Setelah Presiden Joko Widodo mengusulkan secara terbuka pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, langkah berikutnya harus segera disiapkan.
Oleh
·2 menit baca
Setelah Presiden Joko Widodo mengusulkan secara terbuka pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, langkah berikutnya harus segera disiapkan.
Wacana memindahkan ibu kota negara bergulir sejak masa Presiden Soekarno, yang pada 1957 memilih Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebagai ibu kota. Presiden Soeharto memilih Jonggol, Jawa Barat, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mewacanakan pemindahan ibu kota.
Jakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis serta jasa keuangan dan perdagangan. Peran berganda itu dimungkinkan karena infrastruktur pendukung sangat baik. Harian Kompas menuliskan laporan khusus bagaimana kota-kota baru tumbuh di sekitar Ibu Kota sehingga Jakarta tumbuh menjadi kawasan sangat besar. Dampaknya sangat terasa bagi warga Jakarta. Macet menjadi bagian keseharian.
Daya dukung kota merosot dalam penyediaan air bersih dan perumahan layak bagi setiap warga. Saat musim kemarau kering seperti sekarang, kualitas udara memburuk, salah satunya karena arus lalu lintas kendaraan penduduk kota-kota sekitar menuju ke Ibu Kota. Ketika tiba musim hujan, banjir menjadi ancaman sebagian warga meskipun upaya memperbaiki aliran sungai terus dilakukan.
Presiden Joko Widodo, Senin (26/8/2019), di Istana Negara, Jakarta, memilih sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kaltim, sebagai lokasi baru ibu kota. Selanjutnya proses politik sebab harus mendapat persetujuan DPR. Setidaknya ada lima undang-undang (UU) perlu direvisi, dua UU dapat direvisi atau dapat dibuat baru, dan dua UU harus dibuat baru.
Reaksi terhadap usul Presiden beragam. Selain mendukung karena setuju alasan pemindahan, yaitu daya dukung Jakarta dan pemerataan pembangunan, tidak kurang pula yang mengingatkan pentingnya kajian menyeluruh mendalam terhadap aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lingkungan.
Apakah pemindahan ibu kota negara akan mengurangi ketimpangan Jawa-luar Jawa, memeratakan pembangunan, mengurangi beban Jakarta, dan menumbuhkan pusat ekonomi baru di luar Jawa? Kekhawatiran muncul mengenai kelestarian hutan Kalimantan, salah satu paru-paru dunia yang juga penting bagi Indonesia.
Sejumlah yang lain menginginkan transparansi rencana induk pembangunan, termasuk tata ruang tata wilayah serta desain kota agar tidak mengulang pengalaman Jakarta menjadi kota yang tumbuh tidak beraturan.
Pertanyaan lain, sudahkah disiapkan rekayasa sosial bagi masyarakat setempat untuk menerima perubahan besar yang akan terjadi; juga bagi aparat sipil dan keluarganya yang harus berpindah kerja. Belum lagi biaya yang ditaksir Rp 466 triliun dan harus disiapkan saat ekonomi sedang dalam tantangan besar.
Dengan begitu banyak pertanyaan dari masyarakat, proses diskusi—bukan sekadar diseminasi rencana—perlu dilakukan agar semua mendukung rencana tersebut. Prinsipnya, lebih baik mengutamakan kehati-hatian meskipun mungkin memerlukan waktu lebih panjang.