Jangan sampai pemindahan ibu kota hanya memindahkan atau bahkan menambah masalah baru di Pulau Kalimantan yang telah merosot daya dukung lingkungannya.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Akhirnya, ibu kota negeri ini diputuskan pindah dari Jakarta ke Kalimantan, persisnya Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Di luar perdebatan tentang besarnya anggaran pemindahan ibu kota yang mencapai Rp 466 triliun, rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta seharusnya dilakukan sejak dulu, sebelum Jakarta meraksasa dan akut masalahnya seperti sekarang.
Daya dukung lingkungan dan daya tampung Jakarta yang sangat terbatas jelas tidak layak untuk menampung 10,37 juta jiwa penduduk dan menjadi pusat segala aktivitas negeri ini.
Sejak dibangun Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619 sebagai pusat operasi kongsi dagang Belanda (VOC), Jakarta selalu langganan kebanjiran.
Hingga kini, banjir masih menghantui Jakarta yang sejatinya cekungan banjir dan muara 13 sungai. Jakarta kini dihantui banjir rob seiring dengan penurunan tanah yang rata-rata mencapai 7,5 sentimeter (cm) per tahun. Bahkan, di beberapa bagian Jakarta Utara, daratannya turun hingga 20 cm per tahun.
Kemacetan dan polusi udara menjadi beban tambahan yang tak teratasi, sekalipun berbagai upaya telah dilakukan. Belum lagi ancaman gempa bumi, yang menurut catatan sejarah pernah berulang mengguncang dan merusak kota ini.
Kajian Arthur Wichman (1918) menyebut, gempa kuat dirasakan di Jakarta pada 5 Januari 1699 dini hari. Selain meruntuhkan banyak bangunan, gempa juga memicu longsor di Gunung Gede Pangrango dan Salak. Pada 22 Januari 1780, gempa kuat yang guncangannya dirasakan sampai tenggara Sumatera juga melanda Jakarta.
Pemilihan Kalimantan sebagai calon ibu kota baru memiliki alasan yang kuat. Posisinya yang berada di jantung Indonesia pernah menjadi alasan Soekarno untuk memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Secara geologi, Kalimantan juga paling stabil dibandingkan dengan daerah lain di negeri ini. Sekalipun memiliki sejumlah jalur sesar lokal, risiko gempa bumi di Kalimantan paling rendah dibandingkan dengan pulau besar lainnya, seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi, atau Papua.
Secara geologi, Kalimantan juga paling stabil dibandingkan dengan daerah lain di negeri ini.
Di era prasejarah, Kalimantan juga memiliki posisi penting. Jejak arkeologis menunjukkan, penghunian manusia modern pertama (Homo sapiens) di Kepulauan Asia Tenggara sejak 50.000 tahun lalu telah ditemukan di pulau ini, persisnya di Goa Niah di wilayah Sarawak, Malaysia.
Jejak itu juga bisa ditemukan pada lukisan tangan di goa karst Sangkulirang Mangkalihat di Kalimantan Timur yang merekam perjalanan manusia dalam rentang 50.000 tahun lalu hingga 3.500 tahun lalu.
Jejak panjang penghunian di pulau terbesar ketiga di dunia—setelah Greenland dan Papua—ini menandai pentingnya posisi Kalimantan. Pulau ini menjadi jembatan strategis migrasi manusia sejak zaman purba yang menghubungkan Kepulauan Filipina, Semenanjung Melayu, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa.
Di awal era sejarah, Kalimantan tetap menempati posisi penting. Pulau ini termasuk yang paling awal dengan peradaban dari luar, ditandai dengan keberadaan Kerajaan Hindu tertua di Nusantara di Kutai Mulawarman sejak abad ke-5 Masehi.
Namun, pusat pertumbuhan di Nusantara kemudian bergeser ke pesisir timur Sumatera dan berikutnya ke pantai utara Jawa.
Sekalipun eksplotasi sumber daya alam di Kalimantan telah dimulai sejak era kolonial, yaitu ketika Sultan Kutai memberikan konsesi batubara dan minyak bumi kepada pengusaha Belanda, Jacobus Hubertus Menten, pada 1888, pedalaman Kalimantan hingga saat itu belum terusik. Kalimantan lebih banyak dikisahkan sebagai rimba belantara yang dihuni para pemenggal kepala hingga ”manusia berekor” (Carl Alfred Bock dalam The Head Hunters of Borneo, 1881).
Baru pada 1904, hutan-hutan di hulu Sungai Barito mulai ditebang dan dihanyutkan melalui sungai hingga ke pantai, khususnya di sekitar Kutai (Potter, 1988). Eksploitasi besar-besaran hutan Kalimantan kemudian terjadi sejak era Orde Baru di pengujung tahun 1960-an, yang diikuti penambangan batubara, pembukaan lahan gambut, dan konversi besar-besaran untuk kelapa sawit.
Kajian David Gaveau (jurnal PLOS ONE, 2014) menyebutkan, lebih dari 30 persen hutan tropis Kalimantan menghilang selama periode 1973-2010. Padahal, hutan hujan tropis Kalimantan telah terbentuk sejak 130 juta tahun lalu, merupakan salah satu yang tertua di bumi dan paling kaya keragaman hayatinya.
Hancurnya ekologi Kalimantan ini juga memicu bencana, terutama kebakaran hutan dan lahan, selain banjir yang semakin meluas. Sejak kebakaran dahsyat pada 1997/1998, kebakaran hutan dan lahan selalu terjadi di Kalimantan pada musim kemarau.
Sejak kebakaran dahsyat pada 1997/1998, kebakaran hutan dan lahan selalu terjadi di Kalimantan pada musim kemarau.
Salah satu yang juga terparah terjadi pada 2015. Luasan lahan yang terbakar di seluruh Indonesia saat itu menurut data Bank Dunia mencapai 2,6 juta ha, 30 persennya adalah lahan gambut dan sebagian besar di Kalimantan. Kerugian ekonomi akibat kebakaran ini ditaksir Rp 221 triliun. Itu belum memperhitungkan dampak kerugian jangka panjang pada anak-anak yang menghirup kabut asap akibat kebakaran.
Inilah salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan. Jangan sampai pemindahan ibu kota hanya memindahkan atau bahkan menambah masalah baru di Pulau Kalimantan yang telah merosot daya dukung lingkungannya.