BOGOR, KOMPAS – Pemerintah akan memperketat impor kertas bekas untuk daur ulang. Pengaturan ulang tata kelola impor kertas bekas ini juga segera diselesaikan.
Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas mengenai penanganan impor dan sampah limbah di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (27/8/2019), menyampaikan, masalah impor sampah dan limbah di Indonesia semakin meningkat. Hal ini pun disinyalir banyak dihadapi negara berkembang lain. Karena itu, langkah pengendalian harus disiapkan.
“Pertama, kita harus memaksimalkan potensi sampah yang ada di dalam negeri terlebih dahulu untuk kebutuhan industri kita. Kedua, regulasi yang dibutuhkan untuk memperbaiki tata kelola impor sampah dan limbah segera dipercepat penyelesaiannya. Ketiga, penegakan aturan dan pengawasan ketat seketat-ketatnya,” tutur Presiden dalam pengantar ratas.
Kita harus memaksimalkan potensi sampah yang ada di dalam negeri terlebih dahulu untuk kebutuhan industri kita.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mendampingi Presiden Jokowi. Selain itu, hadir dalam ratas ini antara lain Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menko Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Seusai ratas, Siti menjelaskan, sejauh ini sudah lebih dari 400 kontainer sampah impor yang direekspor karena mengandung limbah B3 dan kontaminan yang tidak sesuai ketentuan. Selain itu, masih lebih dari 1.200 kontainer lain yang harus diperiksa. Bila juga mengandung limbah B3 dan kontaminan yang tidak sesuai ketentuan, reekspor harus dilakukan. Kontaminan ini antara lain bekas pampers, bekas infus, ampul suntik obat, hingga aki bekas.
“Nanti, saya akan konsultasi ke Ibu Menlu (Menteri Luar Negeri) dan kita akan minta perhatian untuk ini. Indonesia tidak boleh menjadi tempat sampahnya negara maju,” tutur Siti.
Untuk pengaturan impor bahan bekas untuk industri, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun segera direvisi. Menurut Airlangga, revisi sudah selesai dan draft sudah lengkap. Namun, masih menunggu Menteri Perdagangan untuk menandatanganinya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tak hadir dalam ratas Selasa sore. Dia diwakili Sekretaris Jenderal Kemendag Oke Nurwan. Menurut dia, revisi tidak jauh berbeda dengan aturan sebelumnya. Namun, pengaturannya akan lebih ketat dan eksportirnya juga harus terdaftar. Surveyor juga akan memeriksa barang yang akan diimpor dari tempat asal.
Bahan B3 dan limbah rumah tangga tetap tidak boleh diimpor. Siti menambahkan, kalaupun ada kontaminan dalam impor kertas bekas, hanya berupa plastik pembungkus atau pengikat skrap maupun kayu palet. Dia berharap, batasan kontaminan itu diturunkan sampai 2 persen saja dan ke depannya bisa dinolkan. “Kalau saya berharap 0 persen (kontaminan) ini bisa (terealisasi) sebelum 2021,” katanya.
Kendati demikian, menurut Airlangga, impor bahan bekas untuk industri tetap akan dilakukan bila penyediaan dari dalam negeri tidak mencukupi. Impor bahan bekas itupun harus homogen.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi berharap pemerintah betul-betul satu kata dalam mendefinisikan, sampah dan limbah yang boleh dan tidak boleh diimpor. Sebab, Undang-undang Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah tegas melarang impor sampah plastik dari rumah tangga baik kemasan makanan dan kemasan kebutuhan rumah tangga lainnya. Inilah yang banyak diselundupkan eksportir dalam kertas bekas yang diimpor Indonesia.
Karenanya, Prigi meminta pemerintah juga tegas dalam melarang sampah dan limbah yang diselundupkan pada impor kertas bekas. “Selain itu, perlu ada pembatasan impor kertas bekas secara periodik sehingga pada 2030, Indonesia tidak perlu mengimpor lagi,” tuturnya.
Untuk pengadaan bahan baku kertas bekas dari dalam negeri, kata Siti, sejauh ini tersedia 11 juta ton pulp dan 5-6 juta ton skrap, 15.000 ton dari bank sampah, dan 45.000 ton dari TPS3R (Tempat Pembuangan Sampah-Reduce, Reuse, Recycle). Selain itu, dibicarakan juga pengaturan ulang tata kelola sampah dari warga sampai ke tempat sampah. Namun, diakui hal ini tak mudah. Setidaknya, pemerintah sudah memulai mendorong dengan menyediakan subsidi dana pengelolaan sampah.