Evaluasi Total Tata Kelola Pertambangan dan Perkebunan
KENDARI, KOMPAS Tata kelola pertambangan dan perkebunan skala besar di daerah Konawe Utara mendesak dievaluasi total, termasuk seluruh wilayah di Sulawesi Tenggara. Pengelolaan lingkungan dinilai tak memenuhi standar sehingga memicu banjir bandang parah pada awal Juni 2019.
Lemahnya pengawasan dan minimnya tindakan di lapangan membuat bencana susulan di depan mata. Awal Agustus lalu, dosen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Yani Taufik, mengatakan, tata kelola lingkungan pertambangan dan perkebunan sawit di Konawe Utara tidak memiliki rujukan jelas.
Praktik pengelolaan lingkungan yang baik tak terlihat di lapangan, misalnya keharusan adanya kolam endapan atau pembatasan penanaman kelapa sawit perkebunan di bantaran sungai. Itu pula yang ditemui Kompas dalam penelusuran di lapangan, dua bulan pascabanjir bandang parah.
Banjir bandang melanda sebagian besar Konawe Utara, terutama yang ada di sekitar sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Lasolo, 2-10 Juni 2019. Banjir melanda hingga setinggi 3 meter disertai lumpur. Sejumlah desa bahkan tinggal puing karena rumah-rumah dan fasilitas publik tersapu banjir.
Setidaknya 370 rumah hanyut dan puluhan ribu warga masih mengungsi. Kerugian sektor perumahan ditaksir Rp 66 miliar. Di bidang pertanian, kerugiannya Rp 43 miliar. Total kerugian akibat banjir se-Sulawesi Tenggara (Sultra) diprediksi triliunan rupiah lebih.
Awal Agustus lalu, Kompas melihat langsung daerah hulu sungai-sungai yang meluap menyapu rumah dan kawasan pada awal Juni. Sejak 2007, kawasan hulu beralih fungsi jadi perkebunan kelapa sawit. Tanaman menyebar di lembah, lereng, dan bibir sungai, seperti di Kecamatan Langgikima dan Oheo, dua daerah di hulu Sungai Lalindu, bagian Sungai Lasolo.
Di pegunungan Desa Tambakua, penambangan lahan terbuka sekitar 60 hektar. Alur air yang turut membawa material tambang terlihat mengalir dari areal pertambangan. Genangan air di kolam bekas galian tambang dialirkan ke sungai tanpa ada kolam penyaring endapan.
Seluruh aktivitas itu seperti tak ada pengawasan sama sekali dari instansi terkait. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sultra Andi Azis, Senin (12/8), mengatakan, pihaknya berusaha melakukan pengawasan di tengah minimnya jumlah personel dan anggaran. Beberapa perusahaan ditindak dan diberi sanksi.
”Mereka wajib melaporkan kegiatan secara berkala. Kami inspeksi di tengah keterbatasan. Harus dilihat juga yang mana tanggung jawab pertambangan, lingkungan hidup, atau perkebunan,” kata Azis.
Evaluasi diperlukan
Kepala Bidang Penataan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Sultra Aminoto Kamaludin menyatakan perlunya evaluasi terkait pengelolaan lingkungan pertambangan dan perkebunan. Untuk itu, perlu penghentian sementara (moratorium) aktivitas di lapangan. Tujuannya, mengetahui mana pengelolaan yang layak atau sesuai standar dan mana yang tak layak dan harus diperbaiki.
Untuk itu, katanya, pihaknya perlu didukung anggaran. Anggaran yang sangat minim membuat pengawasan berkala di lapangan tak bisa dilakukan.
Menurut Aminoto, pengelolaan lingkungan pertambangan dan perkebunan sawit masih jauh dari standar. Karena berada di lereng gunung, pertambangan dan perkebunan mestinya dilengkapi kolam atau penampung sedimen. ”Namun, kolam itu jelek atau tak memenuhi standar. Padahal, kolam itu berfungsi menampung sedimen dari penambangan dan perkebunan agar terhambat mengalir ke sungai,” ujarnya.
Khusus untuk perkebunan sawit, idealnya bantaran sungai bebas dari tanaman mulai 50 meter untuk sungai kecil hingga 500 meter untuk sungai besar. Itu tak dipatuhi di lapangan. Selain sawit, di Konawe Utara tengah dilakukan pembukaan perkebunan tebu skala besar di tengah kondisi pemanfaatan ruang yang belum dievaluasi.
Kepala Seksi Tata Ruang Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Sultra Anis Mustamin menjelaskan, semua yang memanfaatkan ruang harus sesuai peruntukan dan kondisi yang ada. Aturan terkait ruang dan wilayah telah diatur dalam peraturan daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.
Akan tetapi, kata Anis, hingga kini belum ada satu pun perusahaan tambang mau perkebunan yang memperoleh rekomendasi sesuai tata ruang di tingkat provinsi. ”Memang kewenangan ini baru tiga tahun, tetapi tiga tahun ini belum ada yang kami beri rekomendasi. Kalau tidak punya rekomendasi kesesuaian tata ruang, artinya mereka tidak bisa memiliki izin lingkungan,” ucapnya.
Perusahaan bisa saja telah memiliki rekomendasi ketika kewenangan masih di kabupaten. Akan tetapi, data atau dokumen terkait rekomendasi ini tidak pernah terekam. Data Pemprov Sultra, hingga Agustus 2019 baru ada 34 perusahaan yang mengajukan rekomendasi dengan berbagai keperluan. Sejumlah perusahaan itu mengajukan rekomendasi untuk membangun pabrik atau terminal khusus. Tidak ada satu pun perusahaan yang mengajukan rekomendasi untuk wilayah pertambangan.
Tanggapan perusahaan
Budiman, Koordinator Umum PT Damai Jaya Lestari, pemegang izin 6.000 hektar sawit di DAS Lasolo, menyatakan, pihaknya memenuhi kewajiban pengelolaan lingkungan. Mereka rutin membuat laporan tiga bulanan dan enam bulanan. Namun, penilaian dari pemerintah kabupaten selalu merah karena laporan terlambat disusun.
Soal penanaman kelapa sawit hingga ke bibir sungai, ia mengakui, itu tak sesuai standar pengelolaan lingkungan. ”Setahu saya memang seperti itu (ada jaraknya). Kalau di lapangan terjadi (pelanggaran), ya, itu tadi, kami menanam berdasar surat tanah yang diserahkan masyarakat,” ujarnya.
Sementara General Manager PT Karyatama Konawe Utara (KKU) Wahyu Prasetio melalui surat elektronik menolak dikaitkan dengan banjir dua tahun terakhir. Perusahaan tak begitu aktif menambang dan produksinya hanya sekitar 150.000 wet metric ton. Jumlah itu dinilai sangat kecil untuk ukuran perusahaan tambang nikel.
PT KKU adalah satu dari sejumlah perusahaan yang wilayah penambangannya ada di atas Bukit Langgikima dengan ketinggian sekitar 400 meter di atas permukaan laut. Terkait tata kelola industri berbasis sumber daya alam, saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi pengawasan khusus. Dalam kunjungannya di Sultra, Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif mengatakan, pihaknya saat ini memberi perhatian penuh terkait pengelolaan pertambangan di Sultra. Hal itu dilakukan untuk memperbaiki tata kelola pertambangan yang dirundung banyak masalah. (JAL/VDL)