” ucap Bambang.
Satu hal lagi, pemerintah tidak mendorong rumah tapak di ibu kota baru nanti. Pemerintah akan membangun apartemen atau town house yang bisa dipakai pegawai negeri sipil yang pindah ke ibu kota baru.
”Prinsipnya, kan, kota modern. Jadi, tidak mentang-mentang kotanya luas, bikin kompleks rumah banyak. Kami tidak mendorong landed house, tapi apartemen atau town house. Tetapi tingginya tidak boleh mengalahkan tingginya pohon. Kami tak ingin kesan hutan tidak kelihatan karena gedung tinggi,” tutur Bambang.