Muram di Balik Hijaunya Sawit di Konawe Utara
Perkebunan kelapa sawit di Konawe Utara pada mulanya menjanjikan kesejahteraan. Namun, seiring waktu, janji itu tak kunjung terealisasi.
Warga pemilik lahan sampai saat ini hanya mendapatkan bagi hasil yang begitu kecil dari kebun plasmanya. Kehadiran pemerintah bagi petani plasma untuk mencari solusi terbaik sangat diharapkan.
Jejeran pohon kelapa sawit berdiri kokoh di kiri dan kanan jalan Trans-Sulawesi di Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, awal Agustus lalu. Tingginya hingga 4 meter. Sepanjang puluhan kilometer, hanya rimbun kelapa sawit yang terlihat.
Sesekali, barisan tanaman ini diselingi permukiman warga. Kelapa sawit berbaris tak hanya di lembah, tetapi juga di lereng gunung hingga bibir sungai. Sejumlah pohon di bantaran sungai terlihat memerah sehabis diterjang banjir bercampur lumpur pada dua bulan lalu.
Dulunya, kawasan tempat sawit ini tumbuh merupakan hutan lebat. Kelapa sawit mulai memenuhi lembah dan lereng Kecamatan Langgikima, Kecamatan Wiwirano, dan Landawe di bagian barat menyusul penetapan kawasan itu sebagai kawasan transmigrasi. Perusahaan negara, yakni PTPN XIV, adalah perusahaan yang memulai penanaman sawit meski kini sudah tidak aktif lagi.
Kelapa sawit ditanam di lahan mayoritas milik masyarakat transmigran dengan skema plasma. Perusahaan yang ada saat ini antara lain adalah PT Damai Jaya Lestari dan PT Sultra Prima Lestari. Sebagai gambaran, pemilik lahan di Kecamatan Langgikima sekitar 1.400 orang.
Sebagian lahan itu dulunya ditanami mete dan cengkeh. Sebagian besar lahan yang ditanami itu hingga kini adalah area hutan produksi.
Kelapa sawit di Langgikima, Wiwirano, dan Landawe mulai dipanen pada 2010-2011. Luas kebun sawit di tiga kecamatan itu sekitar 11.000 hektar. Areal terbesar merupakan tanaman dengan pola plasma.
Skema bagi hasil kebun plasma 60 persen untuk perusahaan dan 40 persen untuk petani pemilik lahan. Namun, dengan catatan, porsi bagi hasil itu berlaku untuk keseluruhan.
Artinya, bagi hasil 60:40 itu diperhitungkan mulai dari pola perhitungan biaya operasional atau eksploitasi. Biaya itu meliputi perawatan, pembelian pupuk, pestisida, pemangkasan, serta pengangkutan hasil panen ke pengolahan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Total setelah pengurangan baru diperhitungkan sebagai keuntungan panen yang dibagi 60:40.
Pihak perusahaan membantu petani plasma dalam pembiayaan awal mulai dari pembukaan lahan hingga panen. Masyarakat atau plasma baru menutup biaya yang menjadi tanggung jawab mereka dari hasil produksi.
Skema itu disepakati para pihak saat pembukaan lahan pada 2007-2008. Janjinya saat itu kepada petani plasma adalah mendapatkan Rp 1,5 juta per triwulan per hektarnya.
Namun, ternyata itu hanya janji. Riilnya, imbal hasil yang mereka terima jauh dari janji awal. Alimuddin (54), pemilik 4 hektar lahan plasma di Kelurahan Langgikima, Kecamatan Langgikima, Konawe Utara, dalam 8 tahun terakhir merasa tidak mendapatkan hak yang layak.
Dalam setiap hektar sejak ia mulai bergabung, rerata plasma hanya mendapatkan hasil sekitar Rp 150.000 per bulan. Bahkan, tak jarang yang mereka terima kurang dari itu.
Sebagai contoh, berdasarkan slip pembayaran hasil kemitraan pada Oktober-Desember 2018, produksi 1 hektar kebun milik Alimuddin sebanyak 888,45 kilogram tandan buah segar (TBS). Perusahaan membeli Rp 1.050 per kg sehingga totalnya hanya Rp 932.868.
Namun, angka pendapatan itu belum final. Penerimaan hasil itu masih harus dikurangi dengan biaya eksploitasi (perawatan) sebesar Rp 409.961 dan biaya-biaya lainnya. Total uang yang diterima Alimuddin hanya Rp 310.000. Artinya, tiap hektar ia hanya mendapatkan hasil Rp 103.333 per bulan.
”Selama 8 tahun hanya begitu (nilai yang didapat). Malah semakin ke sini semakin kecil hasilnya,” ujar Alimuddin, transmigran dari Sulawesi Selatan, di Kelurahan Langgikima, Kecamatan Langgikima, Konawe Utara, Rabu (7/8/2019).
Untuk mendapatkan bagi hasil yang lebih layak, petani plasma di Langgikima, Wiwirano, dan Landawe sering meminta pemerintah memfasilitasi pertemuan antara mereka dan perusahaan. Namun, hasilnya tidak menguntungkan plasma.
Meski demikian, Alimuddin yang aktif berkonsolidasi dengan petani plasma lainnya tidak putus asa. Ia tetap berharap ada negosiasi ulang terkait imbal bagi hasil.
Poin yang diperjuangkan adalah pelibatan petani dalam menimbang panen di kebun masing-masing. Bukan membawa TBS ke pabrik dan ditimbang sendiri oleh inti.
”Kami ingin mekanismenya diubah, TBS ditimbang di kebun kami dan langsung di situ pembayarannya. Kalau ada potongan, kami akan bayar,” ujar Alimuddin.
Usulan ini disampaikan plasma karena alibi perusahaan selama ini rugi. Menurut Alimuddin, jika itu alasannya, sebaiknya kebun diserahkan kepada masyarakat. Petani akan mengelola kelapa sawit di kebunnya sendiri dan mencari pasar, misalnya ke Sulawesi Tengah.
Berwenang penuh
Solichin (42), petani plasma di Desa Alenggo, Langgikima, sepakat lahan sudah saatnya diserahkan ke masyarakat. Utang investasi Rp 9 juta per hektar yang mencakup pembersihan lahan, bibit, dan penanaman sudah lunas. Masyarakat bisa mengelola lahannya dengan membentuk koperasi.
Skema semacam itu, kata Solichin, diterapkan di banyak tempat di Indonesia, seperti di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. Petani berwenang penuh atas kebun plasmanya.
Herman Sewani (37), pegiat lingkungan yang aktif mendampingi warga dalam konflik dengan perusahaan sawit, menjelaskan, sawit selama ini hanya memiskinkan warga. Sebab, lahan yang telah ditanami sawit tidak setimpal dengan hasil yang didapatkan. Untuk berpindah tanam, warga tidak lagi memiliki lahan.
Renegosiasi perjanjian, lanjut Herman, telah diinisiasi sejak 2016. Beberapa kali pertemuan antara warga dan perusahaan berlangsung. Namun, tidak pernah ada keputusan kuat karena perwakilan perusahaan bukan pada tataran pengambil keputusan.
”Belum lagi belasan warga harus berurusan dengan kepolisian karena dilaporkan oleh perusahaan. Memang harus ada renegosiasi agar masyarakat berdaya dan perusahaan tidak semena-mena,” katanya.
Menurut dosen Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, Sultra, Yani Taufik, bagi hasil itu tidak signifikan karena pemerintah tidak hadir saat proses negosiasi. Sementara petani tak memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap perusahaan. Pihak inti selalu memiliki kekuasaan, terutama dalam menentukan uang bagi hasil.
Jalan tengahnya, kata Yani, sebaiknya pemerintah mengaudit laporan keuangan perusahaan. Hal ini untuk memastikan kondisi keuangan perusahaan rugi atau tidak. Berdasarkan hasil audit, baru dilakukan renegosiasi.
Dari sisi tanggung jawab sosial, perusahaan perlu memberdayakan petani. Misalnya, memberi pelatihan keterampilan dan mengelola usaha yang mereka geluti. Hal ini dimaksudkan agar usaha memiliki nilai ekonomis.
Dua usaha yang bisa dikembangkan adalah budidaya merica/lada dan jagung yang biasanya dilakukan di lahan terbatas. Dua komoditas itu sangat ekonomis jika dikelola dengan baik.
Skema bagi hasil
Sengkarut imbal bagi hasil itu disadari Koordinator Umum PT Damai Jaya Lestari Budiman. Namun, ia mengklaim imbalan yang diterima pemilik lahan murni dari skema bagi hasil yang disepakati. Selama ini, perusahaan sering menunda pemotongan biaya eksploitasi agar petani menerima imbal cukup.
Produksi sawit di Langgikima, Wiwirano, dan Landawe masuk kategori kelas III, yang idealnya menghasilkan 20 ton TBS per hektar per tahun. Faktanya, produksinya hanya 8 ton TBS per hektar per tahun.
Salah satu cara yang mungkin dilakukan agar petani mendapatkan bagi hasil yang besar adalah subsidi dari pemerintah. Subsidi itu terutama untuk bahan bakar minyak (BBM) dalam pengangkutan TBS ke pabrik CPO. BBM itu salah satu komponen yang besar.
Masalah imbal hasil kelapa sawit di Langgikima jelas membutuhkan solusi yang jujur. Peran pemerintah sebagai penengah sangat diharapkan. Hijaunya kelapa sawit di lembah, lereng, dan bibir sungai harusnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan petani. Apalagi, penyelesaian konflik sawit ini masuk dalam Program Prioritas 100 Hari Pemkab Konawe Utara. Namun, hingga kini, belum juga ada titik terang.
Bupati Konawe Utara Ruksamin mengatakan, pihaknya membentuk tim untuk segera menyelesaikan hal ini. Beberapa kali pertemuan juga telah dilakukan untuk mempertemukan perusahaan dengan petani.
”Masih diusahakan. Ada tim yang sedang bekerja,” ucapnya singkat tanpa merinci seperti apa penyelesaian yang akan ditempuh.