Izin Pakai Hutan Leuser untuk Pembangkit Listrik Dibatalkan
Majelis hakim PTUN Banda Aceh mengabulkan gugatan Walhi Aceh terhadap penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan Leuser untuk pembangunan pembangkit listrik. Ini artinya, pembangunan PLTA di kawasan itu harus dihentikan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh mengabulkan gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh terhadap penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan Leuser untuk pembangunan pembangkit listrik. Ini artinya, pembangunan pembangkit listrik tenaga air di dalam kawasan hutan lindung itu harus dihentikan.
Sidang putusan terhadap gugatan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) berlangsung pada Rabu (28/8/2019). Sidang dipimpin oleh ketua majelis hakim Muhammad Yunus Tazryan didampingi hakim anggota Fandy Kurniawan Pattiradja dan Miftah Saad Caniago.
”Majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat (Walhi) untuk seluruhnya,” kata Muhammad Yunus.
Pokok dari gugatan Walhi Aceh adalah meminta pengadilan membatalkan IPPKH Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/2017 yang diterbitkan Gubernur Aceh Zaini Abdullah. IPPKH itu dikeluarkan untuk lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Tampur I.
Majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat (Walhi) untuk seluruhnya.
Lokasinya berada dalam hutan lindung, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Luas izin yang diberikan yakni 4.407 hektar. Pembangunan PLTA didanai oleh perusahaan asing dari Korea Selatan. Menurut rencana, PLTA Tampur I mampu menghasilkan listrik 443 megawatt.
Melampaui kewenangan
Majelis hakim menyebutkan pemberian izin dengan luas mencapai 4.407 hektar oleh gubernur telah melampaui kewenangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P-50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 disebutkan gubernur hanya berwenang menerbitkan IPPKH untuk luasan paling maksimal 5 hektar dan bersifat nonkomersial.
Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur menuturkan, dengan dikabulkannya gugatan itu, majelis hakim telah menyelamatkan hutan Leuser dari ancaman kerusakan. Nur mengapresiasi keputusan tersebut. ”Putusan ini seperti barang langka. Kami sangat berterima kasih kepada majelis hakim yang telah dengan teliti melihat perkara ini dari berbagai aspek,” kata Nur.
Kami bukan menolak pembangunan, tetapi kami menginginkan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Nur menambahkan, hutan Leuser yang menjadi lokasi pembangunan PLTA Tampur merupakan kawasan penyangga bagi kehidupan manusia. Fungsi hutan alam itu sebagai penyedia air, rumah satwa lindung, dan penyeimbang ekosistem. Menurut Nur, jika kawasan itu dijadikan lokasi pembangunan, fungsi hutan akan rusak.
”Kami bukan menolak pembangunan, tetapi kami menginginkan pembangunan yang berwawasan lingkungan,” ujar Nur.
Selain sebagai kawasan penyangga, ternyata lokasi pembangunan PLTA Tampur I berada dalam zona rawan gempa bumi. Dosen kebencanaan Universitas Syiah Kuala, Nazli Ismail, menyebutkan, lokasi pembangunan dilewati sesar aktif Sumatera dan berpotensi gempa 7 magnitudo.
Nazli pernah dihadirkan sebagai saksi ahli dalam proses sidang. Saat itu, kepada majelis hakim Nazli mengatakan, pembangunan bendungan harus tahan gempa agar tidak retak jika terjadi gempa.
Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Aceh Amrizal Prang mengatakan, Pemprov Aceh sebagai tergugat belum memutuskan mengajukan banding atau tidak terhadap putusan hakim. ”Setelah menerima salinan putusannya nanti, Pemerintah Aceh mempertimbangkan akan melakukan upaya banding atau tidak,” kata Amrizal.
Dalam dokumen kesimpulan yang diserahkan kepada majelis hakim, Amrizal menyebutkan, pembangunan PLTA Tampur I sangat penting untuk memenuhi kebutuhan terhadap energi. Amrizal mengatakan, pembangunan infrastruktur dalam kawasan hutan tetap mempertimbangkan kelestarian hutan dan ketahanan terhadap bencana.
Sekretaris Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAKA) Badrul mengapresiasi keputusan hakim. Dia berharap ini menjadi semangat bersama dalam melindungi KEL. ”Putusan itu berita baik untuk dunia konservasi. Potensi kerusakan hutan Leuser berhasil dihindari,” kata Badrul.
Badrul mengatakan, pembangunan infrastruktur dalam kawasan salah satu penyebab kerusakan hutan Aceh. Pada 2014-2017, HAKA mencatat kerusakan KEL mencapai 31.117 hektar. Berdasarkan SK Menhut No 190/Kpts II/2001 luas KEL di Aceh 2.255.577 hektar.